42| Bertengkar

4.7K 211 4
                                    

"AKU TAHU SEMUANYA, MAS. AKU TAHU KAMU SELINGKUH!" teriakku sekeras mungkin, tidak peduli tetangga mendengar.

"Lalu apa?"

Pertanyaan itu membuat air mataku terjatuh, kupikir ia akan merasa bersalah, ternyata dia memang brengsek, ingin kucabik wajah sialan ini.

"LALU APA KAU BILANG, HUH?! BRENGSEK!" aku menampar wajahnya sekuat tenaga, sesuatu yang dari awal ingin aku lakukan.

Ia terkejut, mukanya merah padam, ia melihatku dengan sorot tajam, seperti ingin membunuhku. Aku ketakutan, ia nampak seperti monster yang akan menyergapku.

Aku mundur ketika ia maju. Tapi, terlambat ia lebih dulu menangkapku lalu menjambak rambutku, menariknya ke atas, refleks tanganku memukul tangannya untuk melepaskan, sakit sekali tindakannya, tapi aku tidak bisa melawan kekuatan Mas Herman, perbandingan kekuatan kami sangat beda jauh.

"Bicara apa tadi kau? Berani-beraninya," ia lalu melemparkan aku hingga jatuh menubruk lantai, lutut dan siku tanganku mendarat duluan, rasanya sakit sekali.

"Dasar tidak tahu diri! Perempuan seperti dirimu tidak pantas bicara seperti itu. Untung aku mau menerima dirimu, jalang sialan!"

Ia membuka kancing bajunya, karena merasa kegerahan, tapi itu tak cukup meredam emosi Mas Herman. Aku merinding saat ia membuka sabuk celananya.

"AAAAAH" teriakku saat ia mencambukan benda tersebut ke arah diriku. Sebatan itu mengenai punggungku, rasa terbakar merambat membuat aku semakin menangis.

"Tahu diri sedikit! Kau miskin, tidak berguna, tidak tahu terima kasih lagi. Lupa berapa kali aku telah membantu keluarga kau?!"

Sekali lagi ia mencambuk diriku, kali ini aku coba menahan berteriak, tidak mau membuat ia puas mendengar penderitaan ku.

"Brengsek kau bilang? Iya benar, lalu kenapa? Tidak terima punya suami brengsek kayak aku?" Katanya duduk di samping tubuhku yang tidak berdaya, ia lalu menarik rambutku lagi memaksa aku melihatnya.

"Kalau kau bisa jadi istri yang lebih berguna sedikit saja, mungkin aku akan jadi suami yang baik," katanya pelan, "tapi bahkan memuaskan birahiku saja kau tidak bisa," katanya lalu menyentuh bibirku, karena merasa jijik aku membuang muka.

Aku tidak mau lagi disentuh, aku jijik sekali dengannya, perlahan aku menguatkan diri untuk bangun dan menjauh darinya.

"Jangan sentuh aku bajingan!" bentakku.

Dia tersenyum miring, senyum yang sangat menyeramkan. Senyum yang membuat aku ingin lari saat ini juga.

"Aku tidak peduli kau tidak bisa apa-apa Anna, selagi kau bisa memuaskan suamimu ini, kau tahu libidoku tinggi. Itu sebabnya aku selingkuh, aku kurang puas denganmu." Ia mendekatiku.

Panik aku melihat sekitar, mencari sesuatu untuk melindungi diri, sebuah vas bunga di meja kuambil dan kulempar padanya. Namun, ia pandai menghindar.

"Aku suamimu, Anna, kenapa kau ketakutan?" Dia semakin mendekat, "sini aku ajari jadi istri yang baik."

Aku menyerat kakiku yang sakit lari, tapi bodohnya malah tersandung ujung sofa dan jatuh terjerembab. Sehingga ia dapat menyergap diriku dengan mudah.

Ia menyentuh tubuhku dengan kasar, merobek pakaianku dengan brutal, sekeras apapun aku melawan, tidak bisa kutandingin. Hanya air mata yang deras dan teriakan putus asa yang bisa kulakukan saat ia melemparkan tubuh telanjangku ke atas sofa dan terjangannya yang membuatku terluka.

Ia memperkosa diriku sepanjang malam. Benar ini pemerkosaan, aku diperkosa oleh suamiku sendiri.

Rasanya hancur sekali, aku hanya ingin mati saja saat tubuhku merasakan sakit di mana-mana.

***

Aku terbangun karena tidak kuat dengan cahaya pagi yang menembus gorden, saat membuka mata, hal yang pertama kali aku dapatkan adalah langit-langit ruang tamu.

Aku masih terbaring di atas sofa, saat ingin bergerak, aku merasa nyeri yang luar biasa. Di ujung bibir, di wajah, di tangan, di kaki, di selangkangan, di mana-mana rasanya sakit.

Air mataku terjatuh lagi mengingat kejadian semalam, pria itu telah pergi pagi-pagi betul setelah membuat tubuhku penuh luka.

Ya, Allah. Mungkin sangat besar dosaku, sehingga ujian yang kau berikan begitu sakit seperti ini.

Terseok-seok, aku bangkit, memungut baju tidak berbentuk lagi, menyerat kakiku menuju kamar mandi. Aku ingin membersihkan tubuh yang sudah kotor ini.

Di kaca kamar mandi, aku bisa melihat dengan jelas kondisiku. Satu kata untuk menggambarkannya adalah mengerikan.

Banyak lebam dan luka di mana-mana. Aku menyentuh pipiku yang biru dan ujung bibirku yang pecah, semalam karena aku menolak ciumannya, ia menamparku berkali-kali, juga menggigit bibirku kuat, sedikit bercak darah masih ada sana. Aku menghidupkan keran dan membasahi wajah. Perih menjalar menusuk sekali, tidak kuhiraukan karena yang ingin aku lakukan adalah menghapus jejaknya.

Kucuci wajahku keras-keras, aku benci!

Aku benci dengan diriku sendiri, begitu tidak berdaya, rasanya aku ingin menampar diriku sendiri saking kesalnya.

"Bodoh Anna! Bodoh! Kenapa kau menikah dengan monster!"

Aku kembali terisak, aku hidupkan shower untuk mebasahi tubuh, lagi-lagi luka yang kena air memberikan rasa perih yang sakit sekali.

Aku tidak peduli, aku hanya ingin menghilangkan sisa-sisa sentuhan itu.

"Bodoh-bodoh-bodoh!!!!"

Rasanya begitu sakit, baik tubuh dan perasaan ku sekarang ini.

"Lebih baik kau mati saja Anna!"

Aku tidak kuat lagi menjalani nya, bagaimana sekarang aku melihat wajah orang tuaku, apakah sanggup aku memberitahukan kondisi ku sekarang?

Bertahan menjadi istri Herman sendiri sama saja menggali lobang kematian, ia akan membunuhku secara perlahan.

Aku amat frustasi, kulihat pisau cukur Mas Herman. Terdiam sejenak, terbesit bisikan untuk menggoreskan benda itu ke pergelangan tanganku.

***

Pencet bintang dan tinggalkan komentar:))))

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang