4 | Menunaikan kewajiban

42.9K 836 15
                                    

🚫21+ area 🚫

****

Setelah gelap menyelimuti bumi, aktivitas di luar rumah mulai tidak ada. Aku duduk di depan cermin, telah mengenakan piyama merah berbahan satin lembut, rambut panjangku kubiarkan tergerai. Kutatap sekali lagi wajah ku dalam cermin lamat-lamat, memastikan apakah penampilanku sudah cantik dan tidak ada sesuatu yang aneh.

Sudah jam delapan tapi Mas Herman belum juga masuk ke kamar. Padahal persiapan ku sudah dari satu jam lalu. Kata Bunda Putri kewajiban melayani suami gak boleh ditunda-tunda, jatuhnya dosa, makanya malam ini harus bisa. Walaupun aku masih takut dan sangat gugup.

Pada saat aku mulai beranjak ke kasur, pintu kamar terbuka. Aku sedikit tersentak karena terkejut, tetapi saat kulihat mas Herman masuk, aku segera mengulas senyum lebar.

"Tadi Bunda ajak bicara, terus keblas-blasan sampai jam segini." Mas Herman menjelaskan tanpa perlu aku meminta. Ia berjalan mendekat.

Aku mengangguk paham lalu menunduk, bingung apakah yang harus dilakukan sebelum melakukan hal 'itu'. Apa aku harus mengajaknya langsung? Ah, itu terlalu frontal. Mau mengode, tapi aku tidak tahu kode seperti apa yang harus kulakukan.

"Mas."

"Dek."

Kami berbicara berbarengan, tapi sebagai istri maka lebih baik kupersilahkam Mas Herman bicara duluan, "Mas duluan, deh."

"Eh. Udah Anna aja, siapa tahu lebih penting."

Duh, penting sih, cuma aku sendiri pun masih ragu apakah perlu kusampaikan ajakan untuk berhubungan ini. Malu juga mengajaknya, aku memilih mengalah. "Enggak, Mas. Anna tiba-tiba lupa mau bilang apa."

"Ya, ampun." Ia terkekeh, lalu mengusap kepalaku.

"Ya udah, aku yang berbicara." Lagi-lagi kami sama-sama kompak duduk di tepi ranjang. "Sebenarnya Mas ragu, Dek. Tapi pas bicara sama bunda tadi, Mas mikir lagi."

Aku menunggu Mas Herman melanjutkan perkataannya. Entah kenapa aku tahu arah pembicaraan ini, ia menatapku serius menarik tanganku untuk digenggamnya. "Kata Bunda kita gak boleh menunda berhubungan suami istri." Nah, kan betul.

"Tapi Mas juga sadar kalau misalnya kamu belum siap. Kamu masih muda, kalau kamu butuh waktu untuk mempersiapkan diri, Mas masih bisa nunggu."

Aduh mas Herman ini, aku semakin jatuh cinta padanya. Ia begitu pengertian, tapi toh juga aku sudah siap, meski masih takut tentunya.

Dengan anggukan kepala, lalu tersenyum, aku balas menggenggam tangan Mas Herman erat. "Insya Allah, Mas. Anna sudah siap beribadah bareng, Mas."

Sudut bibir Mas Herman tertarik ke atas, lengkungannya begitu lebar. "Anna?"

"Iya, Mas. Lagi pula, mau ditunda juga pada akhirnya akan kita lakukan juga, ya bener kata Bunda lebih cepat lebih baik."

Mas tersenyum penuh arti dan mendekatkan wajahnya pada, lalu jarinya di dagunya, mendorong pelan hingga aku menatap wajahnya. "Terima kasih, Ana. Mas sayang kamu." Lalu ia mengecup bibirku singkat, lalu beralih ke kening dan kembali ke bibirku untuk melumatnya.

Ini ciuman pertamaku, jadi aku tidak tahu harus berbuat apa selain menuruti gerakan bibir Mas Herman yang melumat bibir atas dan bawahku bergantian. Aku hanya mengikuti ritmenya, melakukan gerakan yang sama dengan yang Mas Herman lakukan padaku. Tangannya di daguku tadi kini bergerak membuka satu pesatu kancing bajuku hingga terlepas, juga telah berhasil meloloskan celanaku. Ia melakukannya dengan sanhat ahli bahkan tidak kesusahan sama sekali.

Kini tersisa celana dalam dan bra hitamku, Mas Herman masih setia bermain-main di bibirku. Rasanya bibirku habis ia hisap, belum lagi saat ia menerobos masuk ke dalam mulutku, lidahnya menyapu seluruh isinya, aku cukup kualahan dengan caranya, apalagi ini pertama bagiku, rasanya begitu bingung harus berbuat apa ditengah desakan napsu yang merambati diri, jadi seperti di awal, aku hanya mengikuti permainan Mas Herman.

Aku melenguh saat Mas Herman meremas buah dada kananku, begitu kuat tapi sangat nikmat terasa. Ada lagi perasaan aneh yang kurasakan di inti bawah saat jari mas membelainya dari balik celana dalamku.

Aku basah, oleh sesuatu yang tidak aku mengerti. Bibir Mas Bram menjauh, ciuman panas kami terlepas. Ia menatapku dengan mata bergairah. "Dek, Mas ingin memiliki kamu seutuhnya, bolehkah Mas?"

Aku mengangguk lemas, karena tangannya masih bermain liar di bawah sana. Melihat jawabanku, jari itu menyingkirkan celana dalamku, meloloskannya dari kakiku. Lalu jari telunjuknya dengan perlahan masuk kedalam celah basah di sana. Aku tak kuat untuk tidak mendesah.

"Akh, ah ... Ah.., Maaas," lenguhanku tak tertahan, apalagi ia menambahkan jari tengahnya, lalu keluar masuk.

"Ini biar kamu tidak terkejut untuk penyatuan kita, sayang." Itu katanya, sebelum bibir yang berbicara itu kini meraup buah dadaku yang telah tak berpenghalang.

Jari-jarinya di bawah sana sangat lihai keluar masuk, dan aku tidak kuasa menahan sensasi aneh yang mau keluar dari sana. Seperti mau pipis, aku gelagapan, tidak mungkin aku buang air kecil di sini, tapi aku sudah tidak tadi. Tubuhku menggelinjang.

Cairan itu keluar juga. Ikut membasahi tangan Mas Herman. Aku malu melakukannya, "Ah ...ah...Maa--af, Mas."

Tapi Mas Herman malah tersenyum dan melapnya ke baju tidurnya. "Sepertinya cukup." Ia melucuti pakaiannya dengan cepat, hingga kini kami sama-sama telanjang bulat.

Tidak sengaja aku melihat kepunyaannya. Ini pertama kali aku melihatnya! Sungguh! Meskipun telah mempelajari alat reproduksi di sekolah, tapi melihat bentukannya secara asli baru kali ini. Apakah organ itu memang normalnya sebesar ini? Aku mendadak khawatir, seingatku dalam bersetubuh maka milik Mas Herman akan menerobos miliku, apakah itu muat? Aku bergidik, tapi tetap pasrah dan menanti apa yang akan terjadi setelah ini.

"Bismillah, Mas masuk, ya," katanya, belum sempat aku menjawab sudah menimpa tubuhku. Merenggangkan kedua pahaku lebar-lebar dan miliknya teracung tegang di depanku. Percayalah itu besar, mungkin mirip tongkat bisbol.

Lalu, satu dua tiga, blep. Masuk.

"Ahkk, ah." Ia memasukkan baru setengah, tapi aku sudah merasakan sakit luar biasa. "Mass." Dugaanku benar, ini sangat sakit! Aku takut milikku sobek tidak sanggup dimasuki oleh miliknya.

"Tahan sayang, pertama kali emang begitu."

Lalu jleb sekali lagi, ada bagian tubuhku yang tersobek. Sakit sekali, air mataku meluruh karena nyerinya. Tapi dari itu, Mas Herman mendiamkan milikinya di sana, lalu mengecup bibirku singkat. Sebelum akhirnya mencabut miliknya untuk kembali dimasukkan lagi. Berulang-ulang, menggenjot tubuhku.

Aku hanya mampu berteriak, mengaduh kesakitan, kadang-kadang mendesah karena apa yang mas Herman lakukan terasa nikmat juga. Satu malaman kami melakukan aktivitas itu, aktivitas yang menguras keringat dan tenaga.

Aku mengeluarkan cairan yang kata Mas Herman adalah cairan orgasme itu berkali-kali, ia juga menyemburkan cairannnya dalam rahimku sebanyak dua kali. Membuatku terkulai lemas, tapi ia masih tidak puas, katanya ingin sekali lagi memberikan benihnya.

Saat aku sudah sangat lemas, ia dengan batang besbolnya masih membobolku, masuk keluar dengan cepat dan menerjang dengan dalam. Lalu saat punyanya mengembang artinya siap menyemburkan cairan hangat putih kental, ia menekankan miliknya padaku dalam sekali. Aku kesakitan, cairan itu memenuhi rahimku, banyak sekali sampai tumpah ke luar. Lalu ia melepaskan punyanya dan berbaring di sampingku. Saat itulah aku gak kuat lagi dan kesadaranku menghilang.

***

Tekan love dan komentar.

Oh, ya? Kalian pengalaman pertama sama suami bagaimana?

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang