28 | Amarah Tanpa Alasan

9K 330 66
                                    

Aku gigit jari, bingung mau bagaimana lagi. Sudah tiga hari Mas Herman belum balik, dan belum ada satupun pesan juga teleponku yang balas. Aku juga tidak tahu harus melakukan apa, harus mengadu ke siapa. Lisa juga sibuk, jadi aku tidak ada teman cerita.

Rumah besar ini rasanya sunyi sekali, aku yang kepikiran terus sama Mas Herman, membuat mau makan aja rasanya sulit meski perutku sudah sakit sekali, asam lambungku telah naik. Tidur lun tidak nyenyak.

Kalau begini ceritanya aku lebih memilih tidak bisa tidur semalaman karena ber'main'dengan Mas Herman. Tak apalah tubuhku sakit setelahnya asalkan ia tidak hilang seperti ini. Ini sangat menyesakkan bagiku.

Wajahku sudah tidak karuan habisnya setiap jam menangisi Mas Herman yang belum juga ada kabar.

Apa jangan-jangan telah terjadi apa-apa sama Mas Herman? Sekarang rasa curiga tentang yang aneh-aneh itu telah hilang tergantikan oleh rasa khawatir dan rindu.

Berulangkali aku ingin menelepon Bunda untuk menceritakan apa yang kualami, tapi aku takut wanita itu malah semakin membuat keadaan memburuk.

Mau berkunjung ke Ibu, ah ... beliau pasti di rumah juga banyak pikiran, adik-adikku masih banyak yang harus ia urus. Aku tidak mau lagi menambah bebannya.

Kondisi ini membuat aku frustrasi.

Deru klakson mobil mengagetkan aku dari lamunan, aku tersadar itu klakson mobil Mas Herman. Dia pulang!

Dengan langkah semangat aku berlari cepat membuka gerbang, dan menyambutnya.

Pria itu baru masuk ke rumah saat aku segera memeluknya, "Mas kemana aja? Ana rindu ...." kataku tulus melupakan seluruh perasaan.

Namun, betapa kagetnya aku saat yang diterima justru penolakan darinya. Ia mendorongku mundur, menatapku tajam.

"Mas capek! Jangan manja gitu, sana siapin air hangat, badan Mas rasanya lelah!"

Hatiku serasa dicubit, sakit sekali. Tetapi aku tetap melaksanakan perintahnya, menyiapkan mandi air hangat. Meski tidak bisa kutahan air mataku terjatuh.

Mas Herman terlihat berbeda, menyeramkan seperti saat dulu kutolak bercinta. Apa yang terjadi dengan suamiku di luar sana?

Ya Allah. Kuatkanlah hamba.

Aku menyiapkan makanan saat Mas Herman sudah selesai mandi, dengan baju dan kaos pendeknya ia menarik kursi. Sigap aku menyendokkan nasi untuknya.

"Kamu masak apa sih? Kok bentukannya gak enak gini?!"

Lagi-lagi kalimatnya menghancurkan hatiku, aku melihat telor balado itu tampak baik-baik saja. Tidak ada yang aneh.

Ketika ia menyuapkan ke mulut, ia buru-buru memuntahkannya kembali. "Oekk, kamu masak apa sih. Udah bentukannya gak enak, rasanya enggak jelas. Bisa kamu apa, si, Ana?!"

"Maaf, Mas ... tapi rasanya sama kayak buatan Ana sebelumnya. Enggak ada yang aneh."

"Iya, rasanya kayak biasanya. Karena biasanya juga gak enak!"

Tidak bisa kutahan, aku menangis saat itu juga. Perkataan Mas Herman begitu menyakitkan. Ada apa dengan suamiku ya, Allah.

Kenapa dia berubah begini? Perasaan dulu tidak pernah memarahiku pasal makanan.

"Nangis terosss! Istri macam apa kau ini, huh?! Enggak bisa melayani suaminya, cuih!"

Ia bangkit pergi meninggalkan aku yang hancur berkeping-keping oleh perbuatannya.

Dia bukan Mas Herman yang kunikahi dulu, yang melakukan ta'aruf denganku dulu. Ia pria berbeda. Dia amat kasar.

Tidak mau buang waktu, mengusap wajah aku buru-buru membereskan meja, lalu menyusul Mas Herman ke atas.

Aku mau minta maaf, seaneh apapun tingkahnya sekarang. Mungkin gara-gara ada masalah di kantor, kebetulan aja mungkin perasaannya lagi buruk. Ditambah, mungkin, masakanku kali benar-benar tidak enak di lidahnya.

Lagi-lagi sesuatu tidak biasa aku lihat. Mas Herman sudah tidur duluan.

Aku masuk pelan-pelan, berbaring perlahan agar tidak menggangu tidurnya.

"Maafin Ana, ya, Mas ...."

***

"ANA!!!"

Aku tersentak, bangkit terduduk. Suara teriakan itu memaksaku untuk terbangun. Kulihat ke samping sudah tidak ada Mas Herman.

""ANA! KEMARI KAU!"

Itu suara Mas Herman, bulu kudukku berdiri, tubuhku meremang takut. Bisa kurasakan dari sini suamiku sedang marah.

Aku segera berlari turun, di anak tangga terakhir mulutku menganga lebar mendapati keadaan yang berantakan. Barang-barang berjatuhan di mana-mana. Vas bunga, bantal sofa, dan furniture lainnya.

"A--ada apa, M-as?" tanyaku ketakutan.

"Dimana kunci mobil?!"

Aku menggeleng, aku tidak tahu. Semalam Mas Herman keburu marah-marah duluan. Dia sendiri yang simpan kunci mobilnya.

"Astaga apa sih yang kamu tahu?! Apa-apa enggak tahu! Cepat cari."

Menurut, aku segera memeriksakan laci-laci meja. Naik turun ke atas memeriksa semua tempat yang kiranya ada kunci tersebut.

Namun, sampai setengah jam mencari. Dengan tubuh yang sudah dibanjiri keringat karena lelah dan takut, benda kecil itu tak jua aku temukan.

"Dapat?" tanya Mas Herman menemuiku yang tengah memeriksa kolong sofa.

Aku menggeleng pelan.

"Sudah kuduga, emang kamu itu istri yang enggak berguna!"

Aku memegangi dada, menutup mata, nyeri sekali. Berharap apa yang telah terjadi cuma mimpi buruk saja. Mas Herman tidak mungkin mengatakan hal-hal sekejam ini, ini hanya mimpi.

Tidak. Mas Herman ku tidak mungkin berubah.

Namun, saat aku membuka mata ini benar-benar nyata.

"Untung aku masih punya kunci serepnya," katanya lalu pergi naik ke atas.

Rumah sudah berantakan, aku bisa membayangkan sesulit apa nanti membereskannya. Mau marah, tapi aku sudah sangat lelah. Kenapa Mas Herman gak bilang dari tadi punya kunci cadangan?

Ruang tamu telah selesai aku bereskan saat Herman turun lagi dengan telah berpakaian rapi.

"Mas pergi lagi?"

"Mau kamu di rumah aja gitu? Terus kamu mau makan apa kalau Mas gak kerja?!"

Allahu Akbar, kenapa Mas Herman selalu menjawab dengan kata-kata nyelekit, padahal aku bertanya baik-baik. Pasalnya ia telah tidak pulang tiga hari, heran juga kenapa dia pergi lagi. Apa tidak lelah kerja terus-terusan?

***

Herman kesurupan apaan yak?👀👀

Temukan jawabannya di next chapter!

Dobel up, nih. Seneng nggak? Wkwk

Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar 💋💋💋

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang