Kebaya putih indah melekat pas di tubuhku, aku menatap diri lamat-lamat pada cermin besar di depan sana. Memandangi betapa cantiknya penampilanku hari ini, wajahku telah selesai di dandani, dempul tempal menutupi beberapa bekas jerawat yang susah hilang, polesan lipstik merah menambah indah rupa wajahku.
Ini adalah harinya.
Perias yang sedari tadi menemaniku tak henti-henti mengatakan bahwa aku tampak mempesona. Ia benar, itu semua tak luput dari tangan dinginnya dalam merias.
"Semua undangan pasti pangling lihat Mbak." Katanya sambil sesekali membenarkan tatanan rambutku yang kini ia hias dengan rangkaian bunga melati.
"Ini semua karena Mbak juga, terima kasih telah bekerja keras untuk acara saya."
"Halah, Anna ... jangan sungkan - sungkan, kita 'kan sudah bertetangga lama, kalian juga sudah banyak bantu saya."
Mbak Ipah adalah tetangga kami, wanita yang masih berusia dua puluh tujuh tahun itu berprofesi sebagai make up artist, hasil riasnya selalu memuaskan, itu sebabnya ia selalu dipakai dalam setiap acara di desa.
Meskipun masih muda, tetapi Mbak Ipah telah memiliki dua anak, satu berusia dua tahun satu lagi lima tahun. Sama seperti diriku, ia juga menikah muda.
"Mbak kenapa dulu memilih nikah muda?"
Pertanyaan terlontar begitu saja dikala sepi mulai melingkupi kami. Ia tersenyum, "Sama seperti kamu, Na. Saya enggak mau menyusahkan orang tua lebih lama. Meskipun dari dulu emang sudah coba bantu-bantu kerja, tapi tetap aja kurang."
"Apa mbak nggak takut kalau dapat suami yang nggak benar?"
Perlahan senyum itu perlahan hilang, aku jadi takut bahwa pertanyaanku ini salah.
"Kamu bertanya seperti ini saat kamu sebentar lagi akan jadi istri orang?" Mbak Ipah bertanya balik membuat aku merapatkan bibir.
Entahlah, apa yang sebenarnya aku pikirkan. Aku rasa keputusanku sudah cukup matang, menikah adalah jalan paling tepat.
Tepat seminggu setelah lulus SMA, aku mengatakan ingin menikah pada ibuku. Awalnya wanita itu kaget, sebelum akhirnya paham setelah penjelasanku. Lalu Ibu mengenalkan aku pada kerabatnya, mengatakan jika punya lelaki yang siap menikah, ia punya putri yang juga siap menikah.
Kupikir-pikir sekarang agak konyol, seperti ngebet menikah tapi tak punya calon. Semua itu karena melihat kondisi orang tuaku yang hidup pas-pasan, belum lagi dua adikku yang masih sekolah butuh biaya besar.
Bersyukur tidak sampai satu bulan salah satu kerabat mengenalkan pria itu pada Ibu. Kedua keluarga pun saling bertemu dan memutuskan untuk melakukan ta'aruf.
Dan di sinilah aku sekarang. Mengetahui calon suamiku itu kaya raya, baik perangainya, tampan rupanya, aku langsung tertarik. Begitu juga pria itu, ia juga tertarik padaku, meskipun aku tidak tahu jelas alasannya.
Setidaknya aku tidak lagi menyusahkan Ibu dan Bapak, pikirku.
"Kita enggak bisa melihat masa depan, Anna. Doakan saja dia jodoh terbaikmu. Banyak berdoa, jangan tinggalkan sholat. Insha Allah, Allah akan berikan yang terbaik untukmu."
Kata-kata mbak Ipah memenangkan hatiku, aku sedikit lega. Mungkin memang benar, aku serahkan semuanya pada yang Maha Kuasa saja.
Selanjutnya Ibu masuk, memberikan pujian padaku, lalu menuntunku keluar. Benar saja semua orang terpukau oleh penampilanku. Aku melihat calon suamiku tak berkedip melihatku.
Aku sendiri juga takjub melihatnya, Masya Allah, ia tampan sekali. Lalu acara ijab kabur dimulai. Semua mengucapkan sah, sekarang kami sah menjadi suami istri.
