Bunyi gesekan gelas bertemu meja kaca membuat aku menoleh, setelah lebih dari setengah jam bergumul dengan adonan tepung di mangkok. Ibu membawakan segelas jus timun segar membuat aku lekas menenggak habis sampai tak tersisa.
"Istirahat dulu kalau capek," ucapnya sembari menuangkan kembali jus timun dari teko ke gelas kosong tadi.
"Baru juga mulai, Bu."
Hari ini kami membuat kue raya, lebaran tinggal seminggu lagi. Jadi kami menyicil membuat kue dari sekarang. Aku mengambil sejumput adonan tepung roti yang telah dicampur margarin, telur, tepung maizena dan gula halus. Memipihkan adonan tersebut lalu mengisinya dengan selai nanas buatan Ibu. Kami sedang membuat nastar.
Ibu kemudian ikutan, "Kamu ngga boleh capek-capek, ingat kondisi kamu," kata Ibu, aku refleks melihat perutku yang sudah sedikit membuncit. Aku hanya menyengir, lalu mengangguk, tapi tetap melanjutkan pekerjaan.
"Anna paham, Bu."
Semenjak hamil, ibu jadi ekstra protektif padaku. Aku serasa gak bisa ngerjain apa-apa, karena ibu selalu bilang jangan kecapekan, jangan setres, jangan ini, jangan itu.
Huft, padahal kalau enggak mengerjakan apapun, juga buat stress karena kebosanan.
Lagipula karena sedang mengandung, aku tidak menjalani puasa kali ini, malahan seharusnya Ibu yang tidak banyak bekerja karena beliau puasa.
Usia kandungan yang ada di perut aku sekarang sudah menjalani minggu kedua belas. Alhamdulillah, terakhir kali checking kesehatan ke rumah sakit, janinnya sehat. Itu semua berkat Ibu, aku yang hamil beliau yang heboh untuk segala urusan.
Dua loyang sudah penuh dengan nastar siap panggang, saat aku hendak mengambil nya untuk dimasukkan ke panggangan ibu lebih dulu mengambil.
"Biar Ibu aja."
Aku mendengus, lalu berjalan mengikuti Ibu, "Anna bisa, Anna enggak bakalan mati cuma gara-gara manggang nastar, Bu."
"Kamu lupa sekarang kamu lagi berbadan tiga?"
Benar aku sedang hamil, benar juga janin yang aku kandung adalah dua, alias kembar. Tapi aku tidak mau terus menerus dilarang seperti ini. Aku mengerucutkan bibir, kesal terhadap Ibu.
"Sana kamu mandi saja, sudah sore. Ibu aja yang melanjutkan ini, kamu siap-siap sambut suamimu."
Selain karena aku sedang hamil, perlakuan Ibu ini karena masih trauma terhadap kejadian yang pernah menimpaku dulu.
Lima tahun yang lalu. Masa-masa sulit itu masih belum bisa terlupakan sepenuhnya, ibu tak mau aku mengalami hal serupa untuk kedua kalinya. Ia dengan tegas kali ini selalu ikut campur dengan kehidupan rumah tanggaku. Meski sudah berulang kali aku mengatakan, yang ini berbeda.
Sejujurnya, aku juga memiliki ketakutan sama. Takut akan diselingkuhi lagi, takut akan disakiti. Namun, kutahu dengan pasti suamiku yang ini bukan orang seperti itu.
Andre tidak akan menyakitiku.
Kembali ke lima tahun lalu, seminggu setelah cerai dengan Mas Herman. Aku kembali ke rumah Ibu. Pilu sekali rasanya kembali jadi beban orang tua, apalagi kini serentetan cerita menyedihkan beredar di lingkungan.
Gosip tentang kekerasan dan perceraianku menjadi perbincangan hangat para ibu-ibu komplek, setiap aku lewat mereka pasti menatap ku kasihan, seolah aku kucing malang yang sekarat.
Belum lagi nyinyiran yang merebak, mengatakan bahwa aku terlalu muda menikah, ini semua salah orang tuaku yang terlalu memaksa. Membuat keadaan semakin sulit.
Setiap malam aku tak pernah absen menangis. Selain karena omongan-omongan itu. Juga karena kutahu ekonomi keluarga ku semakin merosot.
Aku ingin bekerja untuk membantu, tapi ayah dan ibu kompak melarang katanya aku fokus menyembuhkan diri saja. Adikku satu sebentar lagi masuk kuliah, biaya daftar ulang dan UKT pertamanya harus segera dibayar, sedangkan tabungan keluarga kian menipis.
![](https://img.wattpad.com/cover/279451208-288-k76777.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomansaAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...