45| Maaf Ibu, Ayah...

4.3K 294 28
                                    

Sudah berapa lama aku tidak sadar? Aroma antiseptik yang menyengat dan warna putih di sekeliling, membuat aku sadar di mana aku berada. Rumah sakit. Tubuhku masih sama seperti sebelumnya. Penuh kesakitan dan kini pegal di mana-mana.

Kemudian setelah beradaptasi beberapa menit dengan kondisi di sana, aku menyadari tanganku digenggam erat oleh jemari keriput, kepala berselimut jilbab bersender di sebelahnya.

Ibu.

Ibu ada di sini, pergerakanku membangunkan tidurnya, ia sontak terkejut dan memastikan aku benar-benar sadar.

"Anak ibu udah sadar, ya, ampun. Bentar, ya, Nak. Ibu panggilkan dokter."

Ibu berlari keluar dan berteriak memanggil suster untuk dipanggilkan dokter. Seorang pria berbalut jas putih masuk dengan stetoskop menggantung di lehernya. Ia menyentuh tanganku, menyenter mataku dan mengecek infusku. Ia juga mengecek detak jantungku dengan stetoskop nya.

Lalu berbincang dengan suster yang datang bersamanya tadi, si suster mencatat sesuatu di kertasnya sambil mengangguk. Lalu ia beralih ke Ibu. Mereka berjalan keluar, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang mereka katakan.

Ibu masuk lagi kemudian, ia mengambil tanganmu dan menciuminya sambil mengelus kepalaku, matanya berkaca-kaca, tapi ia tahan agar tidak menangis. Mungkin tak mau membuatku merasa menyedihkan.

"Kamu sekarang aman, Nak."

Dia masih terus mengusap kepalaku, sambil sesekali dengan pelan menyentuh pipi biru bengkak bergantian.

"Kenapa enggak jujur sama Ibu? Kalau sedari awal tahu, sudah langsung ibu pisahkan kamu dari si brengsek itu," ujarnya membuat hatiku sakit.

Inilah hal yang aku takutkan, aku takut untuk jujur karena tidak mau membebani Ibu. Beban ibu saja sudah banyak, tak mau aku tambahi lagi.

"Maafkan ibu ya, Nak. Seharusnya kami tidak menikahkan kamu buru-buru, maafkan ibu." Air mata beliau mulai turun tidak tertahankan lagi, begitu pun diriku. Aku menggeleng kuat, menyanggah pendapat Ibu.

Ibu enggak salah, pernikahan ini adalah nasib sial yang kebetulan terjadi padaku.  Jika ada yang bisa disalahkan maka Herman satu-satunya orang yang tepat.

"Ibu sama bapak udah buat laporan, hasil visum juga udah keluar. Kalau Herman udah ketemu, kita bisa langsung jebloskan dia ke penjara. Kamu juga cerai saja dengannya. Kita bisa perbaiki ini, kamu balik ke rumah, kita bisa berkumpul bareng-bareng lagi."

Aku mengangguk menahan haru. Ditambah ayah yang masuk membuat aku tak kuat menahan Isak tangis, pria itu langsung memelukku erat.

"Ayah udah sehat?" tanyaku menatap kondisinya.

"Alhamdulillah udah, nak. Kamu jangan pikirin Ayah. Sekarang yang terpenting kamu bisa segera pulih."

"Maafkan Anna jadi buat Ibu sama Ayah malu."

"Enggak, Nak. Justru ayah ibuk seharusnya melakukan ini sejak awal. Kalau kamu lebih lama lagi tinggal sama pria jahat itu, mungkin kami tidak bisa menyelamatkan kamu."

Kami berpelukan lama, aku terharu sekali, tanggapan mereka sangat berbeda dari yang aku bayangkan. Aku pikir akan sulit bagi mereka.

Ada banyak sekali kata 'seharusnya', 'seandainya', 'kalau saja', yang mengerubungi kepalaku. Tetapi semuanya kutepis kuat-kuat, nasi sudah jadi bubur, tidak ada masa lalu yang bisa diubah, kita hanya bisa belajar dari yang telah berlalu.

Aku mengerti, kondisi ku ini pun sulit bagi keluargaku, maka meskipun kondisi ku hancur lebih, aku coba bertahan dan tetap tampak kuat di depan mereka.

***

Adik-adikku berkunjung pada malam hari, sudah lama aku tidak bertemu dengan mereka, akhirnya ada momen di mana kami bisa ketemuan. Jadwal sekolah dan les mereka yang padat membuat kami kesusahan mencari waktu bertemu.

"Aaa" sibungsu yang kini tengah menyuapiku ala anak bayi terlihat senang sekali bisa melihatku kembali, meski tidak bisa menutupi kesedihan di matanya. Tentunya keadaanku ini membuat ia sedih.

"Makasih, dik." Kataku menyelesaikan suapan terakhir darinya.

"Bagaimana sekolahmu?"

"Baik, Kak," jawabnya sambil meletakkan piring kosong di meja. Lalu ia kembali duduk di bangku samping bangsalku.

"Kakak cepat sembuh yaa, biar bisa ngajarin Liya, jadi guru Liya di rumah."

Aku tersenyum, lalu mengacak poninya gemas, "Doakan Kakak ya."

"Pasti, Kak."

Ibu masuk membuat kami sama-sama memandang kedatangan Ibu.

"Anna, ada tamu tuh."

Aku menahan napas, masih sulit untuk menerima kehadiran orang lain di sekitarku. Rasa-rasanya masih sangat malu menunjukkan kondisiku saat ini.

"Boleh masuk?" tanya ibu menyadari gelagatku.

Kata Ibu aku sudah di rawat di rumah sakit sudah tiga hari, banyak hal yang tidak aku ketahui. Pastinya kabar tentangku sudah menyebar. Mungkin sanak saudara merasa kasihan lalu menjenguk.

"Bukan mereka, kan, Bu?" tanyaku memastikan yang datang bukan keluarga Herman.

Tadi sempat Mbak Lina datang, tapi aku tidak menerima, aku takut ditatap oleh nya, aku benci sekali dengan keluarga Mas Herman, apalagi Herman.

Demi Tuhan, aku tak mau melihat wajahnya lagi.

"Bukan," jawab bunda membuat aku bernafas lega.

Kemudian Ibu mempersilahkan tamuku masuk, seorang wanita paruh baya yang bersahaja masuk, disusul pemuda yang mirip sekali parasnya dengan sang wanita mengekor dibelakang.

Dengan tatapan lembutnya ia menyapaku dan mengulas senyuman hangat.

Andre dan Ibunya berkunjung, akhirnya, kupikir ia akan jijik denganku karena tahu apa yang aku alami. Sebenarnya ini agak canggung juga, sebab terakhir kali kami bertemu, suamiku malah menuduh kami berselingkuh.

"Cepat sembuh, ya, cantik," Ibunya Andre mengelus kepalaku lembut. "Anak baik akan selalu ditolong Allah, kamu kuat telah berhasil melalui ujiannya."

"Amin, makasih Bu."

Ibu terlihat sangat senang atas kedatangan mereka, aku penasaran apa sebabnya. Dan saat Ibu bersuara, aku jadi tahu alasannya.

"Terima kasih, Andre sudah menyelamatkan Anna."

Jadi Andre yang bawa aku ke rumah sakit. Kalau diingat-ingat lagi, saat itu aku berencana bunuh diri tapi sebelum kulakukan, tubuhku yang sudah lemas pingsan duluan. Lalu semuanya gelap dan hanya ingatan tipis-tipis yang kutahu, ada seseorang masuk dengan panik dan aku lupa setelahnya apa.

"Kalau aja kamu enggak ada, mungkin kami akan kehilangan Anna, terima kasih banyak."

Entahlah, sudah banyak hal memalukan yang aku tunjukkan ke Andre, tapi yang satu ini membuat aku tidak berani melihatnya lagi. Pasti aku tampak sangat menyedihkan, tubuhku penuh luka, alasan dibaliknya pun menjijikkan.

Mendadak mataku panas, tak mau sisi lemahku ini diketahui, akupun menutup mata.

Ibu menyadari gelagatku, ia wanita yang peka, akhirnya ia tidak melanjutkan perkataannya dan malah membawa Mamanya Andre ke luar untuk berbincang.

Kini tersisa kami berdua di sini. Aku masih takut untuk melihat Andre, jadi aku putuskan untuk pura-pura tidur.

"Semoga lekas sembuh, Mbak." katanya, masih dalam posisi yang sama berada agak jauh dari tempatku. aku melihatnya dengan diam-diam agar tidak ketahuan pura-pura tidur.

"Allah enggak tidur, ia pasti punya alasan mengapa ujian ini diberikan pada Mbak. Saya bersyukur keadaan Mbak masih bisa diselamatkan."

Kini berjalan mendekati bankarku, memegang besi dipinggir. "Mbak kuat, setelah ini kita buat pelakunya mendapatkan hukuman yang setimpal."

****

Enggak sabar namatin ini cerita... Tapi tiap nulis bawaannya ide stuck mulu:((((

Jika sampai di bawah sini, jangan lupa pencet bintang dan tinggalkan komentar yaaa.

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang