Dani masih ingat tahun-tahun itu, ia menamakannya sebagai masa keculunannya, saat ia masih kecil dan kebingungan menghadapi badai perasaan yang datang bertubi-tubi.
***
Dengan satu kaki terangkat dan mulut sibuk mengunyah kue, Dani membanting kartu ke atas lantai. "Uno!"
Teman-temannya yang duduk melingkar langsung meraung kesal. Terutama Nia. Dani baru saja mengambil komik Akasaka kesayangannya karena menang Uno.
"Pokoknyaaaaa, kalau ibu aku pulang, jangan bilang kita main Uno." seru Dani sambil mengumpulkan semua kartu yang berserakan di atas lantai, sementara buku-buku pelajaran mereka masih teronggok tak berguna di dalam tas masing-masing.
"Main ulang lagi!" seru Nia. "Kali ini taruhannya nggak mau pake komik aku!"
"Ya udah pake duit." Dani menggosok dua jarinya untuk meminta uang dari Nia, Vina dan Felis. "Mau taruhan berapa duit?"
Semua teman-temannya mencebikkan bibir. Untuk anak SD kelas 6 seperti mereka, menggunakan uang jajan yang sudah pas-pasan sebagai bahan taruhan Uno, rasanya tidak rela.
"Tunggu kalau aku udah kerja jadi pramugari terkenal, nanti duit aku banyak, kita main kartu pake duit." Felis mengangkat dagu semringah.
Vina ikut menghalu. "Kita main kartunya di hotel mewah sambil makan-makan, abis itu pulang dijemput pesawat jet masing-masing. Kalau udah gede, aku mau jadi bisnis woman yang kaya raya."
"Kalau aku mau jadi kayak kakak aku!" Nia membelalak penuh antusias. "Dia kerjanya cuma dandan cantik terus pake baju cakep setiap malam, abis itu dijemput pake mobil sama bapak-bapak, pulang-pulangnya bawa duit banyak!"
Dani lekas bertepuk tangan. "Aku juga mau!"
"Iiiiih, aku duluan! Kamu bukannya mau jadi mbak-mbak bioskop?!"
Senyuman Dani merekah. "Iya. Aku mau jadi mbak-mbak yang robekin tiket bioskop. Enak, bisa tiap hari nonton gratis."
Pagar rumah terdengar membuka dan keempat anak itu meloncat panik, buru-buru menyembunyikan kartu Uno dan mengeluarkan semua buku pelajaran dari dalam tas.
"Hari ini kita kerja kelompok apa sih?"
"Nggak tau!"
"Matematika aja!"
"Haduh aku nggak punya buku Matematika!"
"Kamu emang nggak pernah punya buku, Dani!"Pintu rumah terdorong dan semuanya langsung duduk manis merangkai senyum, dengan satu buku di masing-masing pangkuan.
Rion, yang berpakaian seragam SMP, berdiri di ambang pintu menatap kaku pemandangan aneh itu. Barulah para anak perempuan menghela napas lega karena bukan Ibu yang datang.
"Kak Rion, haiiii, aku Felis. Masih inget, kan?"
"Ya ampun, cute bangeeettt."
"Kak Rion, ajarin kita Matematika donk. Hihihihi."Dani memandang pasrah teman-temannya. Kalau saja Ayah tidak melarangnya kerja kelompok di rumah Nia atau Vina, tentunya ketiga teman norak itu tidak perlu mengotori rumahnya dan caper ke kakaknya.
"Kenapa sih?! Nggak seneng banget kalau kita godain kakak kamu? Dia kan gemeeees." Felis menggoyang-goyang pinggulnya. Untungnya Rion sudah meninggalkan ruangan ini menuju dapur.
"Eh, Dan, dia udah punya pacar belom sih?"
"Kemarin aku liat dia nempel mulu sama Agni? Hiiiii, kok mau sih? Agni kan kayak mak lampir."
"Mendingan sama aku nggak sih? Aku rela kok duduk manis lima jem dengerin dia ngomongin rumus Matematika."
Dani tidak menjawab. Ia masih duduk di kelas 6 saat itu, umurnya sebelas tahun lebih sedikit, dan ia kebingungan mengapa ia harus merasa terganggu membayangkan kakak angkatnya dekat dengan anak perempuan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]