25 |Mandi

10.2K 290 14
                                    

Lisa datang lagi keesokan harinya, katanya sih mampir sebentar karena tidak sengaja lewat, entah kenapa malah sampai sore ia menetap. Tepat pula  di hari aku harus belanja. Biasanya aku akan sendiri ke pasar kali ini ada yang menemani.

Senang sekali rasanya. Ia ceriwis seperti biasanya, banyak hal yang ia ceritakan. Aku menyadari Lisa berbeda dari Lisa teman sebangku aku dulu.

Memang ia tidak pernah menghindari ku seperti teman sekelasku yang lain. Hanya saja, dulu kami jarang berbincang, hanya membicarakan tentang tugas dan mata pelajaran aja.

Iya, dulu juga Lisa enggak sefrontal ini tutur bahasanya. Ia sopan meski bergaul dengan banyak teman laki-laki yang terkenal nakal.

Ia membantuku membawa belanjaan, membantu memasak bahkan membersihkan rumah. Senang rasanya ada yang mau diajak bekerja bersama. Selama ini, aku sendiri yang melakukan nya, kadang-kadang emang di bantu Mas Herman, cuma pekerjaan nya banyak menyita suamiku itu, aku pun tak tega menambah bebannya lagi.

Saat semua pekerjaan selesai kami menonton film di salah satu Chanel TV swasta. Tayangan drama ringan yang membuat kami tertawa sepanjang cerita. Saat jeda iklan, aku membuka perbincangan.

"Jadi kamu punya teman yang tinggal di sini?" Aku bertanya ulang, sebelumnya emang sudah ia bahas tadi waktu memasak.

Katanya ia punya teman yang tinggal di daerah sini, makanya ia sering kemari.

"Iyes. Teman cowok, seperti biasa."

Aku memicingkan mata menyelidik, "teman apa teman?"

Ia bersemu, aku mengerti bahwa yang ia ceritakan ini bukan sekadar teman biasa. Dia menarik bantal sofa menutupi wajahnya yang sudah merah padam.

"Gebetan, Na," ucapnya malu-malu.

Aku menarik bantal itu supaya bisa menggodanya lagi, "Ciyee pantas aja, semoga sukses hubungan kalian."

"Ahhh, Anna, ih."

Lalu kami tertawa bersama, pembicaraan kami berlangsung seru. Lisa menceritakan bagaimana sosok gebetannya, dan bagaimana Lisa sangat menyukai pria itu.

Aku mendengar nya jadi teringat diri sendiri setiap kali membahas Mas Herman.

Sebelum pulang sore itu, kami akhirnya saling bertukar kontak. Lisa bilang kalau ia mampir lain kali, ia akan mengontakku terlebih dahulu biar setiap kali datang enggak aku tanya macam-macam.

Maklum, aku emang suka tanya-tanya.

Satu jam setelah Lisa pulang Mas Herman datang.

Saat keluar dari mobil kulihat wajahnya kusut, buru-buru aku menanyakan apa yang terjadi.

"Enggak apa-apa, Dek. Cuma ada sedikit masalah di kantor."

Aku bantu membawakan tas kerjanya, juga saat di kamar membantu membukakan kancing kerah kemeja nya.

"Pasti masalahnya cukup besar, ya, Mas? Semoga aja cepat kelar," kataku seusai melepaskan kancing dari lubangnya.

"Kalau gitu, Anna siapkan air hangat untuk mandi, Mas Herman ya. Pasti badan Mas capek banget."

Dia mengulas senyum di wajah lelahnya, "Makasih, Dek."

Aku mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Mengisi bathtub dengan air hangat dan menghidupkan lilin aromaterapi. Aku sendiri sebenarnya jarang berendam, tapi menurut film-film yang sering kutonton begini bisa merelaksasi pikiran dan tubuh.

Aku harap setelah Mas Herman mandi, penatnya bisa ikutan luruh bersama ia membersihkan tubuhnya.  Setelah semuanya selesai, aku memanggil Mas Herman untuk segera mandi.

Seraya menunggu suamiku selesai, aku menyiapkan handuk, juga pakaian gantinya. Mas Herman jarang suka memakai baju tidur; seperti piyama. Ia lebih suka pakai kaos oblong yang kebesaran dan celana pendek atau bokser.

Padahal, sejak dulu aku suka sekali pada baju tidur, bahannya yang nyaman dipakai, karena kebanyakan longgar jadinya tubuh tidak sesak, motifnya lucu-lucu, murah lagi. Yang terakhir itu sebenarnya gak terlalu benar, sekarang bahkan banyak baju tidur mahal-mahal, meskipun baju itu hanya dipakai semalam saja untuk tidur.

Kata Mas Herman ketika kutanya mengapa tak suka baju tidur, katanya kayak anak-anak, kalau pakai piyama, katanya terlalu terlalu longgar dan terbuka. Ia lebih nyaman dengan kausnya. Sejak saat itu, aku tidak lagi meminta Mas Herman memakai baju tidur atau piyama, kenyamanan nomor satu. Biarlah baju tidur yang pernah kubeli kembaran dengannya tidak pernah terpakai, asal Mas Herman bahagia.

Aku mengetuk pintu kamar mandi beberapa kali, sudah cukup lama sejak Mas Herman masuk ke dalam sana. Aku rasa sudah saatnya memberi handuk.

"Masuk aja, dek."

Aku tertegun di tempat. Masuk saja? Bagaimana ini? Dia kan lagi mandi, masa aku masuk?

Sumpah, meskipun sudah sering melihatnya tanpa busana, namun dihadapkan dalam kondisi seperti ini, aku tetap saja kelabakan.

"Dek ...."

"Iya-iya, Mas." Aku akhirnya masuk, pada akhirnya. Kepala tidak menemukan alasan yang tepat untuk menolaknya.

Dengan memalingkan wajah, tidak berani menatap Mas Herman. Aku dengan cepat menaruh handuk itu di sebuah besi tempat menyangkutkan pakaian.

Aku pikir setelah itu aku bisa keluar dan bebas. Sayang sebuah tangan menahan diriku yang sudah hendak keluar.

"Temani Mas Mandi, Dek."

Dan, seperti hari-hari yang kulalui jadi istri Mas Herman, tiada hari tanpa absen dirinya minta jatah. Aku sungguh ingin menolak sekali saja, tetapi bayangan malam di mana aku menolaknya hari itu masih membuat aku takut.

Aku takut dia marah dan pergi lagi. Umur pernikahan kami masih sangat muda, kalau aku langsung buat masalah kan, berabe. Lagipula hal yang menyebalkan dari Mas Herman hanya libidonya saja.

Sabar Ana ... ingat ini kewajiban kamu.

***

Herman ini kadang baik kadang ngeselin, labil emang. Cuma mesumnya aja yang konsisten 🤣🤣😭

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang