[Fantasy & (Teen/High School) Romance]
Latar : Jepang
•••
Dunia sihir itu ada.
Begitulah menurut pendapat Yuuki. Meski bullyan sudah seperti sarapannya, Yuuki tak peduli. Ia masih kekeh dengan pendapatnya mengenai dunia sihir itu.
Sampai suatu hari...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Yuuki POV
Keluar dari asrama, aku memanjangkan leher, menoleh ke kanan kiri, memastikan tidak ada laki-laki berperawakan tinggi, dengan rambut hitam legamnya, juga tatapan datar yang menjadi ciri khas.
Tentu saja, Kou adalah orang yang aku maksud.
Perkataannya kemarin, entah mengapa membuatku merasa gugup dan malu di saat yang bersamaan. Sebuah perasaan asing, yang jujur, belum pernah kurasakan sebelumnya.
Ada apa denganku? Aku terus menanyakan ini sejak semalam. Namun hanya kebisuan yang kudapatkan.
Aku sontak menghela napas begitu keadaan dinyatakan aman. Dengan langkah setengah ragu, aku ayunkan kedua tungkai ini menyusuri gedung, dan menuruni tangga yang terhubung dengan ruang bawah tanah, tepatnya ke sebuah ruang yang merupakan tempat isolasi pada tawanan.
Termasuk di antaranya, yakni, Inori. Tujuan mengapa aku bisa di sini.
Sebelum masuk, tiga orang penjaga berperawakan besar memberi penghormatan kepadaku, yang kubalas langsung dengan punggung merunduk.
"Maaf kalau saya lancang, tetapi, apa yang membawa Yang Mulia sampai datang kemari? Apa kami telah berbuat suatu kesalahan?"
Aku mengukir senyum, "tidak, tidak. Kalian tidak berbuat salah apapun. Aku datang ke sini karena ingin mengunjungi Inori. Apa aku diperbolehkan untuk bertemu dengannya?"
Ketiga orang di depanku saat ini nampak menolehkan kepala satu sama lain.
"Kalau kalian khawatir aku akan kenapa-kenapa, tenang saja. Bukankah kalian sudah tahu, bahwa saat kni kekuatan Inori melemah, bahkan tidak bisa dipakai? Jadi dia tidak mungkin akan menyerangku, karena itu sama saja dia ingin membunuh dirinya sendiri."
Salah satu dari mereka yang berdiri di tengah lalu mengangguk. "Baiklah, Yang Mulia. Tetapi izinkan salah satu dari kami menjaga di depan ruangan."
Aku mengembuskan napas, "kalau begitu, ayo."
Penjaga yang berdiri di sebelah kanan, yang memakai gelang dengan liontin berbentuk lingkaran pipih berwarna perak itu, lalu menghampiriku.
"Mari, Yang Mulia," ucapnya begitu gerbang isolasi dibuka dengan sebuah mantra cukup panjang, yang sempat membuatku pening sendiri mendengarnya.
Kepalaku mengangguk, sebelum melangkahkan kaki mengikuti ke mana penjaga itu bergerak.
Selagi menuju ruang Inori, pandanganku tak henti untuk menyusuri sekeliling.
Ruang isolasi rupanya tidak seseram yang kubayangkan. Terlihat seperti deretan kamar di asrama jika dilihat sekilas. Hanya minimnya pencahayaan saja yang membuatnya nampak mencekam.
Langkahku pun terhenti begitu si penjaga berdiri di depan sebuah ruangan, sembari membacakan mantra kembali. Mulutnya terlihat komat-kamit hampir selama tiga menit.