"Udah selesai? Nggak ada yang perlu dibantu? Bawang putihnya nggak dipake semua, kan? Sisain dikit aja. Awas airnya jangan kebanyakan. Bawang merahnya ja—"
"Bu," Rion memotong dengan seulas senyum. "Aku bisa."
Ibu mengangguk malu. Sepenuhnya lupa bahwa putranya sudah pintar memasak sejak kelas 8.
Diamatinya Rion yang kini bergerak sangat luwes di dapur. Menumis bawang merah dan bawang putih hingga harum, memasukkan brokoli yang sudah direbus sebelumnya selama tiga menit, lalu menumisnya dengan api besar. Tidak lupa wortel, air kaldu, dan garam - gula secukupnya. Hanya butuh beberapa menit saja, tumis brokoli itu sudah dihidangkannya ke atas piring saji.
Jam dinding dapur masih menunjukkan pukul tiga subuh. Ia harus cepat berangkat menuju klub renangnya.
Di hari pertama sekolahnya, delapan tahun lalu, Ibu Kepala Sekolah memintanya mendaftar eskul. Ia menolak, tapi mereka tetap bersikeras bahwa setiap murid harus memilih. Kemudian karena tidak ada klub Tidur Siang dan klub Memberi Makan Kucing, Rion akhirnya memilih satu cabang eskul yang tidak mengharuskannya untuk bekerja sama dalam tim.
Renang.
Siapa sangka, ternyata ia sangat menikmati renang. Dan berbakat pula.
Di eskul renang yang anggotanya hanya sebelas orang—dan semuanya tidak ada yang benar-benar serius karena hanya ingin kelihatan keren—itu, Rion menjadi satu-satunya siswa yang paling menonjol.
Saat duduk di bangku kelas 7, Rion sudah mewakili sekolah dalam kompetisi renang seJakarta. Lalu keluar sebagai juara enam. Lumayan, mengingat ia baru mulai menekuni olahraga satu ini setahun lalu.
Lalu Pak Paul, pelatih renang sekolah, menyadari bakat Rion akan sia-sia bila ia hanya berlatih di jam pulang sekolah. Rion pun dikirimnya untuk berlatih ke klub renang profesional. Gratis. Biaya ditanggung semua oleh sekolah. Yang perlu dilakukan Rion hanya pintar-pintar membagi waktu antara renang dan pelajaran sekolah, lalu berlatih ekstra tekun setiap kali mendekati kompetisi; termasuk bangun sangat subuh untuk menempuh perjalanan 12 km menuju klub renangnya.
Seperti yang ia lakukan hari ini.
"Jangan sampai Dani lupa bawa ini ke sekolah," Rion hati-hati memindahkan tumisan brokolinya ke dalam tupperware bersih. Tapi tidak menutupnya karena masih panas. Tupperware itu hanya diletakkannya ke atas meja.
"Si Manja itu," Ibu menggeleng-geleng capek. "Cuma mau makan sayur kalau kamu yang masak. Kamu jadi repot."
Rion tertawa, lalu memeluk Ibu dan mencium keningnya. "Berangkat dulu."
"Kamu juga jangan lupa sarapan."
"Diet ketat." Rion menyambar tas ransel sekolah dan tas perlengkapan latihannya, lalu berlari meninggalkan rumah menuju mobil. Ayah, yang sudah lengkap dengan seragam polisinya, duduk menunggu di mobil dengan mesin menyala. Langit di luar masih sangat gelap. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di jalanan komplek perumahan mereka, selain seekor kucing liar yang sedang menjilat bokongnya sendiri.
Kucing itu berlari terbirit-birit begitu mobil melaju.
"Kompetisinya seminggu lagi," seru Ayah di tengah perjalanan. "Latihan keras boleh-boleh aja, tapi pelajaran juga nggak boleh ketinggalan."
"Ya." Rion menyandar ke kursinya.
"Hari ini hari pertama sekolah. Sekolah sudah mengizinkan kamu bolos di dua jam pertama, maka pastikan kamu nggak telat."
"Aku akan ambil bus paling pagi." Perasaan Rion sedikit kacau, saat membayangkan ekspresi Dani begitu nanti anak itu bangun tidur dan mendapatkan mereka tidak berangkat sekolah bareng. Padahal hari ini hari pertama Dani menjadi murid SMA. Begitu antusiasnya si Anak Tupai, sampai-sampai dia memaksa Rion membangunkannya jam lima.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]