Dengan langkah gontai Rion mendorong pagar dan mempersilakan Dani memasuki rumah kos tempatnya menginap. Wanita bermulut netizen bernama Tante Ribka itu membuntuti mereka dari belakang. Tempat ini adalah lokasi terdekat yang bisa mereka capai dengan berjalan kaki. Mustahil mereka memanggil kendaraan umum di saat seperti ini untuk pulang.
Ketika mereka masuk, para penghuni kos tengah berkumpul di ruang TV yang terletak di lantai satu. Lebih dari sepuluh orang berdiri melingkar di sana, menonton siaran berita yang mewartakan aksi demonstrasi yang mulai merebak ke mana-mana. Massa membakar rumah dan pertokoan, merusak sarana dan fasilitas umum, juga melukai warga sipil tak berdosa. Presiden Syarif telah diamankan ke lokasi rahasia, dan Polri dikerahkan dalam jumlah besar untuk menangani aksi anarkis yang tak lagi ditunggangi mahasiswa ini.
"Sudah bisa telepon Ayah?" Dani menyentuh pelan siku tangannya.
Rion menggeleng. Ayah belum bisa dihubungi sejak tadi, sedangkan Ibu sudah mengabarkan bahwa keluarga Adam membawanya kabur ke rumah mereka yang dijaga ketat oleh pengawal. Ibu aman dan meminta mereka untuk tidak khawatir.
Dani sendiri bukannya baik-baik saja. Kening dan lutut di bawah roknya lecet, kemejanya kotor, dan telapak kakinya kemerahan akibat berlari melepaskan heels.
Di saat dia seharusnya mengurusi diri sendiri, Dani menuntun Tante Ribka meninggalkan ruang TV untuk menepi di bawah anak tangga. Siaran berita di TV itu sepertinya membuat Tante Ribka semakin trauma.
"Untuk sementara tinggal dulu di sini. Di depan gang ada kantor polisi, wilayah sini cukup aman." Rion memberinya botol air minum dingin, yang langsung dioper Dani ke Tante Ribka.
"Saya nggak mau minum! Saya mau pulang! Saya mau telepon anak saya!" Botol itu dilempar Tante Ribka mengenai wajah Dani.
Wajah Dani terlempar ke samping. Rion terbeliak, segera menghampiri Tante Ribka tapi Dani menahan lengannya. "Dia cuma ketakutan."
Bibir Tante Ribka gemetar menahan tangis. Dipandanginya Dani. Rasa takutnya bercampur dengan perasaan tersentuh melihat Dani yang masih saja bertahan menghadapi sikap buruknya, bahkan tidak meninggalkannya untuk menjadi remah-remah kerupuk di bus, seketika tangisan Tante Ribka pun pecah.
Dani mendekat dan berdiri di hadapannya. "Kami akan terus coba telepon anak Tante lagi. Jangan khawatir, dia pasti nggak kenapa-napa."
"Saya takut." Isak sang Tante.
"Kita semua takut."
"Saya minta maaf, udah nyusahin kalian, semoga bayi kamu baik-baik saja."
Dani mengusap perutnya. "Kamu baik-baik aja, Nak?" Kemudian memasang mimik serius seperti sedang mendengarkan suara gaib, dan kembali menoleh ke Tante Ribka. "Dia bilang dia baik-baik aja, dia pake helm."
"Kalian ... sudah mencari nama untuk anak kalian?"
"Darion." Jawab Dani.
Rion berjalan menuju pantri di samping tangga dan mulai mengambil kopi sachet dari rak. Bukan hanya Tante Ribka seorang yang menyimpan trauma. Tangan Rion gemetar. Ketika ia memutar kembali peristiwa mengerikan yang hampir saja mencelakakan mereka tadi, jantungnya dicabik, membayangkan apa yang bakal terjadi seandainya mereka tidak berhasil lolos. Apa yang akan terjadi, seandainya mereka terpisah atau Dani tertinggal di belakangnya.
Sebagai jurnalis, Rion tahu demonstrasi ini tidak akan berakhir dalam waktu cepat. Aksi barusan bukan lagi didalangi mahasiswa, tapi telah disusupi pihak dengan kepentingan politik untuk maju ke Istana. Para perusak tadi juga jelas bukan mahasiswa, melainkan preman bayaran yang bersedia melakukan apa saja demi mengenyangkan perut—merusak atau membunuh bukanlah perkara sulit. Negara hancur, RI 1 tumbang, lalu politisi yang tak kalah busuknya maju menggantikan. Semua bakal sama saja. Yang paling dikorbankan selalu rakyat.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]