13 | Remuk Redam

21.2K 437 4
                                    

Semenjak mendengar perkataan Bunda tentang; boleh-boleh saja melakukan hal intim dengan suami masuk dari belakang. Setiap kami 'melakukan'nya, aku berusaha untuk membiasakan diri, sebab itu bukan suatu kesalahan. Walaupun sebenarnya aku sangat tidak menyukainya, terasa aneh dan cukup buat pegal.

Bayangkan saja, dalam posisi biasa, Mas Herman di atas aku di bawah, dan ia menusuk diriku dari depan, pahaku tetap merasa pegal dan kebas. Apalagi pria itu tidak akan membiarkan sesi panas kami berlangsung satu ronde, dan setiap rondenya ia selalu mampu membuat aku menggila.

Seseorang menyenggol tanganku, membuat aku tersentak dan hampir menjatuhkan sendok goreng. Aku menoleh ke samping untuk menemukan wajah sewot Bunda Putri. Ah ... sial, aku melakukan kesalahan, bersiap deh dapat omelan.

"Kalau masak itu serius, malah bengong! Lihat tuh ikannya udah coklat, kamu mau buat jadi item?"

Mendengar itu aku memutar kepala untuk melihat apakah benar perkataan Bunda, dan ... Ya benar. Buru-buru aku mematikan api dan mengangkat ikan-ikan itu ke atas saringan besi.

"Kalau enggak niat, enggak usah dikerjakan, Nak. Buat masalah kamu jadinya."

Menunduk dalam, aku bersuara pelan, "Maaf, Bunda."

"Sudah-sudah, kamu cuci sayur sana. Biar Bunda yang goreng sisanya, daripada kerjaan kamu semakin kacau."

Aku mengangguk Lalau beranjak membawa sayur kangkung yang telah di potong-potong ke wastafel, air kuhidupkan, saat kusentuh, dingin dan segarnya air itu membuat aku tersadar. Kepalaku sedari tadi sibuk memikirkan hubungan suami istri yang aku lakukan dengan mas Herman semalam.

Pinggang dan pahaku pegal betul dibuatnya, tak mau aku bercinta dalam posisi itu. Tak nyaman. Aku menoleh ke arah Bunda, mau cerita masalah ini, tapi takut waktunya tidak tepat.

Menghela napas panjang, aku kembali fokus mencuci sayur hijau ini. Mungkin nanti saja setelah makan malam. Tidak baik juga di kala sibuk-sibuk begini malah curhat, lebih baik kukerjain semua ini dengan cepat dan baik, semakin cepat semakin baik.

***

Sayang sekali rencanaku untuk berbicara pada Bunda gagal saat tetangga datang bertamu. Bunda menjamu mereka, kiranya ternyata tetangga tersebut punya urusan penting. Lagi-lagi harus menhan sabar aku pun mengurungkan niat. Mungkin besok lebih baik.

Aku naik ke atas, mau tidur lebih cepat. Soalnya badanku hari ini terasa tidak enak, mungkin istirahat lebih cepat akan membuatnya lebih baik.

Sampai di kamar, Mas Herman tidak ada di sana. Mungkin masih asyik berbicara dengan Ayah. Tadi ketika makan mereka terlihat sangat bersemangat membicarakan rumah pak Bram yang mau direnovasi, Mas Herman diminta untuk mendesain ulang rumahnya, Ayah banyak memberikan saran yang Herman terima dengan baik.

Dua orang itu terlihat sangat nyambung, aku bahkan tidak tega menyelanya, begitu pun dengan Bunda.

Sesudah menikah, aku tidak pernah tidur duluan sebelum Mas Herman ikut rebahan di sampingku. Rasanya tidak enak membuat pria itu menemui ku sudah terlelap, tapi kali ini aku tidak bisa menahan diri. Tubuh ini butuh diistirahatkan lebih lama, aku butuh tidur lebih lama.

Aku pikir Mas Herman tidak akan masalah aku tinggal tidur duluan, lagi pula selama ini pria itu kukenal sangat baik dan perhatian. Paling dia akan mengerti.

Maka, aku rebahkan diri, lalu memejamkan mata. Menghitung domba imajiner agar lebih cepat masuk ke dalam alam mimpi. Benar saja tidak sampai pada domba yang kesepuluh, aku sudah terbang ke alam mimpi.

Namun, belum satu jam berselang, sebuah tangan melingkar di tubuhku. Juga kurasakan dengusan napas di leherku, awalnya bisa kuabaikan dan masih bisa tidur. Tapi tangan itu tidak sekadar memeluk, jari-jarinya jahil menyingkap bajuku, sampai ia bisa menyentuh kulit perutku. Yang emang area itu termasuk sensitif, jadi ketika jari-jari itu mengelus dan berjalan-jalan di sana aku bergerak gelisah. Rasanya geli, menimbulkan rasa aneh yang muncul di tubuhku.

Aku rasa aku tidak akan bisa tidur saat bibir Mas Herman mencium leherku, bergerak mencium telingaku.

"Akh ...." Aku tidak bisa menahan agar tidak bersuara saat ia menggigit cupingku sedikit keras.

Karena sudah terlanjur ketahuan bangun, aku memutar posisi tidur untuk melihat apa yang ia lakukan padaku. "Mas Herman," kataku menuntut penjelasan.

"Mas mau 'itu'."

Aku mengerjap tidak percaya. Bagaimana ini? Tubuhku masih lelah, aku tidak akan kuat, tapi kalau menolaknya. Rasanya begitu sulit ... binar matanya menunjukkan begitu menginginkan diriku, dan aku mengerti hasratnya pasti sangat menyakitkan bila tidak tersalurkan.

Tapi ... Ah, bagaimana ini?

Haruskah aku tolak atau aku terima dengan konsekuensi tubuhku akan semakin sakit, dan aku yakin ketika bangun nanti akan sering kena omel Bunda karena tidak fokus melakukan pekerjaan.

"Mas suka sekali tubuh kamu, rasanya begitu nikmat dan selalu buat ketagihan .... Ana biarkan aku merasakannya sekali lagi malam ini." Perkataannya semakin membuat aku sulit menolak, mata itu .... begitu penuh gairah. Aku tidak sanggup. Akhirnya aku mengangguk pelan tanda persetujuan.

Mungkin ocehan Bunda masih bisa kuatasi tapi bila mata itu berubah kecewa, aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri yang tidak mampu membahagiakan suamiku sendiri.

Maka dengan semangat pria itu melucuti pakaian kamu dan menyetubuhi diriku lagi.

Biarlah tubuh ini remuk redam, asal orang yang aku cintai bisa bahagia.

****

Jangan lupa tinggalkan jejak.

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang