Rion sedikit terkejut saat bangun pagi. Sekelilingnya terasa asing. Tumpukan kardus, tembok yang ditempeli kalender tahun tua, juga jendela persegi panjang kecil yang cahaya mataharinya tidak bisa memenuhi seluruh ruang. Rion baru tersadar, ini bukan rumah lamanya, juga bukan di panti.
"Selamat pagiiiiiii~" sapaan riang itu jelas bukan dari para suster.
Tante Indah sudah berdiri di pintu dengan celemek berwarna seperti krem, satu tangan memegang spatula, satu lagi memegang piring kosong. Mengingatkan Rion pada sosok ibu rumah tangga di film tahun 50an.
"Sarapan sudah siap. Dan selamat Natal."
Keluarga Affandi merayakan Natal dengan ibadah pagi, lalu mereka akan berkunjung ke makam Daniel untuk berdoa. Tante Indah meletakkan sebuket bunga di depan nisan, tak lupa secarik kertas gambar yang dibuat Dani; gambar empat orang-orangan lidi saling bergandengan tangan di depan rumah, tapi yang satunya bersayap dan memiliki lingkaran di atas kepala, dan ada pula ikan kecil yang bersayap dan berlingkaran kepala—pasti Deddy Corbuzier—kemudian ada orang-orangan berambut gondrong yang sedang melayang di atas awan sambil tersenyum seolah menyambut mereka.
Tante Indah mengurai senyum sedih saat berjongkok di depan nisan. Awan mendung menaungi wajahnya. Makna Natal baginya pasti tidak akan pernah sama dengan orang lain, karena putra pertamanya berpulang di hari Natal pada usia yang masih teramat kecil. Om Aswin merangkulnya dari samping. Sementara Dani, meski berjasa menyumbang lukisan sarat makna yang mengharukan, justru terlihat biasa-biasa saja. Mungkin karena anak itu belum lahir saat Daniel ada, maka ikatannya dengan sang kakak nyaris tidak ada.
Dani, dengan dibantu tongkatnya, beringsut mendekati Rion. Anak itu menarik lengan bajunya untuk menjauhi tempat Tante Indah dan Om Aswin. "Aku kapan bisa denger One Direksi?"
"Baru juga kemarin aku tawarin kamu. Kecuali aku punya jin atau tuyul yang bisa langsung kasih aku uang, aku nggak bisa beli CD itu. Aku harus pulang dulu ke panti. Cari duit dulu."
"Gimana caranya cari duit?"
Rion enggan menjawab. Mana mungkin ia berbagi rahasia Suster Johana yang melibatkan rokok, novel dewasa, dan kadang-kadang nomor togel?
Dani mencibir cemberut lalu berbalik meninggalkannya begitu saja. Rion membuntuti langkahnya dengan cepat. Takut kalau-kalau anak absurd itu jatuh.
Diikutinya si Anak Tupai berjalan menelusuri area pemakaman yang sepi, melewati jalan setapak sempit yang membatasi nisan demi nisan. Anak itu terus berjalan semakin lama semakin jauh.
"Aku nggak suka ke kuburan." Seru Dani di depannya.
Rion menoleh ke belakang, menyadari kedua orang tua Dani sudah mulai tidak terlihat. "Kenapa? Takut setan? Setan ada di mana-mana, nggak cuma di kuburan."
"Enggak," Dani menggeleng kecil. "Aku nggak suka Ayah-Ibu jadi sedih setiap kali ke sini."
"Oh."
"Apalagi Ibu. Dia suka nangis. Padahal Natal seharusnya happy."
Langkah Dani berhenti di depan salah satu nisan. Rion berdiri di sampingnya, mengamati sebaris nama yang tidak dikenalnya, beserta tanggal lahir dan tanggal kematian. Nisan itu cukup besar dan sangat terawat, tampak paling mencolok di area pemakaman dengan pahatan berbentuk sepasang sepatu balet yang diletakkan di samping nisan. Nama perempuan di makam ini, mengingatkannya pada salah satu tokoh tragis dari drama Hamlet karya William Shakespeare.
"Cantik ya." Bisik Dani hati-hati, seakan enggan membangunkan arwah di sekelilingnya.
Rion mengamati foto kecil di bagian tengah nisan. Tampak di sana paras cantik seorang perempuan yang masih terlihat sangat muda. Diam-diam ia menghitung usianya saat sang kematian menjemput. Baru 22 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]