"Gemes banget sama Azizah, masih kecil tapi udah pinter banget," pujiku melihat bocah perempuan berusia lima tahun itu tengah menari-nari meniru gerakan di ponsel yang aku pegang.
Karena Mas Herman belum kunjung pulang padahal sudah jam tujuh malam, akhirnya Bunda, Ayah, dan keluarga Mbak Lina memutuskan untuk menginap.
Sebenarnya tidak masalah, rumah ini cukup besar untuk menampung mereka. Bahan makanan juga masih lengkap untuk sarapan besok. Mungkin yang jadi masalah cuma kelakuan dan ucapan Bunda.
Dua pasang manusia itu tengah berbincang-bincang di ruang tamu, membicarakan masa muda Mas Herman dan abangnya Mas Fauzan. Bagaimana dulu mereka sering bertengkar berebut mainan, eh, tahu-tahu sekarang masing-masing sudah menikah aja.
Aku sesekali tertawa mendengar cerita Mas Fauzan, meskipun kemudian terdiam setelah Bunda mendelik ke arahku. Huft, entah apa salahku, kenapa wanita itu tidak suka sekali denganku.
Akhirnya aku memutuskan untuk membantu Mbak Lina menjaga kedua bocahnya di kamar, sementara ia bisa sedikit bebas sebentar.
Derap kaki memasuki kamar tamu, yang malam ini dipakai Mbak Lina-Mas Fauzan nginap, aku menengok tanpa mengubah posisi tangan yang memegang ponsel menghadap Azizah.
"Kok dikasih main hape terus?" Mbak Lina langsung merebut ponsel itu dari tanganku lalu mematikan layarnya.
"Soalnya Zizah sama Asyaf kelihatan tenang banget kalau dikasih nonton," kataku memberitahu Mbak Lina.
"Iya, tenang. Tapi kalau keseringan bisa kecanduan. Duh, aku enggak mau anakku kecil-kecil udah kecanduan main hape, nanti matanya bisa kabur."
Aku meremas ujung bajuku, "Maaf, Mbak," kataku menyesal. Aku lupa pasal efek negatif tersebut.
"Huahh, Izah mau onton agihhh," rengek gadis berambut pendek itu mendekati mamanya memohon.
"Enggak-enggak, cukup untuk hari ini, Zah."
"Engakk, Izah mau onton ...." Bocah itu mulai menangis, kemudian disusul adiknya Asyaf, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, maklum umurnya baru dua tahun, ia cuma ikut-ikutan kakaknya saja.
"Gara-gara kamu, nih, Na. Ketagihan kan mereka," tuding Mbak Lina akhirnya terpaksa kembali memberikan mereka nonton.
"Makanya kamu cepetan punya anak, biar tahu rasanya sibuk ngurusin mereka." Dia menaruh ponselnya di atas meja, menyenderkannya pada botol minum agar tidak perlu pegal-pegal memegang.
Aku meringis dalam hati tidak kepikiran cara seperti itu sejak tadi, padahal tanganku sudah kesemutan karena menahan ponsel setengah jam dalam posisi sama.
"Herman udah empat puluh tahun, ingat loh."
"Iya, Mbak. Kami tidak pernah mencoba untuk menunda, hanya saja emang belum dikasih," jawabku sekenanya.
"Mbak dulu sebulan habis nikah langsung berisi, masa kamu udah hampir lima bulan masih belum."
Dia menepuk pundaku, "Kamu ajaklah sering-sering suamimu berhubungan badan biar cepat jadi."
Aduh, ingin aku berdecak kuat. Tidak perlu diajak adik iparnya itu tiap hari juga minta jatah. Kecuali seminggu belakangan ini emang kami absen. Habisnya Mas Herman bertingkah aneh banget. Ia selalu marah-marah, selalu menyalahkan aku untuk setiap masalah.
"Kalau kamu bisa kasih anak sama suami kamu cepat, yakin deh, kalau seandainya .... Amit-amit sebelumnya, dia kepincut cewek lain, dia bakalan berpikir berulang-ulang untuk melakukannya karena kamu udah ngasih dia sesuatu yang berharga."
"Iya, Mbak."
Mbak Lina melihat dua anaknya dengan senyum mengembang, "dulu sebelum Asyaf lahir, Mas Fauzan sering bertingkah menjengkelkan. Walaupun udah punya Azizah, tapi punya seorang putra adalah impiannya," terangnya lalu menatapku, "makanya kalau bisa anak pertama kalian tuh cowok aja."
Jika hamil saja tidak bisa ditentukan, bagaimana mungkin aku memesan pada Tuhan jenis kelamin anak kami kelak. Mungkin Mbak Lina sudah kelamaan jadi menantu Bunda Putri makanya kadang suka aneh juga.
"Mbak ngomong gini demi kebaikan kamu. Kamu lihat sekarang, bahkan suamimu udah malas pulang. Jam segini aturannya dia udah nyampe, wong jam kerja itu selesai jam lima sore."
Aku mengangguk, benar, aku mengerti ia mengatakannya karena peduli padaku. Hanya saja sedikit nyeleneh.
Desing mesin membuat aku bangkit berdiri, "Mbak, Ana keluar dulu, ya. Kayaknya Mas Herman udah balik."
Mbak Lina hanya balas bergumam, aku segera ke depan.
Benar, Mas Herman udah balik. Aku menyambutnya dengan senyuman senang, akhirnya ia pulang juga. Lega tidak perlu mendengar Bunda bertanya terus kapan anaknya ini balik.
"Udh lama mereka datang?" tanya Mas Herman saat kami masuk.
Aku mengembuskan napas lega, kali ini bicaranya tenang. Aku sempat takut Mas Herman masih marah-marah, jangan sampai Bunda dan yang lainnya lihat masalah satu itu. "Iya, Mas. Bunda bahkan udah dari siang tadi."
"Akhirnya anak Bunda pulang." Bunda berjalan menghampiri Herman, laki-laki lantas menyalim ibunya kusyuk.
"Kenapa repot-repot datang, Bun? Padahal Herman bisa aja datang ke rumah kalau Bunda mau."
"Duh, kamu ini." Bunda menepuk lengan Herman, "Bunda sekalian mau lihat rumah kalian. Masa enggak boleh."
"Bunda udah makan?" tanya Herman.
"Sudah, tinggal kamu nih. Kamu, sih, lama banget pulang."
"Tadi kerjaan lagi banyak, Bun."
"Ya, sudah sana buruan makan. Kamu butuh energi sehabis kerja berat."
"Iya, Bunda. Tapi Herman mandi dulu yak, bau keringat ini."
Bunda mengangguk.
Aku terkejut saat tiba-tiba ia menggandeng tanganku, erat, mengajakku naik ke atas. Aku jantungan dengan perbuatannya, apakah ini berarti ia akan mengakhiri wajah tenangnya dan mulai memarahiku di kamar.
"Bunda marah-marah tadi?" tanya Herman begitu kami sampai kamar.
Aku melongo ditanya begitu, "hah?"
"Aku tanya apa bunda tadi marah sama kamu?"
"Eum .... " Aduh, apa perlu kuceritakan pasal kesalahpahaman tadi? Aku takut Mas Herman malah bakal ikutan marah kalau tahu. Tapi bagaimana caranya aku berbohong kali ini?
"Iya, tad...."
"Jangan diambil pusing. Bunda emang gitu, kamu tahu sendiri, kan."
Aku mengerjapkan mata tidak percaya atas perkataan Mas Herman. Dia tidak marah, suaranya pun masih setenang tadi. Tidak ada bentakan atau teriakan.
Tangannya terulur menyentuh kepalaku, "Jangan pikirkan apa kata Bunda. Atau kata siapapun, ini pernikahan kita, rumah tangga kita. Jadi bukan hak mereka ikut campur," terangnya seakan tahu apa yang seharian ini aku hadapi.
Hatiku menghangat kala tangan itu mengelus kepalaku. Aku hampir menangis saking senangnya. Mas Herman ku kembali.
Ini dia pria yang selama ini menghilang.
Aku segera menghambur ke pelukannya. Memeluk tubuh itu erat, rindu sekali padanya.
Air mataku jatuh tidak bisa kucegah saat ia membalas pelukanku.
"Ana rindu banget sama Mas Herman," bisikku pelan di antara pelukan kami.
Aku pikir suaraku cukup pelan, dan tidak kepikiran Mas Herman akan membalasnya dengan jawaban yang semakin membuat aku menangis terharu.
"Mas juga rindu Ana."
****
Yah ... Yah ... Ada apa ini?
Kenapa Herman jadi baik lagi? Memang kenapa Herman hari-hari sebelumnya marah?
Simak jawabannya di bab yang akan datang. Wkwkw.
Dini hari begini ide ngalir deres. Tapi keinget udah Senin harus menyudahi menulis untuk hari ini.
Suka nggak momen manis Herman-Ana muncul lagi? Masih ngeship mereka nggak setelah tahu fakta di belakang?
Jangan lupa vote dan komentar!💋
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomanceAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...