14 | Ikhlas Untuk Sakit

18.1K 413 4
                                    

Benar dugaanku, setelah mengiyakan permintaan Mas Herman, keesokan paginya tubuhku terasa sangat nyeri dan pegal di mana-mana. Bahkan untuk bangun saja aku perlu menggunakan seluruh tenaga yang aku punya.

Tidak sampai di situ, karena badan tidak enak, aku kehilangan konsen saat memasak. Sayur yang sedang kurebus kini kuahnya tinggal beberapa sendok. Lupa aku mematikan apinya, enggak cuma kuahnya yang surut hampir seluruhnya, tapi juga sayur hijau itu kini berubah menjadi kecoklatan.

Amukan Bunda membuat kepalaku pusing, sempurna sudah keadaanku. Saat kujelaskan alasan mengapa aku bisa tidak konsentrasi, Bunda tidak mau mendengarkan, ia tetap marah-marah. Menyuruhku untuk belanja sayur masak di simpang sana.

Untungnya saat memakai motor aku masih bisa fokus walaupun lagi-lagi harus mengeluarkan tenaga ekstra. Enggak lama untuk aku kembali ke rumah sambil membawa satu bungkus sayur masak. Buru-buru Bunda menyiapkan di atas meja.

Oh, ya, belum kuberitahu bahwa aku dan Mas Herman tadi serempak telat bangun. Padahal biasanya pria itu selalu lebih cepat dariku. Mungkin ia juga kecapaian. Nah, bayangkan saja keadaanku bagiamana.

Kembali aku beruntung Mas Herman dan ayah tetap bisa berangkat kerja tepat waktu.

Seperti biasa, Bunda Putri tidak akan membiarkan aku lepas begitu saja usai melakukan kesalahan. Ia bahkan dengan teganya memerintahkan kepada aku untuk membersihkan seluruh rumah sendirian. Aku bertanya-tanya dalam hati apa ia tidak melihat wajah pucatku? Apa tidak menyadari sedari tadi aku bekerja sangat lemas?

Aku kesal sekali, ingin aku melemparkan sapu yang kupegang saat ini ke arah Bunda yang asyik menonton tv di sana. Aku sangat ingin beristirahat, mungkin setelah minum obat terlebih dahulu. Kepalaku masih berputar-putar semenjak Bunda meneriaki tadi.

Namun, demikian aku hanya bisa mengeluarkan unek-unek itu dalam hati, tak sampai melawan Bunda. Aku menantunya, masih baru pulak, sudah pun rusak image-ku karena selalu melakukan kesalahan, tak mau lagi aku memuat Bunda menilaiku sebagai menantu tidak sopan dan beringas.

Bisa-bisa ia akan menyuruh Mas Herman untuk menceraikan diriku. Ya, ampun, mana mau aku jadi Janda secepat itu.

Melapangkan dada selebar-lebarnya, aku harus sabar. Setidaknya setelah semua pekerjaan ini selesai tidak punya kewajiban lain sampai sore. Waktu kosong itu akan aku gunakan untuk tidur.

***

Benar-benar kulakukan, tepat di tengah siang, aku sudah selesai. Kubawa kaki ku melangkah menaiki tangga menuju kamar. Di kedua tanganku terdapat gelas berisi air dan satunya lagi ada obat demam. Kupikir tubuhku sedikit panas.

Duduk di tepi kasur, aku memasukkan satu pil ke dalam mulut lalu meminum air putih agar dapat menelannya dengan mudah.

"Huft, akhirnya bisa istirahat juga," kataku pada diri sendiri lalu meletakkan gelas di atas nakas, saat meletakkan gelas itu, aku melihat ponselku tergeletak di sana. Jadi aku mengambilnya. Memposisikan diri rebahan santai di atas kasur, setelahnya aku menghidupkan layar hapeku itu.

Menjadi seorang istri, aku disibukkan banyak aktivitas, tak lagi aku seaktif dulu bermain sosial media. Pun memegang ponsel saja jarang. Makanya saat membuka aplikasi Facebook, ada sedikit rindu yang menelusuk ke dalam dada.

Enggak hanya sejak menikah aku meninggalkan dunia maya, tapi semenjak orang tuaku memberitahu kalau aku akan dijodohkan. Mereka sibuk meracuni pikiran ku untuk berubah, maklum aku dulu sedikit urakan, bebas, dan manja.

Sedangkan, jika aku bawa terus sifat-sifat itu, bisa jadi pernikahan ini tidak pernah terjadi.

Aku hanya lulusan SMA, tiga tahun menganggur. Aku tidak diterima di kampus impianku, rasanya begitu hancur saat itu, ikut les agar tahun berikutnya diharapkan bisa lolos, tapi lagi-lagi gagal. Ibu dan bapak tidak punya uang sebanyak itu untuk membiayai les-ku kembali.

Apalagi aku masih punya adik yang harus mereka biayai. Aku pun menyerah dengan namanya impian. Tidak mau jadi beban keluarga, aku sempat bekerja menjaga toko kelontong milik bibiku.

Sayangnya beliau meninggal dunia tak lama kemudian karena penyakit jantungnya. Toko ditutup karena anak bibiku sibuk merebutkan warisan. Iya, tokonya akhirnya dijual dan uangnya mereka bagi-bagi. Aku kembali jadi pengangguran.

Sangat sulit di zaman sekarang ini mendapat pekerjaan, apalagi untuk orang seperti aku, yang hanya tamatan SMA. Apa-apa syaratnya minimal menempuh pendidikan D1.

Ibu bilang aku jangan terlalu memikirkan hal tersebut, tapi setiap malam aku selalu sedih karena tidak bisa membantu beban mereka.

Menghela napas berat. Aku menyadari seharusnya aku tidak boleh mengeluh terus-menerus seperti ini. Aku harus banyak-banyak bersyukur. Meskipun mendapat mertua kayak Bunda Putri, tapi setidaknya ia menerima diriku jadi istri anaknya tanpa banyak syarat.

Aku hanya perlu bersabar dan bekerja lebih keras lagi agar jadi menantunya yang baik. Mematikan layar ponsel kembali, lalu kuletakan di samping gelas.

Buat apa kembali mengingat masa lalu, buat apa kembali melihat Facebook. Hanya akan membangkitkan rasa iri itu lagi. Iri melihat teman-temanku dulu sedang asyik nongkrong di cafe sambil kerja kelompok tugas kuliah. Bahkan ada yang sudah lulus D1 dan D3, meraka tengah kerja di sebuah kantor terkemuka.

Perasaan ini tidak boleh ada, ia akan membawa penyakit bila kubiarkan mempengaruhi diriku. Toh, juga aku sekarang punya kehidupan yang baik.

Tidak lagi menjadi beban keluarga, punya suami yang Masya Allah ganteng banget, pekerjaan suami aku juga keren. Bentar lagi aku dan dia pun pindah ke rumah kami. Teman-teman aku yang lain belum tentu bisa sampai posisi ini.

Allah maha baik, maha penyayang dan pengasih. Aku tahu, Bunda hanya secuil ujian untukku, maka aku tanamkan dalam diri agar tidak mengeluh lagi.

Sakit ini adalah kewajiban aku untuk memuaskan Mas Herman di atas ranjang, itu kewajiban seorang istri. Aku tersenyum saat mengingat kembali perkataan Ibu saat mengajari aku jadi istri waktu itu.

Ia mengatakan begini:

"Jika suami mengajak tidur istrinya, lalu sang istri menolak, yang menyebabkan sang suami marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri tersebut sampai pagi tiba."(HR Bukhari dan Muslim)

"Nanti kalau Ana diajak tidur sama suamimu janganlah pernah kau menolaknya, Nak."

Kemudian aku mengucapkan terima kasih pada diri ini karena tidak menolak Mas Herman semalam.

"Hampir saja aku melakukan kesalahan besar."

Bersamaan dengan kelegaan dalam hati, kepejamkan mata ini untuk tidur. 

****

Jangan lupa pencet bintang dan komentar ya!

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang