35| Mencintai Wanita Lain

5.8K 215 28
                                    

[Special part : Lisa's POV]

***

"Om-om sialan!"

Aku menjambak rambut kesal, melempar ponsel ke dinding dengan penuh amarah. Pria itu amat licik dan picik, tidak terduga ia malah mempermainkan diriku.

Hari itu, aku memang pada akhirnya menyerah dan menyetujui untuk melayani Herman lagi. Ini semua gara-gara rasa tidak enak yang menghantui diriku.

Aku tidak mau Ana tahu aku pernah tidur dengan suaminya. Tapi setelah dipikir-pikir, menyetujui untuk melayani Herman, berarti aku tidur lagi dengan om-om sialan ini.

Sama buruknya.

Tidak hanya itu, ternyata ia berbohong soal "hanya sekali" yang ia gaungkan untuk merayuku. Nyatanya ini sudah ketiga kalinya aku harus memuaskan dirinya karena terus ia ancam akan memberitahu Ana.

Tok tok tok

Pintu kamar kos ku diketuk, aku cepat-cepat merapikan rambut ku yang tadi berantakan karena kujambak.

"Surprise!"

Aku menganga terkejut melihat Herman berdiri di sana sambil menenteng paper bag dan bunga di kedua tangannya.

Barusan ia meneleponku akan datang, aku tidak menyangka ia secepat ini.

"Gue enggak mau lagi!"

"Berhenti berkata seperti itu Lisa, kali ini aku bahkan bawa hadiah untukmu."

"Om, jangan gini. Gue emang jalang, tapi gue gak mau jadi simpanan." Aku kembali berusaha menegosiasi, kuharap kali ini ia bisa dibujuk.

"Okey, aku gak bakalan jadikan kamu simpanan," jawabnya membuat aku sontak senang.

"Akan kuceraikan Ana."

Shit! Ternyata pria ini masih brengsek. Tega sekali dia.

"Om pleaseee, jangan kayak gini."

"Ana itu emang sudah mulai jago, tapi tubuhmu masih canduku," ia mendekat dan mencium bibirku sekilas.

"Sudahlah jangan pikirin Ana, perempuan bodoh itu tidak penting."

Aku frustasi lalu hanya bisa pasrah, Herman menarikku duduk di pangkuannya. Membelai rambutku lembut, tindakannya kadang membuat aku terbuai dan melupakan sejenak pendirian.

"Aku mulai menyukaimu, Lisa."

Kalimat itu tak ubahnya bagaikan sengatan listrik yang menyetrum tubuh tubuh, aku bergidik ngeri, tubuhku merinding. Aku menatap lekat wajah pria yang barusan menyatakan perasaan padanya, ia melihat keseriusan di mata itu.

Herman menarik tangan tanganku dan mengecup punggung jemari, dengan suara halus ia sekali lagi mengatakan, "Aku mencintaimu, sungguh. Aku pikir selama ini aku hanya merindukan tubuhmu, tapi aku sadar ternyata aku menyukai dirimu."

Aku benar-benar terenyuh, tidak pernah kubayangkan hal ini. Tidak pernah berpikiran memiliki rasa dengan pelangganku, selama ini mengenal Herman aku tidak kepikiran untuk jatuh hati apalagi jatuh cinta, aku ingin profesional melakukan pekerjaanku.

Namun, kini aku goyah, Herman sukses menyentuh titik lemahku. Hatinya berdesir, mungkinkah kini aku juga menyukai Herman?

Lalu bagaimana dengan Anna?

Aku tidak tega, kurasakan mengalir cairan bening dari sudut mataku, merasa sangat-sangat dilema dengan kondisinya saat ini.

"Aku tahu kau juga menyukaiku, Lisa."

Aku menggeleng, aku tidak bisa melakukan ini.

Ini salah besar. Aku tidak mau melukai Anna.

Aku beranjak dari pangkuan Herman lalu mengusap wajah kasar lalu menatap Herman judes, kembali memasang sikap keras dan mencoba tetap waras.

"Sekarang Om pulang! Lisa sudah bilang, kan, enggak mau melayani Om lagi?!" seru aku akhirnya berhasil menguasai diri.

Herman ikutan berdiri lalu mencoba menggapai dirku, tetapi aku terlalu mudah membacanya dan dengan cepat menghindar.

"Pergi, Om. Atau Lisa teriak maling?" ancamku sambil melotot.

"Kenapa? Kamu masih memikirkan Anna?" Herman sama seperti aku yang keras kepala, ia juga tidak mau menyerah secepat itu.

"Apa perasaan kita salah bila saling mencintai. Aku lebih dulu mengenalmu, Lisa. Aku lebih dulu jatuh cinta padamu sebelum bertemu Anna. Seandainya dulu kamu tidak menghilang, aku sangat ingin kamulah yang menjadi istriku..."

Aku meremas tangannya, aku tidak boleh goyah dengan kata-kata Herman. Ia harus kuat.

"Kalau kamu pikir dengan menjauh dariku artinya melindungi Anna, kamu salah Lisa. Justru kamu yang jahat membiarkan Anna punya suami yang tidak akan pernah mencintainya."

Perasaanku mencelos, gagal, pertahananku runtuh. Semua terlampau benar sampai kepalaku tidak bisa lagi memikirkan jawaban untuk pertanyaan tersebut.

Aku juga membiarkan Herman meraihku, merengkuh tubuh lelahku, memeluk dirinya erat. Herman memberikan kenyamanan yang sulit untuk aku hindari.

"Aku mencintaimu, Lisa."

Herman menarik daguku, menyatukan bibir kami, dan memangutnya begitu lembut, aku terbuai akan perlakuan nya, menerima setiap sentuhan nya dan sesekali membalas.

Tuhan biarkan aku kali ini menjadi jahat.

Ah, memang aku jahat selama ini bukan?

Aku membuka bajuku tak kala Herman juga melucuti pakaiannya, selanjutnya ia kembali menciumku, kami saling berbagi emosi, kali ini untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bercinta dengan memakai perasaan.

Rasanya begitu penuh ketika ia memasuki diriku, pun hatinya juga penuh, seakan ia menghujami aku dengan banyak sekali cinta di setiap sentuhan dan gerakan.

"Nghhh Om, aku menyukai ini, ahh," racauku, ketika ia memompa pinggulnya bertubrukan dengan "milikku" dengan tempo cepat dan rasanya aku akan segera keluar.

"Panggil aku Herman, sayanghhh," seru Herman sambil meremas dadaku di sela genjotannya.

"Hermannnn, aku menyukainya, ahhhhhh..."

"Katakan kau juga mencintaiku, Lisaaaa," gerakannya semakin cepat dan brutal. Aku juga menggoyangkan pinggulku membantu, sepertinya kami akan orgasme bersamaan.

"Aku mencintaimu Hermaaan," teriaku, saat kendutan di milikku semakin menjadi, menjepit milik Herman dengan erat.

Bersama-sama, kami mengeluarkan cairan kental, melebur bercampur. Rasanya lega dan sangat menyenangkan, kendati setelahnya tubuhku lelah bukan main, karena untuk mencapai hal tersebut aku harus mengeluarkan energi yang cukup besar.

Herman berbaring di sampingku, ia mengecup bibirku lama, bibirnya tersenyum lebar, begitu pun aku. Aku bahagia.

Namun, kebahagiaan itu dengan cepat hilang saat sebuah panggilan di ponsel Herman mengambil alih perhatian nya.

"Hallo, Anna?"

Aku menelan ludah pahit, saat melihat Herman cepat-cepat memakai bajunya kembali.

"Anna bilang ibu masuk rumah sakit, Lisa, aku harus pergi."

Aku pun hanya bisa membiarkannya tidak berani menahannya, tentu meskipun tahu Herman mencintaiku tidak berarti prioritas hidupnya adalah aku.

Aku membiarkan tubuh polosku tidak terselimuti selimut, membiarkan dingin AC menyentuh kulitku, membuat aku menggigil dan meringkuk.

Aku menangis, menangisi betapa malangnya nasibku.

*****

Sksksksk, ini adalah chapter terakhir Herman-Lisa bisa sebahagia ini. Karena selanjutnya adalah mereka harus sadar bahwa menjalin hubungan terlarang ini adalah masalah.

Sampai jumpa di next chap

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang