15 | Keluar dari Kandang Harimau

14.7K 407 7
                                    

Tidak terasa satu bulan berlalu, tidak kurang tidak lebih, rumah kami pun jadi. Pagi ini aku bangun dengan tubuh terasa sangat ringan dan semangat yang menggebu-gebu. Ada dua alasan untuk itu; pertama Mas Herman tidur lebih awal semalam jadi kami tidak melakukan aktivitas 'itu', yang kedua karena aku ingin cepat-cepat keluar dari sini.

Kata suamiku, kami akan berangkat sore, ia harus kerja dulu, tak mau ia bolos barang satu hari saja. Maka kuiyakan, lagi pula tinggal menunggu beberapa jam lagi tidak akan sulit bagiku.

Setelah mengantarkan Mas Herman berangkat kerja, aku langsung nik ke atas untuk mempersiapkan barang-barang kami. Tidak peduli pada Bunda yang berulang kali menatapku dengan tak suka. Terserah wanita itulah, yang penting aku akan segera pergi jauh dari jangkauannya.

Lemari tidak aku kosongkan, beberapa potong pakaian aku biarkan tinggal. Kami suatu saat nanti akan ke mari, jadi biar saja yang tidak terlalu penting kubiarkan di sana.

Baju-baju kulipat rapi dan tanganku sigap menyusunnya dalam koper. Pintu kamar yang memang aku biarkan terbuka memunculkan sosok Bunda yang berkacak pinggang di pintu.

"Semangat sekali kamu, senang, ya, enggak bakalan ketemu Bunda?"

Pertanyaan itu sudah sangat jelas jawabnya, tapi aku malah memilih berbohong dan menggeleng-gelengkan kepala. "Enggak begitu Bunda ...."

"Hmm, Kamu enggak pandai berbohong. Lagi pula Bunda ikutan senang rumah kalian sudah jadi."

Dia berjalan mendekat, tiba-tiba tangannya terulur mengambil baju dan memasukkan ke koper. "Kamu tidak keberatan kalau Bunda bantu, kan?"

Aku mengangguk, lalu melanjutkan lagi aktivitas menyusun baju. Kulakukan senormal mungkin, meski dalam hati sedikit kesal ketika wanita ini ikut campur, emang sih niatnya baik.

"Akhirnya saat ini tiba. Saat di mana Herman akan punya kehidupannya sendiri."

Aku berhenti melipat sebuah kemeja, mendongak untuk melihat ekspresi sendu Bunda. Tiba-tiba saja aku ikutan sedih, pasti sangat berat bagi wanita ini.

"Kamu tahu, waktu Herman bilang mau nikah, Bunda kaget luar biasa." Ternyata Bunda sedari tadi mengelus satu baju milik Herman.

"Dia anak kesayangan Bunda. Dulu waktu Fauzan menikah, Bunda enggak sesedih ini, tapi ketika Herman cuma bilang mau ta'aruf sama kamu, hati Bunda rasanya nyess, banget."

Mendapati Bunda yang bersikap melow begini, aku tidak tahu harus menanggapi dengan bagaimana. Jadi aku hanya bisa mendengarkan curhatannya dengan seksama.

"Herman masih bocah cilik di mata Bunda, anak bungsu Bunda. Anak yang paling dekat sama Bunda. Kalau Fauzan dekatnya sama Ayah. Kalau dia pergi, rumah ini bakalan sepi sekali. Bunda bakalan sangat-sangat kesepian."

Haduh, perasaanku ikut terlarut dalam ceritanya. Apalagi di bagian ia menceritakan masa kecil Mas Herman, yang kata bunda setiap kali selesai menggambar selalu menunjukkannya pada Bunda.

Aku mengerti ikatan ibu dan anak di antara mereka sangat dekat.

Sempat aku berpikir bahwa haruskah aku meminta pada Mas Herman agar tidak jadi pindah karena tak mau memisahkan mereka. Namun, tidak aku tak boleh oleng hanya karena cerita Bunda. Tidak. Aku juga harus memikirkan hidupku yang akan sangat menderita bila tinggal di sini lebih lama.

Maka cerita Bunda hanya kujadikan ladang informasi saja, setidaknya berkat Bunda kau bertambah sedikit tahu tentang Mas Herman lebih dalam lagi.

Barang-barang sudah selesai, pada pukul tiga sore mobil Mas Herman telah masuk halaman rumah. Buru-buru aku yang masih di kamar turun untuk menyambutnya. Sebelumnya kebereskan tatanan rambutku yang kacau dengan mengikatnya ulang.

Membalas salam Mas Herman dan mencium punggung telapak tangannya, di belakangku Bunda berjalan menyusul, gantian kini Mas Herman yang mencium punggung tangan Bunda.

Sebelumnya Ayah tadi menelepon kalau kami berangkat saja tanpa menunggu beliau, kalau ditunggu bisa-bisa sampai di sana malam. Padahal banyak yang harus kami bereskan lagi. Ayah emang berbeda dengan Bunda, sifatnya sangat pengertian dan lembut. Belum pernah aku mendengar pria berumur itu berbicara dengan nada tinggi. Berbeda dengan Bunda, yang hampir setiap hari mengomel.

Selanjutnya kami menurunkan semua barang-barang dari kamar dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Eh, aku belum bercerita kalau Mas Herman punya mobil?

Jadi, ya, pria itu sudah membeli mobil dengan gajinya yang ke lima. Cepat bukan? Soalnya ia dapat penghasilan tidak hanya dari kantor, tetapi di luar kantor yang sengaja memesan desain rumah via pribadi. Harganya jelas lebih murah dan lebih enak diskusinya.

Semua sudah selesai, saatnya momen perpisahan. Bunda sedari tadi banyak diam, bahkan ketika aku tidak sengaja menubruk dia karena jalan ketutupan barang yang kubawa, ia tak marah.

Mungkin masih terlampau sedih dengan perpisahan ini. Bisa kulihat sudut matanya berlinang air yang hendak tumpah, dan ..... Benar saja, saat Herman memeluk Bunda, tangis itu pun pecah.

"Weh, Man. Bunda selalu takut sama hal ini, bunda akan jauh sama kamu." Katanya seraya masih memeluk Herman.

Pria itu sebenarnya juga berat, tapi sebagai laki-laki yang kini berkeluarga. Ia harus melakukan ini, ia mengurai pelukan mereka dan menggenggam tangan Bunda erat.

"Bun, Herman bakalan sering ke sini tiap bulannya. Bunda juga boleh banget mampir ke rumah kapanpun itu, pintu selalu terbuka buat Bunda dan Ayah."

"Wes, Nak. Bunda ngerti, tapi perasaan Bunda masih tetap sesak. Apa tak bisa kalian lebih lama di sini, Bunda tidak sanggup melepas kamu secepat ini."

Herman menggeleng pelan, membuat aku lega. Untungnya pria ini teguh pendiriannya, aku tak mau di sini lama-lama.

"Enggak bisa, Bunda. Malah Herman rasa satu bulan ini terlalu lama. Bunda harus sadar anak-anak bunda kini udah dewasa semua, cepat atau lambat emang ini akan terjadi."

Bunda menghela napas panjang, ia akhirnya pasrah. Menyadari tidak ada kata-kata bujukan lagi yang dapat menahan atau mengubah pendirian anaknya itu.

Aku dan Mas Herman melambai ke Bunda sebelum melaju pergi dari rumah tua itu.

Akhirnya aku akan segera menempuh hidupku yang benar-benar hanya diisi aku dan Mas Herman.

Senyumku mengembang, tidak sabar melihat hunian kami. Mas Herman yang menyadari, bertanya padaku, aku hanya menjawab dengan senyuman.

"Kamu ini, senang banget ya lepas dari Bunda."

Eh, dia bisa membaca pikiranku.

Tanpa perlu aku berpura-pura lagi, aku pun mengaku. "Tau aja Si Mas ini."

Rumah baru kami datang.....

***

Biarkan Author memberi spoiler untuk next chapter. Sebenarnya Ana salah berpikir ia lepas dari kandang harimau akan baik-baik saja, padahal ia sedang bersama singa yang jauh lebih ganas. Hahahaha. 

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang