Udah siap mental buat part dag-dig-dug ini? Harus siap donkkkk***
"Bukan aku, yang memulai semuanya. Kamu yang pertama kali menjauh."
Rion terbangun dari tidur tidak lelapnya, masih dengan pakaian lengkap dan berkeringat hebat. Ditatapnya layar ponsel yang menunjukkan pukul dua dini hari.
Suara bising dari rooftop rumah tidak lagi terdengar. Perlahan, Rion menegakkan tubuhnya dan duduk di tepi tempat tidur. Layar ponsel yang silau masih diamatinya dengan hampa.
Tak lama, jari Rion bergerak menelusuri daftar kontak, dan menekan nomor seseorang yang telah tujuh tahun ini tidak pernah dihubunginya. Orang yang hanya bisa dipikirkannya diam-diam.
"Halo." Suara itu mengangkat dengan cepat. Di pukul dua dini hari yang Rion sendiri yakin semua orang sudah terlelap.
"Hai. Tupai. Kamu udah tidur?"
"Udah. Ini arwah aku yang jawab."
Rion membungkuk sambil berpikir keras menyusun permohonan maafnya. Ia tidak akan merangkai kalimat penuh pembelaan diri. Sedikit pun tidak.
"Lebih baik kamu ngomong cepat. Aku masih harus bajak sawah habis ini."
"Aku berutang maaf sama kamu, untuk delapan tahun lalu, juga untuk hari ini. Aku nggak pintar bicara. Cuma mau bilang, aku akan melakukan apa pun buat memperbaiki ini."
Dani membuat jeda yang cukup lama di antara mereka. Membuat Rion merasa putus asa berada jauh darinya, ia ingin berada di sana, melihat Dani dan meminta maaf langsung padanya.
"Aku boleh ke sana?" Entah kerasukan roh apa dirinya saat ini. "Sekarang?"
Dani masih tidak menjawab.
"Dani?"
"Rion, ini jam dua pagi."
Rion lekas beranjak. "Aku ke sana sekarang."
"Ada Adam."
"Oh." Kemudian terduduk lagi. Baik. Baik.
"Adam nginep. Tidur di sofa depan."
Rion mengangguk perlahan. Rupanya sofa tidak terlalu sempit untuk tubuh binaragawan Adam. Tidak mengapa, Rion membisiki dirinya sendiri, berhentilah merasa disakiti oleh sesuatu yang jelas-jelas bukan hak kamu.
"Dani, kamu besok ke kantor?"
"Iya. Ambil berkas-berkas buat dibawa pulang, lagi. Masih banyak yang ketinggalan. Kantor bakal diliburkan sampai tanggal dua, jadi aku harus kerja dari rumah."
"Kalau gitu aku boleh temenin kamu? Jam berapa kamu berangkat?"
"Rion, Adam yang—"
"Sini, biar aku yang ngomong sama Adam: aku yang temenin kamu. Aku yang antar jemput adik aku."
Dani membisu lagi, dan samar-samar Rion bisa mendengar suara gesekan selimut. Mungkin Dani baru saja bangkit dari tempat tidurnya.
"Aku mau melakukan banyak hal sama kamu—maksud aku, seperti nongkrong dan menghabiskan waktu. Dua minggu bukan waktu yang lama."
"Jemput aja, ya? Aku bisa berangkat sendiri. Aku nggak akan lama di kantor. Ambil file, beres-beres, ribut mulut bentar sama bos, paling-paling ... uhmmm, jam sepuluh. Bisa jemput aku jam sepuluh?"
***
Rion menyesal bahwa pakaian terbaik yang dikemasnya ke koper hanyalah kaus putih, kemeja flanel membosankan, serta celana jins lusuh yang warnanya sudah pudar. Pakaian terbaiknya telah dipakai di pemakaman Suster Kepala kemarin. Belum dicuci.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]