"Nanti di sekolah baru, sepatunya harus warna putih. Kamu punya?"
"Nggak punya." Semua sepatu Rion berwarna hitam.
"Berarti kita harus beli di mal."
"Horeeeeeee~ ke mal!" Dani bersorak girang.
"Apa lagi ya, kebutuhan kamu? Hmmm, baju? Buku-buku sekolah. Ya, tentu saja. A-ha, tas sekolah! Kok bisa-bisanya Tante lupa! Hmmm, alat-alat tulis. Jangan lupa kaos kaki—"
"Tante?"
"Ya!" Tante Indah menoleh dari tempatnya. Satu poci berisi teh panas di tangan kiri, satu piring pisang goreng di tangan kanan.
Rion tersenyum kaku padanya. "Saya sudah punya semuanya. Kecuali sepatu putih."
Om Aswin yang sedang membaca koran, perlahan mendesah dengan nada sarat cemooh tanpa sedikit pun melirik Rion.
Mungkin Om Aswin tengah menertawakan tingkah sang istri yang repot sepanjang hari, mulai dari membongkar barang-barang rongsokan di gudang sempit dan menyulapnya menjadi kamar tidur sederhana, hingga menganggap Rion anak pindahan dari Planet Mars yang tidak memiliki apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuh.
"Rumahnya ada di sebelah, Indah," cetus Om Aswin masih sambil membaca koran. "Di sebelah. Semua barangnya ada di sana, tinggal ambil. Tas, alat tulis, baju tidur, bahkan panci penggorengan kalau mau."
"Oh iya," Tante Indah terkekeh malu. "Tinggal ke sebelah ya?"
Sementara Rion lebih penasaran pada apa yang ada di kepala Om Aswin. Semenjak proses pengadopsian yang penuh haru di hari Natal kemarin, Om Aswin belum bicara padanya sama sekali. Sesekali—tidak, lebih tepatnya lagi berulang kali—Rion menyadari sang polisi tengah mengamatinya tajam, seakan sedang mempertimbangkan keputusan besar itu.
"Jadi cuma sepatu putih yang belum ada. Kita terpaksa harus menyeret kamu ke mal siang ini," Tante Indah memasang wajah pura-pura malas. "Ada yang mau ke mal?"
"Akuuuuuuuuuu!" teriak Dani.
Om Aswin tidak repot-repot menawarkan diri untuk mengantar mereka. Pak Kombes Polisi itu lebih suka menghabiskan liburan singkatnya di rumah, membaca koran sambil menikmati teh poci.
"Dia memang begitu," saat mengemudi mobilnya, Tante Indah membaca semua kerisauan di wajah Rion. "Nggak usah dimasukin ke hati. Besok juga dia balik kerja lagi, rumah bakal damai lagi."
Rion duduk diam di bangku depan, sementara Dani, yang duduk di kursi belakang, sudah mulai asyik sendiri mengikuti tembang lawas Ruth Sahanaya di stereo mobil—yang Rion yakini makna liriknya tidak akan dimengerti Dani.
Aku cinta, kepadamu
Aku rindu dipelukmu
Namun ku keliru
Telah membunuh
Cinta dia dan dirimu
Uuhhhh ...."Ibuuuuuuuu, kenapa mereka mau bunuh-bunuhan?"
Tuh, kan?
Alih-alih menjawab, Tante Indah segera mematikan kaset dari stereo mobil. Yang langsung dibalas Dani dengan pekikan protes.
"Salah satu keanehan Om Aswin adalah itu," bisik Tante Indah pada Rion, sambil mendelik ke kursi belakang. "Dia mengira dengan menjejali Dani lagu-lagu jadul, Dani bakal jadi lebih alim dibanding anak-anak sekarang yang kecanduan lagu Barat. Padahal menurut Tante, semua sama aja."
Firasat Rion semua ini belum selesai.
"Selain membatasi asupan lagu, Om Aswin juga membatasi pergaulan Dani. Nggak boleh punya temen cowok—gila nggak, tuh? Nggak boleh punya hape—kalau ini, Tante masih bisa ngerti. Nggak boleh ke rumah temen sekalipun buat kerja kelompok. Nggak boleh keluar dari pintu rumah di atas jam lima sore. Mungkin dia pikir dia masih hidup di zaman Diponegoro?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You Anymore
RomanceSatu saat nanti, aku akan berhenti mencintai kamu. [CERITA INI DILARANG DIPLAGIAT]