40 | Mencoba Berani

5.3K 267 34
                                    

Tidak seperti biasanya, mungkin pengaruh habis bertengkar dengan Bunda, juga jam yang sudah larut malam, aku tidak turun ke bawah untuk sekedar membuka gerbang atau menyambut kepulangan Mas Herman.

Kesal sekali mengingat Bunda terus saja menyalahkan aku, padahal lihat anaknya ini. Ingat pun tidak punya janji akan menyusul ke rumah sakit. Aku tetap memejamkan mata, pura-pura tidur saat Mas Herman sudah masuk ke kamar. Kutunggu beberapa menit, ia seperti tidak keheranan dengan tingkahku.

Aku jadi jengkel! Seharusnya ia bertanya-tanya dong kenapa istrinya bisa tumben tidak menyambutnya?

Oh, iya, ia pasti tidak perduli. Palingan ia habis dari tempat selingkuhannya, buat apa peduli padaku, sedangkan ia punya kebahagiaan lain di luar sana. Aku mau tidur saja! Sayangnya tubuhku tidak bisa diajak kerja sama, sulit sekali untuk membawa jiwa ini terlelap, padahal ini sudah cukup larut.

Aku merasakan Mas Herman sudah selesai mandi dan ganti baju, bau sabunnya terasa saat ia menaiki kasur di sebelahku. Aku mengetahuinya meski dalam keadaan memunggungi ia, dan dengan mata tertutup, sebab selama enam bulan lebih bersama, hak ini sudah aku hapal.

"Anna sama Bunda bertengkar?"

Pertanyaan itu sontak membuat aku membuka mata, dari mana Mas Herman tahu? Apa Bunda menghubunginya untuk mengatakan bahwa aku istri kurang ajar yang berani sama Bunda?

"Bunda memang suka bicara seenaknya sendiri, jarang sekali memikirkan perasaan orang lain," ujar Mas Herman lagi meski aku masih dalam posisi diam tak menanggapi.

"Kamu enggak salah, Dek. Mas berada di pihak kamu."

Kali ini Mas Herman benar-benar berhasil mengusik diriku, aku pun merubah posisi jadi menghadapnya, melupakan sejenak tadi aku pura-pura tidur, sudahlah, sudah terlanjur ketahuan, lagi pula perkataan Mas Herman terlalu menarik bagiku.

Perhatian dan kepedulian dalam kata-katanya membawa aku kembali pada awal-awal pernikahan kami. Saat aku pikir aku telah jatuh cinta pada pria yang juga mencintai aku.

"Maafkan Mas, ya, tadi nggak menepati janji nyusul kami ke rumah sakit. Kamu jadi sendiri menghadapi Bunda."

Ada yang aneh dengan perasaanku, aku pikir aku sudah membencinya setelah tahu ia berselingkuh. Mengapa kini aku malah tersentuh dengan kata-katanya? Aku bangkit duduk menatap tak percaya Mas Herman benar-benar minta maaf... dengan tulus?

Ha?

Dia kesambet apa?

"Mas Herman?" tanyaku cengo, memastikan bahwa ia benar-benar suamiku.

"Iya, Dek?" tanya Mas Herman tidak kalah bingung dengan reaksiku.

Karena tidak mau terlihat aneh, aku pun tidak jadi ingin bertanya apakah ia benar-benar mas Herman, karena tentu saja dia Herman suamiku, kalau tidak, mana mungkin bisa masuk ke rumah.

"Kenapa pulang malam sekali?" kataku pada akhirnya berhasil mencari topik lain.

"Habis nengok Bunda."

Ah, ternyata jadi menyusul, hanya saja kupikir tidak selama ini.

Aku punya banyak pertanyaan yang bercokol di dada, di antaranya, kemana saja dia selama ini? mengapa ia tega berselingkuh dariku? Apa kurangnya aku? Mengapa ia berselingkuh dengan Lisa temanku? Mengapa ayahnya bisa tahu ia berselingkuh? Ada apa dengan keluarganya?

Tapi sebelum aku sempat mengatakannya, kulihat perban di lengan kirinya, lalu tersadar ada luka dan lebam di wajah Mas Herman.

"Mas Herman kenapa? Mas habis dikeroyok?" tanyaku sambil menyentuh sudut bibirnya yang luka.

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang