[ 4 ]

21.1K 4.4K 744
                                    

Keracunan di mobil.
Bunuh diri.
Ada surat yang ditinggalkan.
Permintaan maaf.
Atas perbuatannya pada Mama Rion.

Rion mengigil.

Kedua matanya terpejam erat, dan gigitan di bibirnya semakin keras, sampai-sampai darah mulai meninggalkan jejak asin di lidahnya.

Ia berdiri di depan rak makanan ringan di dalam sebuah mini market. Entah bagaimana ia bisa mencapai tempat ini. Ia hanya ingat ia terus berlari di sepanjang jalanan komplek rumahnya, lalu keluar dari gerbang komplek, dan berjalan tak tentu arah di sepanjang trotoar jalan raya di depan komplek perumahannya. Mini market ini adalah tempat pertama yang disinggahinya.

Namun, sekeras apa pun usahanya untuk melarikan diri, berbagai ingatan kelam itu kembali menyerbunya tanpa ampun.

Mama dan Papa sama-sama dibesarkan di panti asuhan. Sejak kecil keduanya sudah bersama, lalu saling jatuh cinta dan menikah. Setelah dewasa, mereka meninggalkan panti asuhan dan menyewa rumah kontrakan sederhana, sebelum akhirnya Rion lahir setahun kemudian.

Papa sangat pendiam dan tertutup, sementara Mama lebih menggebu-gebu. Mama menyimpan berbotol-botol obat entah untuk apa, dan selalu menenggaknya setiap kali habis menangis atau berteriak.

"Aku depresi," kata Mama saat bertengkar dengan Papa. Satu saat, Rion mendengar semuanya. "Memangnya aku pernah minta semua ini? Memangnya salah aku, kalau aku hamil dan Rion ada? Kita seharusnya nunda. Atau nggak nikah, sekalian. Seharusnya semua ini nggak terjadi. Kamu. Kita. Rion."

Seperti biasa, Papa tidak menanggapinya. Bukan hanya pelit bicara, pria satu itu juga miskin emosi.

Mama tidak pernah memasak untuk mereka. Tidak pula membereskan rumah atau sekadar memandikan Rion saat ia masih kecil. Mama sering keluar rumah sepanjang hari, sepenuhnya mengabaikan Rion. Membuat Rion terbiasa sendiri.

Jangankan membacakan dongeng atau bernyanyi untuknya sebelum tidur, Rion bahkan tidak ingat apakah sang ibu pernah sekadar menggandeng tangannya.

Ketika Rion berumur tujuh tahun, Mama mulai sering membawa pria asing ke dalam rumah, biasanya saat Papa masih bekerja di toko jam dari pagi hingga sore. Rion mendiamkannya, semata karena Mama terlihat lebih bahagia, lebih sering di rumah, dan derai tawanya kerap mengisi sudut-sudut hati Rion yang sepi. Mama juga membuang semua obat-obatannya.

Suatu ketika, pada bulan April tahun ini, Mama bangun sangat pagi, dia memasak sangat banyak untuk Papa dan Rion. Dia juga membersihkan rumah hingga memangkas rumput liar di halaman. Mama kelihatan rapi pagi itu, bahkan berdandan di depan cermin kamar tidurnya sambil memulas lipstik.

Saat Mama mulai menenteng koper, Rion merajuk ingin ikut. Tapi Mama menolak.

Didorongnya bahu Rion perlahan-lahan. Parfum menyengat beraroma mawar menyeruak dari tubuhnya, saat Mama menunduk dan berbisik. "Mama lebih baik tanpa kamu."

Masih teringat jelas di kepala Rion, bagaimana Mama tertawa sangat riang dan melambai tangan kepadanya, bersama kekasih gelapnya yang telah menanti di luar rumah.

Sudut-sudut di hati Rion kembali hampa.

Sore harinya saat pulang dari toko jam, Papa hanya duduk di meja makan tanpa bersuara. Mama pergi tanpa surat atau kabar, dan Rion tidak perlu bertanya untuk tahu, bahwa Mama juga tidak akan kembali.

"Kita dibodohi. Kita berdua dibodohi," gumam Papa di meja makan. Tatapannya gelap dan wajahnya tertekuk murung, tapi Rion melihat kedua tangannya terkepal marah. "Kita tidak pernah diinginkan. Kamu, dan Papa, kita ditinggalkan begitu saja. Mama kamu bilang kalau dia lebih baik tanpa kamu. Lihat? Dia bukan perempuan baik."

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang