• bab 15 •

2.2K 313 20
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Kringggg

Aku menggeliat kemudian mengerjapkan mata beberapa kali sebelum tangan kananku bergerak untuk mematikan alarm sialan itu.

Pukul 06.30 am.

Rupanya aku kembali mencetak rekor.

Setelah melakukan peregangan pada otot-otot, aku mulai bangkit dan pergi ke kamar mandi untuk melaksanakan ritual pagiku.

Begitu sudah, aku tidak mengunakan seragamku terlebih dulu karena aku harus menyiapkan beberapa macam makanan untuk kumasak dan kubagikan pada Kou nantinya, sesuai janji kemarin.

Dengan baju tidur yang merekat di badan, aku bergerak menuruni tangga dan melangkah menuju dapur. Kemudian menyiapkan beberapa bahan makanan yang akan kugunakan untuk membuat beberapa menu sederhana.

Namun belum juga aku memulai, suara pintu terbuka mengejutkanku karena setelahnya ada sosok bibi di sana.

Seketika rasa bersalah kembali timbul di hati ini begitu mata kami bertatapan. Sebelum akhirnya terputus karena bibi berjalan mendekatiku—maksudku ke meja makan untuk menaruh persediaan bahan makanan serta camilan.

"Tumben kau sudah bangun Yuuki," ucap bibi tiba-tiba yang membuatku lantas menatapnya dengan pandangan canggung.

"Eung... Y-ya karena aku ingin memasak sesuatu untuk teman pindahanku."

Bibi yang tengah memasukkan bahan makanan ke dalam lemari pendingin lantas terhenti sebentar. "Teman pindahan?"

"Iya, dia berasal dari luar negeri dan dia sudah jago berbahasa Jepang. Tapi dia belum pernah mencicipi masakan khas Jepang." jelasku dengan nada sedikit bergetar.

"Ah, begitu. Laki-laki atau perempuan?"

Ugh. Kenapa harus pertanyaan ini yang muncul?!

"Laki-laki. Dia duduk tepat di depanku dan cenderung tidak suka berteman dengan orang banyak. Maka dari itu dia hanya berteman denganku karena aku duduk di belakangnya," ucapku dengan menaruh beberapa bumbu dusta di kalimat tadi.

"Dia pasti kesepian. Jadilah temannya, agar dia tidak merasa sendiri." titah Bibi.

"Pasti."

Tak lama, hening menyambut kami. Tidak ada percakapan lebih yang terjalin, membuatku bingung harus bersikap apa. Tapi, aku salah satu tipe orang yang paling tidak bisa berlama-lama mendiami suatu permasalahan.

Bagiku, jika ada masalah dengan seseorang selama masalah itu sekiranya bisa diatasi, maka aku harus segera menyelesaikannya atau masalah itu akan terus bergentayangan seumur hidupku.

Meski canggung masih menyelimutiku, aku tetap maju melangkah mendekati bibi lalu memeluknya erat. Kurasa bibi terkejut dengan aksiku tadi karena tubuhnya sedikit terlonjak saat aku memeluknya.

The Last SorcererTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang