3 | Petuah Mertua

34.7K 757 19
                                    

"Kamu, tuh, seharusnya tahu kalau sudah jadi istri orang, ya berubah."

Kata bunda Putri alias ibunya Herman padaku di sore itu. Kali ini tidak kelewatan lagi membantu memasak untuk makan malam nanti.

Aku mendengarkan dengan seksama setiap petuah yang keluar dari mulut wanita itu.

"Sini biar Bunda yang mengupas kentangnya, kamu giling bumbu," Bunda mengambil alih pisau dan kentang dari tanganku.

Aku sendiri hanya bisa manut sambil bertukar posisi dengan Bunda Putri. Saat masih di rumah Ibu, aku kalau bantu-bantu masak gak pernah kebagian ngulek, kalau-kalau iya, aku pasti ogah-ogahan dan akhirnya Ibu yang ngulek.

Kumasukkan semua bahan bumbu ke atas cobek, alhasil sepertinya bumbu ini kebanyakan dan pas aku mulai menggiling sebuah cabe dan dua bawang merah tumpah keluar.

"Ya, ampun Ana. Ngulek tuh jangan langsung 'plek' semua gini. Sebagian-sebagian dulu atuh, kan, jadi tumpah."

"Maaf, Bunda." Aku memungut cabe dan bawang yang jatuh tadi, lalu mengurangi isi cobeknya.

"Mulai sekarang kamu itu harus pandai-pandai, pandai memasak, pandai mengurus rumah, juga pandai berdandan."

Kalimat terakhir mengusikku, teringat tadi pagi aku keluar kamar masih dengan penampilan acak-acakan. "Iya, Bunda. Nanti Ana perbaiki lagi sikap Ana."

"Bagus." Bunda sudah selesai mengupas semua kentang, sedangkan aku masih mengulek, bumbunya baru setengah halus. Sulit sekali, padahal sudah kukerahkan semua tenaga yang kupunya. Jari-jariku juga terasa sakit karena begitu kuat mencengkram batu penggilingan.

"Kamu contoh Kakak ipar kamu, Lina. Dia juga sama kayak kamu, masih belia ketika menikah dengan abangnya Herman. Tapi handal banget ngurus ini itu. Sekarang sudah punya anak tiga, tapi gak pernah ngeluh ngurusin rumah tangganya. Semua ia kerjakan dengan telaten."

Kak Lina memang seperti yang Bunda katakan. Wanita itu sekarang masih berumur dua puluh tiga tahun, tapi orangnya amat dewasa sekali. Aku harus banyak banyak belajar dengan wanita itu.

"Dan, lagi Ana. Herman sama abangnya itu sama. Mereka kepengen punya anak banyak," ujar Bunda membuat aku memelankan ulekanku sambil menunggu Bunda melanjutkan perkataannya. "Jadi, tadi malam kalian sudah melakukan?"

Wah.

Sekarang aku menghentikan aktivitasku, menatap Bunda dengan raut menyesal. Belum. Tentu saja. "Belum, Bunda. Kami semalam kecapekan, jadi ketiduran."

Bunda menatapku intens, "Nak, berhubung suami istri itu kewajiban setiap pasangan yang sudah menikah. Bunda bisa memahami kalau semalam belum, tapi jangan ditunda-tunda."

"Baik, Bunda."

"Bumbunya udah halus?"

Aku melihat ke cobek di depanku, memang tidak halus sekali tapi sudah cukup hancur semua. "Kayaknya begini sudah cukup, kan, Bunda?"

Melihat hasil gilinganku, bunda menghela napas. "Sudah-sudah. Besok-besok kamu harus lebih berusaha lagi."

Ah. Baru sehari saja aku sudah mendapatkan banyak PR. Duh, apakah keputusan untuk menikah muda itu salah?

***

Tekan love dan beri komentar;)

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang