3

16.5K 3.5K 1.5K
                                    

"Mau aku temenin? Ke kantor."

Barangkali adalah sebuah pertanyaan lazim tanpa makna berlebihan, yang bisa saja dilontarkan oleh semua kakak di seluruh dunia kepada semua adik di seluruh dunia, tanpa harus merasa canggung atau berdebar.

Rion bertanya-tanya ada apa dengan dirinya, karena ia justru merasakan semua sensasi tidak waras itu.

Ia bisa melihat kedua bola Dani mengamatinya, dan bisa merasakan pergolakan batin sang adik untuk mencerna maksud ajakannya. Ini sedikit menyedihkan bagi Rion. Karena jika memang semuanya berjalan normal di antara mereka dan jika Dani tidak menyimpan dendam kesumat atau perasaan jengkel kepadanya, perempuan itu akan mudah sekali menjawab ya.

"Aku bisa temenin. Ke kantor." Rion mengulang dengan suara setenang mungkin, meski jantungnya laksana disurupi tabuhan drum barongsai.

Bibir Dani akhirnya terbuka siap memberi jawab.

Yang akhirnya terbendung oleh kemunculan Adam. "Beb, kamu di sini. Aku cariin ke mana-mana. Tadi kenapa kantor nelepon kamu?"

Dani berdeham canggung. "Aku harus ambil sesuatu di kantor."

"Si Maryam itu? Gila, dia nggak capek-capeknya neror kamu. Oke." Adam mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. "Yuk. Sekarang?"

"Bukannya kamu mau ke airport?"

Adam melirik arlojinya untuk mengkalkulasi waktu. "Masih sempet sih, kalau kita berangkat sekarang. Yuk?"

Adam langsung berbalik memeluk Rion tanpa aba-aba, lalu menepuk punggungnya dengan tepukan akrab. Pria itu lebih pendek darinya, tapi otot-otot hasil gym-nya lebih besar dan pelukannya sedikit membuat Rion terkukung.

"See you, man. Entar malem lo ikut makan-makan kan di rumah? Please, lo harus ikut. Please, please, please. Bokap nyokap gue penggemar buku-buku lo. Mereka pasti senang ketemu lo."

Rion tersenyum menimpali tawaran akrab itu. Lalu menoleh ke belakang Adam dan melihat Dani sudah berjalan terlebih dulu menuju mobil BMW X6 warna cokelat metalik milik Adam.

Tanpa menoleh, sang adik membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sepenuhnya menghilang dari pandangan Rion.

***

"Sayangkuuuuuuuu~" Ibu berhamburan memeluk Rion di ambang pintu rumah. "Mukjizat Tuhan memang nyata! Kamu pulang ke rumah setelah tujuh ratus tahun menghilang."

Rion tertawa memeluk sang ibu. Tubuh Ibu jauh lebih kurus dari yang terakhir ia ingat. Bagian puncak kepalanya juga telah dipenuhi rambut putih yang enggan disemir. Namun, harum tubuhnya masih sama, seperti adonan kue, teh melati, dan sabun mandi yang segar.

"Mana koper kamu?" Ibu menarik lengannya masuk ke rumah.

"Ada di kos temen. Aku menginap di sana."

"Kenapa nggak di sini aja?"

Suara Ayah terdengar dari balik sekat yang memisahkan ruang keluarga dengan ruang makan. "Memangnya dia mau tidur di mana, Indah? Sofa? Lantai? Gudang?"

Ayah benar. Rumah kecil ini hanya punya dua kamar tidur. Sofa keluarga mereka terlalu kecil. Dan gudang bukan lagi pilihan nyaman untuk tubuh dewasanya yang tidak lagi mungil.

Rumah sebelah juga sudah dijual enam tahun lalu, kini ditempati pasangan suami-istri pensiunan dengan seekor anjing.

Intinya, Rion harus menginap di tempat lain. Dan kebetulan Ami menawarinya kamar kosong di kos tempat tinggalnya di dekat panti. Pemilik kos bersedia menyewa kamar itu dengan bayaran per hari. Harganya juga masuk akal.

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang