Bulan September yang terik telah berganti musim menjadi November yang diakrabi hujan.
Bagi Rion yang sejak kecil menyukai kesendirian, panti asuhan lumayan jadi tempat yang ideal. Di tempat itu ia tidak perlu menonjol dan cukup jadi bayangan di sudut ruangan, bebas duduk membaca buku tanpa ada yang mengganggu, semuanya baik-baik saja.
Setiap pagi ia bangun pukul 5.30, lalu berkelut dengan serangkaian rutinitas seperti mencuci pakaian, menyapu halaman, ibadah pagi, belajar keterampilan seperti menjahit atau melukis, ibadah sore, memasak di dapur beramai-ramai, mencuci piring segunung, lalu ibadah malam. Begitu terus. Terkadang di sore hari, mereka harus latihan vokal untuk bernyanyi menghibur para donatur.
Setiap malam Rion akan tidur sangat larut karena tenggelam dalam buku-bukunya. Berpetualang bersama Dorothy di negeri penyihir, atau menelusuri misteri taman rahasia bersama si bocah 10 tahun Mary Lennox, selalu terasa menyenangkan walau ia sudah membacanya berulang kali. Tokoh-tokoh fiksi itu berhasil menemaninya, menghiburnya dengan kisah-kisah seru yang Rion tahu tidak akan ia alami.
Hampir setiap hari di panti, beberapa pria dan wanita dewasa datang berkunjung. Ada yang hanya ingin menuntaskan kegiatan sosial, ada pula yang memang datang untuk kepentingan pribadi—mengadopsi.
Biasanya, yang keluar dari panti ini adalah bayi dan balita. Orang-orang dewasa lebih mudah trenyuh melihat wajah lugu nan rapuh yang diberi sedikit sentuhan aroma bedak. Tidak banyak yang menjatuhkan pilihan pada anak-anak di atas enam tahun; karena lucunya sudah berkurang. Apalagi anak sembilan tahun yang penyendiri, berwajah murung, dan tidak pernah tersenyum. Seperti Rion.
Tapi tidak mengapa, Rion memang tidak bermimpi untuk diadopsi. Ia hanya ingin bertahan di sini sampai usia 17 tahun, setelah itu ia akan keluar, mencari uang sendiri, dan barangkali menikmati hidup sebebas-bebasnya.
Untuk saat ini, yang perlu ia lakukan hanya bertahan.
***
Ketenangan hidupnya baru terusik di hari ke 7 bulan November. Hari ulang tahunnya.
Pagi itu saat menyapu lantai area bermain, Suster Natalie datang bersama gerombolan suster lain. Sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun, mereka membawakannya sepotong kue putu ayu yang telah ditancapkan lilin.
Semua orang lantas menundukkan kepala untuk berdoa, mengucap syukur kepada Tuhan karena telah mengaruniakan hidup dan tubuh yang sehat untuk Rion. Rion tidak ikut berdoa.
Tiga bulan tinggal di panti asuhan Katolik ini tidak lantas membuatnya menjadi relijius. Karena kalau Tuhan memang benar ada, mengapa Ia mengizinkan hal-hal buruk terjadi pada manusia?
Katanya dalam Matius 17 ayat 20: 'jika kamu memiliki iman sebesar biji sesawi, kamu dapat memindahkan gunung'. Nah, suster-suster dan pastor di panti asuhan ini sudah sangat beriman, barangkali bukan lagi sebesar biji sesawi, melainkan sebesar biji durian, tapi mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup memindahkan gunung?
"Rion, ayo, berdoa minta sesuatu. Ini hari ulang tahun kamu," Suster Natalie tersenyum padanya. "Mintalah apa saja pada Tuhan, karena Tuhan sendiri pernah berfirman: 'mintalah, maka akan diberikan kepadamu ; carilah, maka kamu akan mendapat ; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu'."
Tidak, terima kasih. "Saya boleh minta sama Suster aja?"
Senyum di wajah tua Suster Natalie langsung memudar. Sudah tidak heran lagi, anak satu ini memang ... hmm, unik.
"Karena Tuhan nggak keliatan, tapi Suster kelihatan. Kalau minta sama Tuhan, nggak tahu kapan dapetnya. Tapi kalau minta sama Suster, saya bisa langsung dapat."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]