• bab 51 •

396 73 17
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Author POV

Kobaran semangat dari para pengikut RedForces menggema di udara. Terdengar begitu riuh, seolah kemenangan sudah mereka gapai di genggaman tangan.

Bruen, ketua mereka yang nampak begitu agung dengan jubah merah darah itu tersenyum lebar.

"Kak, lihatlah dengan jelas dari atas sana. Black pearl yang kau incar seumur hidup itu pasti akan segera kudapatkan." Bruen menyeringai lebar.

Dan senyum itu semakin tertarik kala melihat kedatangan beberapa pasukan, yang hadir dengan langkah tegap.

"Persiapan sudah sempurna, Bruen," ucap salah satu dari mereka.

"Bagus. Lalu tunggu apa lagi? Mari lancarkan semua rencana kita."

"Baik." Mereka menjawab kompak sebelum mengundurkan diri kembali ke barisan, dan memberi perintah pada yang lain.

Bruen menatap sebuah kotak raksasa di tengah-tengah sana dengan raut penuh kepuasan. Kelemahan utama para wizard juga sorcerer itu kini berada di genggaman tangan. Sudah pasti mereka akan menang. Pikirnya begitu.

Dengan langkah yakin, mereka pun pergi menembus hutan terlarang, menuju tempat di mana para wizard juga sorcerer itu berada, sambil sesekali menghanguskan beberapa tanaman yang tengah bermekaran.

Tanpa diketahui, bahwa tanaman-tanaman itu kembali tumbuh di belakang mereka.

Kelompok memecah sesuai rencana. Bruen dan para warlock yang ditugaskan membawa kotak raksasa itu bergerak ke pintu utama, sementara yang lain ke arah selatan, timur, juga barat.

Namun setibanya mereka di sana, wajah sombong yang memancar, mendadak sirna begitu saja. Kerut di dahi Bruen juga para pengikutnya pun bermunculan, saling menggantikan.

Sepi dan sunyi. Dua perpaduan itu bertegur saling menyapa mereka.

"Di mana para wizard? Mengapa tempat ini menjadi mati seolah tak berpenghuni?" Eldes bertanya mewakili yang lain.

"Padahal aku sudah tidak sabar ingin membalaskan dendamku pada si pengendali tanah itu," Lexie menggeram kesal hingga menunjukkan gigi taringnya. Pikirannya berkelana saat Lacie, sage yang memiliki kekuatan terram atau tanah itu membenturkannya ke bumi hingga membuat wajahnya lebam di beberapa sisi pada perang lalu.

"Apa mereka sebegitu lengahnya hingga tidak menaruh penjaga satupun di sini?" tanya Ellen.

"Kurasa tidak. Di perang sebelumnya pun, mereka menempatkan beberapa wizard di garis terdepan." Sembari memandang sekitar, Theo menimpali.

Lexie mengerutkan kening. Ia mulai menaruh curiga. Seperti ada yang tidak beres di sini. "Lalu bagaimana dengan wilayah yang lain?"

Seseorang yang datang dari arah utara berlari mendekat. Dengan peluh di kening, ia kemudian berucap, "seluruh kaum wizard tidak ditemukan di manapun, Bruen. Kami sudah mengeceknya sebanyak dua kali."

The Last SorcererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang