10 | Lingerie Merah

23.2K 475 7
                                    

Tap love sebelum baca ><

....

Sudah seminggu, Mas Herman sudah kembali bekerja. Rutinitasku--selama di rumah mertua--adalah bantu-bantu bunda (alias pembantu, huh!). Aku tidak tahu mengapa, aku merasa diperbudak, mulai dari Bunda yang sering berucap banyak alasan, sehingga pekerjaan aku yang menangani sendiri.

Seperti ketika sedang cuci pakaian, ia mengeluh sakit pinggang, katanya asam uratnya kambuh. Tapi malam ini dia sangat lahap memakan gulai kambing. Astaga aku tidak mau suudzon tapi tingkahnya sungguh membuat aku muak.

Sengaja kubuat suara berisik ketika mencuci piring, Bunda sedang mengambil air minum, pastinya mendengarku. Dan ... benar saja ia langsung menghampiri aku dengan tatapan tidak suka.

"Kalau kerja yang benar. Keras-keras begitu, kamu mau menghancurkan piring-piring ini, hah?!"

"Maaf, Bunda." Aku menunjukkan wajah menyesal, sengaja kubuat begitu agar ia tidak terlalu marah. "Tali jari Ana sakit, dari tadi pagi dipaksa bekerja terus."

Nah, sekarang kumasukkan kata-kata sindiran. Mau jawab apa sekarang Bunda? Aku tersenyum lebar dalam angan dan bersorak riang dalam hati.

"Biasakan." Bunda menunjukkan jari-jarinya padaku. "Lihat jari Bunda, banyak kapalan, ini gara-gara terbiasa kerja. Nanti kalau sudah begini enggak sakit lagi."

Aku hampir saja ternga-nga dan memelototi Bunda, kalau saja tidak sedang dalam kondisi waras. Jadi maksud wanita ini, hariku harus sejelek jarinya itu? Apa?!

"Tapi, Bun...."

"Enggak ada tapi-tapian, kerjakanlah. Bunda mau ke depan, kayaknya Ayah Herman sedang banyak pikiran, sebagai istri Bunda harus menemani barangkali mau berbagi masalah."

Sejatinya Bunda emang baik, kalau saja sifat nyebelinnya dihilangkan. Penasehat yang bijak kalau saja mulutnya bisa dikontrol mengatakan hal-hal menyakitkan.

"Kamu cepat-cepat bersih-bersihnya terus naik ke atas. Bunda lihat suami kamu juga sudah naik. Pasangan baru harus sering-sering bersama, biar tetap harmonis."

Aku mengangguk, mengabaikan kenyataan tentang jariku yang benar-benar sakit, kupaksa terkena air dan sabun. Sudah malam, aku tidak mau berlama-lama bersama air.

Sepuluh menit selesai mencuci piring dan membersihkan meja makan juga dapur. Aku melepas celemek dan mencuci tangan untuk terakhir kalinya.

Melangkahkan kakiku menuju kamar atas, Mas Herman benar-benar sudah ada di dalam. Ia terduduk di atas ranjang sambil memangku laptop, jarinya menari di atas keyboard, ia sedang serius mengerjakan sesuatu di sana.

Sampai-sampai kehadiran diriku tidak ia hiraukan, aku harus berdeham kecil agar ia menoleh. Ia menoleh dan memberikan senyuman hangat padaku, senyuman yang selalu membuat jantungku berdetak kencang. Senyuman yang membuat kegantengan pria itu bertambah berkali-kali lipat.

Ia menggerakkan tangannya menepuk-nepuk sisi di sebelah. Mengintruksikan padaku agar duduk di sana. Aku pun  menurut, duduk di samping Mas Herman, ia lalu menunjuk layar laptopnya.

"Aku lagi menyelesaikan tata taman di rumah kita nanti."

Ah, ya, apa sudah kuceritakan bahwa suamiku ini adalah seorang arsitek. Dia pandai menggambar-gambar rumah, mendesain bangunan. Aku penasaran apakah dia sudah menggambar masa depan kami, eh.

Aku malu sendiri memikirkan hal tersebut, menyingkirkan rasa halu itu aku fokus pada gambar di laptop Mas Herman. Taman yang dimaksud Mas Herman kira-kira akan berada di depan rumah, ukurannya tidak terlalu luas tapi bisa muat banyak tanaman.

"Cantik, Mas," ungkapku jujur. Desainnya emang cakep dan mantul.

Pantas saja banyak orang yang mempercayakan kepada Mas Herman untuk mendesain rumahnya. Bahkan rela mengantri asal pria ini yang menghandle. Duh, aku sangat bangga.

"Nanti kamu bisa nanam tanaman apa aja, yang di sini mas cuma kasih contoh aja."

Di gambar itu tanaman yang menghuni taman kami kebanyakan bunga-bunga daun, kayak talas-talasan, aku emang tidak terlalu suka, aku lebih suka jika tanaman berbunga kayak mawar, melati, bugenvil atau bunga-bunga berwarna lainnya.

"Kamu masih sabar, kan, menunggu rumah kita jadi?" Mas menggemgam tanganku.

Aku mengangguk dan ia mencium keningku. Aku sangat suka cara Mas Herman memperhatikan diriku, membuat aku merasa jaru wanita yang sangat beruntung karena bisa memilikinya.

"Oh, ya, sayang. Aku punya hadiah untuk kamu." Pria itu menutup laptopnya dan beranjak ke nakas untuk mengambil sebuah paper bag hitam dengan pita putih. Ia menyerahkan benda itu padaku.

"Nih, buka."

Saat kubuka, dan menemukan kain berwarna merah, aku terbelalak. Sangat terkejut.

Sebuah Lingerie

****

Ada apa dengan lingerie? Hayoo nantikan di bab selanjutnya.

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang