***
Setelah aku melewati hari dengan berada di perpustakaan hampir seharian, Irina dan Inori akhirnya mengajakku untuk makan malam di kantin akademi.
Sebenarnya aku sedikit ragu untuk ke sana. Karena itu artinya, aku mau tak mau harus menunjukkan wajah asingku ini di hadapan para penyihir lainnya. Dan nilai plusnya, aku benci menjadi pusat perhatian.
"Tidak bisakah makanan itu dibawa kemari?"
"Ayolah, Yuuki! Tidak ada yang salah dengan kehadiranmu di sini. Lagi pula mereka sudah terlebih dulu tahu tentangmu yang datang dari bumi," jelas Irina yang malah membuatku semakin ragu untuk ke tempat bernama kantin itu.
"Mereka tidak akan menggigitmu hanya karena kau dicap sebagai wizard yang tersesat di bumi." Inori menimpali.
Aku menelan ludah bulat-bulat sebelum akhirnya kuanggukkan kepalaku meski ragu masih bersarang di benak.
Senyum Irina dan Inori terbit begitu melihat gerakan kepalaku. Tak lama kemudian tubuhku langsung diseret ke tempat itu tanpa banyak basa-basi lagi. Berkali-kali kucoba memberontak, mereka justru semakin mengeratkan pegangan pada tanganku. Seketika aku menyesal telah menganggukkan kepalaku tadi.
Gugup kini mengambil alih tubuhku begitu langkah kami sampai di depan sebuah pintu cukup besar yang kedua daunnya terbuka lebar.
Kutengok sebentar ke arah dalam, dan aku terkejut saat melihat suasana kantin yang begitu ramai malam ini. Atau mungkin kantin akademi selalu ramai di saat waktunya jam makan?
Kau bodoh, Yuuki. Jangankan di dunia sihir, di sekolah bumi pun kau juga pasti akan menemukan itu di setiap jam makan siang. Kurutuki diriku dalam diam.
Sepertinya aku perlu mereset ulang otakku ini agar tak lagi berpikir lambat.
"Ayo, Yuuki. Perutmu sudah menunggu untuk segera di isi."
"Tapi-"
"Tak ada tapi-tapian." Mereka kemudian kembali menyeretku masuk.
Aku diseret hingga ke sebuah barisan yang kuyakini itu adalah antrean.
Sepanjang kami mengantre, beberapa penyihir mulai berbisik tentangku. Bagaimana aku tahu? Mudah saja, mereka berbisik sembari menatapku dari atas kepala hingga ujung kakiku yang terbalut sepatu sandal putih, seakan tengah menilaiku. Ah, mungkin lebih tepatnya menilai pakaianku yang memang terlihat mencolok dibandingkan mereka.
Bukan. Bukan karena aku memakai sesuatu yang glamor atau memiliki unsur berkilau, hanya saja, di tempat seluas ini, di antara puluhan penyihir berseragam yang tengah berada di sini, hanya aku yang memakai baju santai.
Haha.
Bisakah kau beri tepuk tangan padaku?
Oke. Lupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Sorcerer
Fantasy[Fantasy & (Teen/High School) Romance] Latar : Jepang ••• Dunia sihir itu ada. Begitulah menurut pendapat Yuuki. Meski bullyan sudah seperti sarapannya, Yuuki tak peduli. Ia masih kekeh dengan pendapatnya mengenai dunia sihir itu. Sampai suatu hari...