10

27.9K 4.3K 1.3K
                                    

Semua yang terjadi di kisah ini adalah fiksi. Setting kisah ini bukan di tahun 98.

***

"Seperti yang kita lihat, di sebelah kanan saya, bahkan di sekeliling saya, massa demonstran dengan pakaian serba putih sebagai simbol revolusi, terus melakukan aksi anarkis, beberapa dari mereka bahkan terlibat baku hantam dengan pihak aparat. Mereka merusak barikade dan melukai—tunggu, saya mendengar suara tembakan—Mbak Gea, saya mendengar suara tembakan, di depan sana, ada tiga kali tembakan, dari sini kita melihat asap pekat, mereka mulai membakar mobil dan pertokoan, aparat tidak bisa—saya kembali mendengar tembakan—ya Tuhan ... Mbak, saya, ya Tuhan—"

"Saudara Hari? Halo? Saudara Hari?"

"Pemirsa, sepertinya untuk sementara waktu ... kami kehilangan kontak dengan reporter kami, kami akan kembali mencoba menghubungi beliau dan ... ya, hingga saat ini, masyarakat masih dihimbau untuk tetap berada di kediaman masing-masing dan tidak—"

"Halo." Dani akhirnya menjawab ponsel milik Adam setelah percobaan yang kesekian.

Rion segera menyingkir dari ruang TV menuju pantri. "Kamu baik-baik aja?"

"Ya. Cuma luka lecet. Dan lipstik kegores."

Rion masih menyempatkan diri untuk tersenyum. "Ibu?"

"... masih tidur. Aku habis tenangin Ibu. Dia pingsan."

Untuk beberapa saat keduanya hanya terdiam. Sayup-sayup Rion menangkap suara berita dari ruang TV, bercampur riuh ketakutan para penghuni kos yang percaya sebentar lagi gelombang massa akan mencapai tempat mereka.

Diserbu massa demonstran tidak pernah terlintas di benak Rion, ia lebih mengkhawatirkan hal lain. Operasi Ayah masih berjalan hingga saat ini, kondisinya kritis dan Ayah kehilangan banyak darah.

Adam telah memberitahunya bahwa baik Ibu maupun Dani tidak jadi berangkat ke Singapura. Begitupun keluarga Adam. Semuanya memilih menunggu di sini, demi menemani keluarga Affandi yang sedang dilanda musibah.

"Semua ini nggak akan terjadi kalau bukan karena aku," suara Dani melantun pelan. "Kalau aja aku mau ikut Adam kemarin. Atau langsung naik mobil, waktu Ayah jemput."

"Dani ...."

"Kami bahkan masih bertengkar di dalam mobil. Aku mengucapkan kata-kata yang nggak sepantasnya aku ucapkan ... aku bilang aku mau berhenti mengikuti semua aturan Ayah, aku mau melakukan apa pun yang aku mau, aku juga bilang aku sudah muak selalu diatur—Ayah kelihatan sedih ... lalu mobil kami berhenti mendadak ... orang-orang itu berdatangan dari segala arah dan mulai memecahkan kaca mobil. Mereka menyeret kami keluar. Perwira bawahan Ayah dihajar, pistol Ayah dilucuti .... Aku mendengar suara tembakan berkali-kali, lalu ada tentara datang menolong kami. Ayah sudah berlumuran darah .... Semua ini nggak akan terjadi, seandainya aku mau menurut."

Rion menunduk dengan kedua mata terpejam.

"Kalau Ayah sampai meninggal—"

"Dani, itu nggak akan terjadi."

"—aku harus gimana?"

"Itu nggak akan terjadi." Satu tangan Rion mencengkeram pinggir wastafel pantri dengan kencang, sampai-sampai ia tidak bisa lagi merasakan apa pun.

Dani menangis di ujung sana. Suaranya terdengar begitu takut dan sarat akan penyesalan.

"Dani ...."

"Aku nggak tau harus gimana."

"Hei ...," Rion tersenyum hancur. "Dengarkan aku, Ayah bakal—dia akan pulih. Jangan menyalahkan diri kamu. Aku yakin Ayah nggak akan—" Rion
menunduk dalam-dalam. Bahkan untuk mencari kalimat penghibur pun, ia tidak sanggup.

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang