[ 3 ]

23.3K 4.8K 914
                                    

Pertama kali Rion mendengar istilah 'buta warna parsial jenis tritanopia', adalah ketika ia masih duduk di bangku SD kelas 1, saat itu guru Kesenian memintanya mengambil pensil warna kuning dan hijau. Yang diambil Rion adalah pink dan abu-abu.

Kedua orang tuanya dipanggil. Lalu Mama bilang, sudah sejak lama beliau curiga karena Rion sulit membedakan warna lampu lalu lintas.

Rion diboyong ke dokter spesialis untuk menjalankan tes Ishihara. Alhasil, seuntai nama asing Tritanopia itu pun meluncur sebagai diagnosa dokter.

Katanya, ada kerusakan dari sel kerucut di retinanya, yang membuatnya sulit membedakan warna-warna tertentu khususnya biru dan kuning. Kelainannya ini disebabkan faktor genetik, tapi karena Papa dan Mama sama-sama besar dari panti asuhan, maka mustahil ditelusuri siapa gerangan yang berjasa menyumbang kelainan istimewa ini.

"Wah, Rion, mata kamu minus?"

Suara Tante Indah mengejutkan Rion dari luar pintu, saat ia sedang asyik memakai kacamata spesialnya sambil memandangi Deddy Corbuzier.

Buru-buru Rion melepaskan kacamata berlensa oranye itu dan memandangi Tante Indah. Pagi ini, sang tetangga membawakan sepiring nasi uduk lengkap dengan irisan telur dadar.

Air liur Rion hampir tumpah. Perutnya keroncongan sejak kemarin.

"Ayah kamu belum pulang, Sayang?" Tante Indah meletakkan dua piring sarapannya ke atas dus pindahan rumah yang belum terbuka.

"Belum." Papa belum juga pulang sejak kemarin.

"Kamu sudah makan?"

Rion kembali menjawab belum.

"Mmmm ... boleh Tante tanya di mana ibu kamu?"

"Kerja."

"Masih kerja," wanita itu mengangguk bingung. "Oh iya, bubur kemarin gimana? Enak nggak?"

Rion mengambil dua mangkuk bekas bubur yang sudah dicucinya. "Enakan masakan Mama." Kemudian diserahkannya mangkuk itu ke pelukan Tante Indah.

"Wah, kalau gitu Tante nggak sabar ketemu mama kamu. Dia kerja di mana?"

Rion enggan menjawab.

"Hmmm. Oh iya, ngomong-ngomong, hari ini Dani ulang tahun loh. Nanti ada acara kecil-kecilan, tiup lilin-potong kue sama teman-temannya," Tante Indah melirik prihatin tiga bungkus mi instan yang berserakkan di lantai dapur, lalu berbalik menatap Rion. "Jam dua belas, kamu ke rumah Tante ya. Kita potong kue bareng. Di situ juga banyak makanan, kamu boleh makan sepuasnya sampai kenyang. Dibungkus buat makan malam juga boleh. Oke, Sayang? Tante tunggu ya."

Rion tidak suka acara ulang tahun karena ia benci keramaian, tapi rasanya tidak tega menolak tawaran Tante Indah. Bagaimanapun juga, makan gratis lebih enak daripada makan remah-remah mi instan kering.

Akhirnya, Rion pun mengangguk.

Sebelum jam dua belas tiba, Rion buru-buru mencari baju terbaiknya dari dalam kardus pindahan, kemudian menyisir rambut dan mengenakan sendal sambil berjalan terseok-seok meninggalkan rumah—satu ketiak mengimpit piring Tante Indah yang sudah dicuci bersih, dan dua tangan memeluk aquarium.

Rion yakin tidak akan terjadi sesuatu yang buruk, seperti misalnya kakinya tersandung kemudian semua barang bawaannya pecah. Tidak akan. Ia bisa berhati-hati. Lagi pula apa susahnya membawa barang-barang pecah belah ini?

Dan ternyata, memang susah.

Sepertinya kesialan memang lekat padanya semenjak pindah ke rumah ini. Entah kutukan apa, yang membuat semua imajinasi liarnya terwujud nyata; jempol kakinya yang tahu-tahu tersandung lantai depan teras, dan tubuh ringkihnya yang tahu-tahu terpeleset jatuh seperti peserta ice skating yang sedang sial. Piring di ketiaknya meluncur mulus dan hancur berserakan. Seakan belum cukup tragis, akuarium ikannya juga ikut terlempar dan terbanting pecah.

I Don't Love You AnymoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang