1

20.3K 3.6K 775
                                    

"Sebetulnya saya tidak pernah suka dengan pers, wartawan, jurnalis, atau apalah julukan kalian. Kalian merasa paling pintar, memelintir ucapan narasumber demi sejumlah uang dan ketenaran yang tidak seberapa."

"Saya tidak bekerja untuk ketenaran."

"Halah! Bulshit. Kalau begitu beri saya satu alasan mengapa kamu berbeda. Dan jangan bawa-bawa kode etik jurnalistik, karena saya tidak percaya omong kosong itu."

"Katakanlah, menulis adalah cara saya untuk hidup. Uang, ya, memang. Jas ini tidak jatuh begitu saja dari langit."

"Demi Tuhan, itu cuma Burberry!"

"Yang saya beli setelah menyisihkan lima bulan uang makan, hanya karena rekan saya bilang saya pantang mengenakan Zara di malam penganugerahan Charles Lynch Awards, jadi, ya, uang penting. Tapi saya menjadi jurnalis, karena pekerjaan ini memberi kesempatan bagi saya untuk jujur."

"Maaf, mungkin otak cerdas saya kurang bisa mencerna bahasa planet. Bisa jelaskan dengan sedikiiiit lebih baik lagi, Anak Muda?"

"Di atas kertas, saya menulis seapa adanya, dengan sejujur-jujurnya tanpa saya merasa perlu untuk menutup-nutupi sesuatu. Berbeda dengan kehidupan nyata, saat kita dipaksa untuk jadi makhluk sosial yang peduli terhadap sekitar, saat itu saya berubah menjadi pengecut yang tidak pandai berkata jujur."

Jeda itu diisi tatapan tajam Hasan Mahdi, politisi gaek yang selama sepuluh tahun terakhir ini melarikan diri ke Kanada akibat ancaman pembunuhan, kepada Rion yang duduk di sebelahnya di perpustakaan tua rumahnya.

"Tulisan terjujur apa, yang terakhir kamu tulis?" tanya Hasan. "Ya, tentu saja saya membaca buku kamu Manila Grit, dan saya terkesan. Tapi tulisan yang sungguh-sungguh berasal dari kamu. Apa?"

Kali ini jeda datang dari diri Rion sendiri.

"Oke. Tidak ada jawaban, berarti—"

"Pidato kelulusan SMA, enam tahun lalu."

Bibir Hasan mencebik dan air mukanya menyiratkan ketertarikan. "Pidato kelulusan?"

"Ya."

"Enam tahun lalu? Hmmm, pasti terasa lama bagi kamu, seperti saya yang sudah tidak sadar tau-tau sudah sepuluh tahun menetap di sini."

"Bapak bisa saja kembali ke Indonesia, Presiden sudah memberi grasi—"

"Halah! Kamu percaya si Syarif itu presiden bersih? Tidak ada bedanya dia dengan si Derajat. Saya diberi grasi dan dipanggil pulang ke tanah air, karena dia ingin cari muka ke rakyat, seakan-akan dia tidak ada hubungannya dengan kasus mafia Pemilu empat tahun lalu."

"Saya siap mencatat, kalau Bapak siap."

Berbekal cerutu di tangan yang belum juga dinyalakan, Hasan akhirnya mengembus napas pasrah. "Saya tidak nyangka, kisah hidup saya yang spektakuler ini bakal ditulis oleh bocah cantik berjas Burberry. Kalau sampai buku saya jelek, tanggung jawab kamu."

"Tulisan saya tidak pernah jelek." Rion tersenyum tenang mengeluarkan buku catatannya, sambil bersyukur percakapan mereka tidak lagi kembali ke topik pidato kelulusan.

Seiring dengan kalimat yang terus meluncur dari bibir sang lawan bicara, jari-jari Rion mulai sibuk menulis, tentang Hasan Mahdi sang whistle blower termasyhur, yang menggemparkan sebumi setanah air Indonesia atas kasus mafia pemungutan suara presiden selama delapan tahun berturut-turut.

***

"Hati-hati." Sesi percakapan hampir tujuh jam itu ditutup Hasan dengan tatapan tajam. "Situasi di tanah air sedang tidak bagus. Rakyat mulai gerah dengan si Tolol Syarif. Semua orang tahu, negara kita tidak pernah punya pemimpin yang benar sejak Agatha. Desas-desus tentang penggulingan presiden Syarif itu benar. Demo akan terjadi dalam skala besar-besaran kalau si Syarif tidak segera lengser."

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang