27 | Pelanggan Spesial

10.3K 325 54
                                    

Malam ini aku bisa tidur tanpa perlu kecapaian karena untuk pertama kalinya Mas Herman tidak minta jatah. Aku sangat bersyukur, lega sekali tidak perlu membuat alasan untuk menolak suamiku. Hanya saja, mataku tidak bisa terpejam dari tadi.

Aku meraba kasur sebelahku yang kosong, dingin, sedari tadi pemiliknya belum datang. Mas Herman belum juga mau tidur, katanya sibuk mengerjakan tugas kantor, tapi seingatku ia tidak pernah selarut ini mengerjakan pekerjaan kantor.

Aku tidak bohong, sebab ia langsung menodongku untuk minta jatah setiap hari! Bahkan saat aku sedang halangan, ketika masa M katanya aku cukup melayaninya dengan tangan, atau kalau dia sange berat dia akan memaksaku untuk memuaskan dirinya dengan mulut.

Mengingatnya aku ingin muntah. Meskipun sudah beberapa kali tapi sumpah aku masih belum terbiasa. Aku tidak pernah suka, jijik, tidak nyaman, begitu menyiksa.

Namun, mengingat seorang istri tidak boleh menolak suaminya, aku pun pasrah. Aku masih takut Mas Herman marah lalu pergi seperti malam itu. Seperti apapun kondisiku, aku selalu mengiyakan setiap kali Mas Herman minta jatah. Pada beberapa kondisi aku sangat tidak nyaman dan tidak menikmati permainannya.

Bahkan pernah dua kali dalam sehari, itu terjadi kala akhir pekan atau jika Mas Herman liburan. Aku paling benci saat ia meminta kami ber'main' di sofa. Pegal! Biasanya tubuhku langsung linu di mana-mana.

Kata-kata Lisa tiba-tiba bergaung di telingaku. Apa yang pernah Mas Herman kasih sama aku selama menikah?

Aku tahu umur pernikahan kami masih seumur jagung. Tapi, bukannya pasangan suami istri yang baru menikah lah yang sedang dalam romantis-romantisnya?

Sebenarnya aku juga sering berharap Mas Herman mengajakku jalan-jalan, liburan, mungkin bisa kuminta sebagai honeymoon, ihik....

Aku juga sangat ingin menonton bioskop bareng dia layaknya orang pacaran, yah ... meskipun kami sering nonton bareng di rumah, tapi rasanya pasti beda.

Aku menyukai boneka, tapi semua hadiah yang diberikan Mas Herman padaku hanya pakaian kurang bahan bernama lingerie.

Mas Herman bergaji tinggi, ia pernah sekali bercerita tentang hal tersebut padaku. Namun, uang bulanan yang ia berikan padaku selalu pas-pasan. Jadi selama ini uangnya kemana?

Apa Mas Herman tidak pernah kepikiran untuk membahagiakan aku dengan memberikan sedikit uangnya untukku beli pakaian baru atau alat kecantikan?

Kenapa semakin dipikirkan, aku merasa bahwa selama ini aku hanya seperti pembantu rumah tangga dan pelayan nafsunya saja....

Astagfirullah, ya, Allah. Hamba tidak bermaksud untuk tidak bersyukur. Mendapatkan suami yang menerimaku apa adanya saja adalah hal yang luar biasa.

Ana jangan terpengaruh! Aku membentak diri yang tiba-tiba berpikiran negatif. Aku harus tetap positif, aku cinta mas Herman, aku rasa pria itu juga mencintaiku. Lalu apa yang kurang dari pernikahan kami?

Mungkin Lisa ada benarnya, tapi aku juga tidak boleh mencurigai Mas Herman sampai sejauh itu.  Aku istrinya jadi kewajibanku melayaninya di ranjang. Daripada dia cari jajanan dia luar, ya, kan?

Mengenai mengurus rumah, meskipun cukup besar, aku belum sampai kualahan membersihkannya.

"Dek ...."

Aku menoleh ke samping masih dalam posisi berbaring, "Mas Herman udah siap kerja?"

Kulirik sebentar jam digital untuk melihat pukul berapa sekarang, terjadi sudah tengah malam. Mas Herman berjalan dengan wajah kusut lalu duduk di pinggiran kasur.

"Mas kenapa?" Aku bangkit duduk, tidak enak berbicara dengannya sambil tiduran.

"Biasa capek kerja."

Pria itu lalu memelukku, dengan tubuh yang melekat seperti ini aku bisa merasakan dengan jelas napas berat suamiku ini.

"Ada masalah lagi di kantor?"

"Hmm ... biasa." Jawabnya seraya mengendus leherku. Mulai deh! Aku kira aku bebas hari ini.

Argh, punyaku masih sedikit nyeri. Tapi ... jika Mas Herman punya masalah kantor begini, ia tidak akan membiarkan aku menolak.

Mah Herman ahli urusan membuka baju, dalam sekejap aku aku sudah setengah telanjang kini ia tengah bermain dengan dadaku.

"Awh  ...." Ia mengigit payudara kananku gemas. Gemas, tapi bagiku sakit karena lebam dan luka semalam belum sembuh.

Ia mendorongku agar telentang, kemudian menarik celana tidurku turun, "Dek ..."

Tanganku sudah memegang seprei, hal ini kulakukan sebagai antisipasi kegiatan selanjutnya yang akan ia lakukan padaku.

Mas Herman sudah berada di tengah paha yang sengaja kubuka lebar. "Kamu kenal Lisa sejak kapan?"

Pertanyaan itu menyedot perhatianku, gerakan Mas Herman yang sedang bermain di bawah perutku juga tiba-tiba berhenti.

"Ana tadi udah ngasih tahu, kalau Lisa teman sejak SMA."

Dia tiba-tiba turun, membetulkan bajunya. Aku terheran-heran pun menarik selimut menutupi tubuh lalu bangkit duduk. "Kenapa, Mas?"

"Mas teringat ada yang ketinggalan di kantor," katanya lalu buru-buru pergi.

Aku semakin heran, dong. Ada apa dengan suamiku?

Aku dengan tenaga yang seadanya, segera memakai baju dengan cepat, seadanya saja, yang penting tertutup.

Saat menyusul Mas Herman ke bagasi, mobilnya telah melaju meninggalkan rumah.

Desiran perasaan tidak nyaman kembali menghantuiku. Ada apa yang sebenarnya terjadi?

Tidak pernah Mas Herman seperti ini sebelumnya, apalagi bila sudah menyentuhku. Telepon dari Bunda saja berani dia matikan, sesuatu apa yang tinggal di kantor sehingga dia buru-buru seperti itu?

Bahkan Mas Herman belum mengganti bajunya.

Menelan kebingungan itu bulat-bulat, aku kembali masuk ke dalam. Membisikkan kepada diri sendiri agar bersyukur, setidaknya karena kejadian ini aku tidak perlu menelan kepahitan jika jadi bersetubuh dengan suamiku tadi.

***

Rasa bersabar yang aku coba tanamkan dalam diri sudah habis, ketika jam tangan menunjukan pukul lima sore. Jam segini biasa Mas Herman pulang.

Tapi batang hidungnya belum juga muncul. Sesak memenuhi rongga dadaku. Sedih sekali, pesan dan teleponku pun tidak diangkat.

Sejak semalam dia tak kunjung pulang, menyisipkan rasa curiga yang semakin kuat di hatiku. Aku sudah lelah menangis sejak pagi. Pun sudah lelah memikirkan kesalahan apa yang aku perbuat sehingga lagi-lagi Mas Herman pergi seperti ini.

Aku duduk di kursi kayu depan rumah, terlalu capai mondar-mandir seharian.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Apakah biasa suami pergi tiba-tiba dalam kehidupan rumah tangga?

Jika perasaan tidak enak, berbuat apa-apa pun rasanya tidak bersemangat. Aku menyentuh ponselku dengan gelisah, nama Lisa tertera di kontak panggilan.

Apa hubungannya Lisa dengan Mas Herman?

"Halo, Na?"

Aku mengulum bibir tidak mampu menjawab, buat apa aku menelepon Lisa? Aduhh, bodoh banget sih aku ini.

"Hei, Lis. Kamu lagi sibuk?" ujarku berusaha tidak menunjukkan gugup.

Ada jeda panjang sebelum Lisa menjawab, tampaknya ia sedang berpikir. "Iya, Nih. Kerjaan gue lagi banyak."

"Maaf mengganggu, tadinya mau minta kamu datang, ada yang mau aku tanyakan."

"Lewat telepon enggak bisa, Ana? Gue enggak bisa dateng. Pelanggan spesial gue dateng, nih."

Jantungku rasanya berdebar kencang saat pelanggan spesial itu ia katakan. Napasku tercekat, tidak bisa berkata-kata. Aku tahu ini hanya pemikiran negatifku saja, tapinya firasatku sungguh tidak enak.

"Lis, kerjaan kamu sebenarnya apa?"

***

Grrrrh. Wkwkwk

Vote dan komentar untuk next chapter 👀❤️🔥

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang