Setelah memberangkatkan Mas Herman bekerja, perutku rasanya sakit sekali. Melakukan apapun rasanya sulit.
Sudah lebih dari tiga puluh menit aku berbaring di atas ranjang, memegangi perut. Pekerjaanku, tak satu pun selesai, semua berantakan. Pakaian belum dicuci, piring-piring juga begitu, belum lagi rumah masih belum dibereskan.
Akh! Sial, kenapa harus begini, sih!
Tunggu sebentar, aku mengambil ponsel di atas nakas, lalu membuka kalender digital. Benar saja, aku sudah memasuki siklus datang bulanku.
Karena, memang awal-awal haid, pasti perutku sakit. Mencoba menguatkan diri aku bangkit dari tempat tidur.
Kalau dulu, bisa saja aku seharian di tempat tidur, tapi setelah menjadi seorang istri, tanggung jawabku bukan lagi tentang diriku sendiri. Pun ada rumah yang harus aku urus, juga makan malam nanti tidak mungkin memesan di luar.
Meskipun Mas Herman bilang, dia tidak mempermasalahkannya, namun jiwaku merasa tidak benar.
Karena tidak mungkin untuk mengendarai motor sendiri, aku memutuskan memesan ojek online. Aku perlu belanja, juga sekalian beli obat herbal untuk perutku ini.
Maka, sebelum ke pasar aku menyempatkan berhenti di depan apotek, membeli obat menstruasi--biasanya aku minum Kiranti.
Benar saja, beberapa menit setelah mengonsumsinya, sedikit banyak sakit itu hilang. Buru-buru aku berkeliling pasar, membeli bahan-bahan yang kuperlukan.
"Anna!"
Sebuah panggilan menyerupai teriakan membuatku berhenti dan mencari sumber suara. Aku berbalik menemukan seorang perempuan berambut pendek tersenyum lebar berjalan cepat padaku.
"Lisa ...."
Dia teman SMA-ku dulu, teman sebangku denganku ketika kelas sebelas. Perasaan rindu itu begitu cepat melesak di dadaku, refleks aku memeluknya ketika jarak kami sudah sangat dekat. Ia juga melakukan hal yang sama.
"Enggak nyangka ketemu lo di sini. Ya, ampun...," katanya saat pelukan kami mengurai, ia memandangku dari tas ke bawah.
"Tunggu, ada yang beda dari lo." Lisa sekali lagi memandangiku dengan seksama. "Gosip soal lo udah nikah itu beneran?"
Ah, sudah kutahu hal ini pasti muncul dari bibirnya. Pernikahanku memang tidak besar-besar amat, malah sangat sederhana. Tamu yang diundang hanya kerabat terdekat. Mas Herman dan aku memang lebih mementingkan asal sudah sah dan halal, maka yang lain tidak terlalu penting.
Temanku yang diundang hanya satu dua orang. Alasannya? Aku sedikit malu, pasalnya umurku masih muda, juga sangat belia. Di kelasku hanya aku yang tidak melanjutkan studi ke perkuliahan.
Malu-malu aku mengangkat tangan dam menunjukkan cincin di jari manisku. "Seperti yang lo lihat."
"Annaaa. Selamat!" Ia lalu memelukku dengan kebahagiaan, sungguh reaksi yang tidak terduga. Aku pikir Lisa bakalan memandang rendah atau meremehkan diriku. "Semoga pernikahan lo sakinah, samawa, warohmah, ya, Na."
"Amin, Makasih, Lis."
"Lo lagi belanja, duh istri yang baik," godanya sambil menoel daguku.
"Sifat lo gak berubah, ya, Lis. Masih suka jahil." Aku bersyukur pertama kali bertemu teman SMA, yang kutemui Lisa, kalau yang lain pasti sudah nyiyir. "Lo sendiri?"
"Menemani Mama belanja."
Aku mengangguk dan beralih ke pedagang ikan di belakangku, sambil bercakap-cakap, mungkin aku bisa sekalian memilih ikan.
"Kapan-kapan kenalin ke gue, dong. Siapa tahu suamimu punya teman cowok yang masih single."
"Siap!"
Lalu kami berdua pun sama-sama mengelilingi pasar, sampai semua daftar belanjaan ku terpenuhi.
***
Tudung saji menutup masakan yang telah aku siapkan saat bunyi deru mobil kudengar. Buru-buru aku berlari ke luar membukakan pagar dan pintu.
Wajah Mas Herman terlihat kusut, pertama kali aku melihatnya begini.
Mungkin pekerjaannya berat hari ini, aku berinisiatif membawakan tasnya, selagi dia membuka dasi.
"Mas kalau lapar, Anna sudah menyiapkan makan."
Ia hanya mengangguk dan masuk ke kamar mandi. Kebiasaannya, setelah pulang kerja memang langsung mandi. Tidak begitu lama aku menunggu, Mas Herman akhirnya turun juga dengan tubuh yang sudah segar. Aku sigap menarik kursi untuknya duduk.
Istri yang baik adalah istri yang bisa bisa melayani suaminya sebaik-baiknya ia bisa. Aku menyendokkan nasi untuk Mas Herman. Hal seperti ini sudah menjadi kebiasaanku, memberikan Mas Herman makan terlebih dahulu baru diriku.
Saat aku beralih mengambil kan lauk, Mas Herman mencegahnya.
"Apa itu?"
"Sambal udang, ada yang salah, Mas?"
Ia menghela napas panjang, aku bisa merasakan ada yang salah segera gugup.
"Mas alergi udang, Ana. Kamu lupa?"
"Astaga, maaf Mas...."
Aku menjauhkan piring berisi lauk itu dari hadapan Mas Herman. Hanya itu yang kumasak, tidak mungkin Mas Herman hanya makan nasi sama sayur kangkung saja bukan.
"Ana masakan telur goreng saja gimana?"
Mas Herman menggeleng, wajahnya tampak kesal tapi coba ia tutupi dengan wajah datar.
"Tiba-tiba Mas tidak nafsu makan lagi."
Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar. Hatinya nyeri dengan perlakuan Mas Herman, tapi lebih merasa bersalah melewatkan hal penting tentang alergi Mas Herman.
Seingatku ia belum pernah mengatakannya, tapi kalau perkataan Mas Herman tadi benar maka aku bisa jadi lupa.
Melihat Mas Herman yang tidak mau makan lagi, aku pun begitu. Meskipun aku sebenarnya lapar, tidak mungkin aku makan sementara malam ini suamiku kelaparan.
Cepat-cepat aku bereskan makanan tadi dan menyusul Mas Herman ke atas.
Seperti biasanya Mas Herman tetap akan bergumul dengan laptop kesayangan dan mengerjakan pekerjaan kantor.
Kali ini tidak ada senyuman yang biasanya menyambutku setiap kali aku menghampiri pria itu, tampaknya ia marah.
Aku duduk di samping Mas Herman, "Masih banyak kerjaan, ya, Mas?" kataku memecah hening.
"Iya, Ana. Banyak banget sampai kepala Mas rasanya mau pecah. Hari ini benar-benar berat."
Aku mengusap tangan Mas Herman, mencoba menyalurkan semangat yang kupunya karena aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa.
"Ana bantu Mas menghilangkan penat ini ..."
Aku menatap bingung pernyataan itu, "Maksud, Mas?"
Ia tidak menjawab tetapi menciumku dengan nafsu, aku mengerti maksudnya. Namun, aku metada takut karena hari ini adalah hari pertama aku menstruasi, artinya tidak boleh.
Selain karena sedang deras-derasnya, rasanya juga sangat nyeri di bagian perut bawahku. Aku pikir bila kami melakukan, itu akan sakit sekali dan tidak mungkin saat aku berdarah ia masuk, bukan?
Kendati, begitu tangan Mas Herman sudah merayap ke celah di antara kedua pahaku. Aku tegas saja menahannya.
"Maaf, Mas, Hari ini Ana enggak bisa," bisikku berharap suamiku ini mengerti. "Ana sedang haid."
Ia terdiam di tempat, melihatku dengan amarah.
"Dasar tidak berguna!"
Deg.
Hatiku mencelus, tidak sampai di sana. Ia mendorongku untuk bisa bangkit meninggalkan aku.
Mas Herman keluar kamar, pintunya ditutup kencang saat ia pergi.
Menit berikutnya aku mendengar deru mesin mobil yang melaju ke luar rumah.
Mas Herman pergi malam ini dengan keadaan marah.
Perlahan kurasakan air mataku jatuh satu persatu, rasanya begitu menyakitkan. Ya, Allah. Apakah perbuatanku sangat salah sehingga Mas Herman bertindak seperti ini?
***
Jangan lupa vote dan komen!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomanceAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...