***
Aku baru saja selesai membersihkan diri, kelar dari kamar yang aku pakai untuk mandi saat kulihat Herman, suamiku, masuk ke dalam kamar. Dia masih memakai setelan baju pengantin kami tadi. Pria yang kini telah sah menjadi suamiku itu tampak sepuluh kali lipat tambah ganteng di mataku.
"Anna sudah selesai?"
"Iya, Mas," jawabku malu-malu. Masih cukup gugup untuk berbicara dengannya. Kami memang sudah menjalani masa ta'aruf selama sebulan, tapi itu tidak cukup untuk diriku membiasakan diri.
"Kalau begitu, sekarang mas yang pakai, ya."
Aku mengangguk, lagi-lagi malu-malu. Menggeser diri ke samping memberikan jalan pada Herman untuk masuk ke kamar mandi.
Setelah ia masuk ke dalam, tak membuat jantungku yang sedari tadi berdebar kencang memereda. Aku baru menyadari bahwa setelah pernikahan maka malam inilah yang disebut malam pertama. Malam di mana kami akan ....
Tiba-tiba bulu kudukku berdiri, aku panik. Apa yang harus aku lakukan? Sikap seperti apa yang sepatutnya aku tunjukkan nanti setelah Herman selesai mandi. Mendadak aku takut.
Menatap diri di depan kaca, aku mengingat perkataan ibu seminggu yang lalu. Tentang hal yang perlu aku lakukan di malam pertama. Yakni, ikuti saja sifat naluriahku, dan mempersiapkan diri sebaik mungkin di depan suamiku.
Jadi, kini aku menyisir rambut agar nanti Herman melihatku cantik.
Sebagai gadis yang masih belia, baru saja lulus SMA. Juga perempuan yang tidak punya pengalaman pacaran, tidak tahu menahu mengenai pasangan, aku hanya bisa mempersiapkan penampilan.
Kata Mbak Ipah, sempat kutanya tadi, menjadi istri berarti memberikan suami akses bebas pada tubuhmu. Maka aku menarik dan menghembuskan napas untuk mempersiapkan diri agar tidak terlalu canggung nantinya.
Ingat Anna, cukup ikuti saja naluri, kataku menyemangati diri.
Tidak lama kemudian udara segar terhirup hidungku, pintu kamar mandi terbuka, Herman keluar dari sana dengan handuk menggantung di kepala pria itu.
Aku tertegun. Aku pikir, pria itu memakai baju pengantin adalah ia yang paling tampan, tapi yang kali ini lebih menawan. Wanita mana yang tidak meleleh melihat wajah tegas itu nampak segar, rambutnya basah, dan ia menatap intens ke arahku.
"Kamu sedang apa, Dek?"
Aku membuang muka, tak mau bila nanti ketahuan mengagumi dirinya berlebihan. Tapi masalahnya, Herman malah berjalan ke arahku. Aku harap tubuh ini tidak gemetaran bila dia lebih dekat lagi.
"Anna kenapa?" Saat sudah berada dalam posisi dekat, membelai wajahku, membuat aku terpaksa mendongak, dan mata kami bersitatap.
"Enggak apa-apa, Mas."
"Jangan bohong, ayo cerita sama, Mas. Mana tahu aku bisa bantu."
Aku meringis dalam hati. Tak seharusnya aku mengkhawatirkan masalah malam pertama sampai ketakutan begini. "Cuma tiba-tiba kangen Ibu dan Bapak."
Ia tersenyum sekali lagi membelai wajahku, memberikan sensasi aneh dalam diri ini. "Belum aja satu hari, Dek. Biasakan, ya, pernikahan kita untuk seumur hidup. Mas tahu kamu masih muda, tapi saat kamu sudah memutuskan untuk menikah dengan aku, itu berarti kamu harus siap hidup berpisah dengan orang tuamu."
Aku tak tahu, entah kenapa sekarang yang kupikirkan adalah bagaimana cara hidup berpisah dengan orang tuaku.
***
Follow akun ini untuk membaca cerita aku lainnya, jangan lupa vote dan komentar ya.
Luv
Cangtipone:")
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomanceAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...