34 | Sebuah kesabaran

6.5K 302 29
                                    

Penyesalan selalu datang belakangan, kalau di datangnya di awal namanya pendaftaran. Doaku tidak jua dikabulkan, meski sudah berusaha di setiap sholat kuselipkan dalam isak tangis yang tertahan. Mungkin karena aku hamba yang kotor atau mungkin suatu saat nanti akan ada akhir yang indah.

Sudah sebulan sejak insiden kacau balau itu. Mas Herman masih bungkam, meski aku sering menanyainya, terakhir kali, ia marah. Kini aku tidak berani bertanya.

Awal mengenal keluarganya, aku sangat-sangat iri. Bagaimana bisa mereka seharmonis itu, sempurna sekali. Namun, kini, masalah-masalah yang mereka tutupi dengan sempurna pada orang lain, kuketahui.  Benar kata pepatah yang mengatakan sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga bau busuknya.

Ah, aku masih menerimanya dengan lapang dada. Bagaimanapun, seharusnya aku sadar setiap manusia punya sisi buruknya.

Kesabaran adalah satu-satunya cara agar aku bisa bertahan hari demi hari. Agar rumah tanggaku tetap utuh. Aku tidak bisa menyerah secepat ini, aku perempuan kuat. Lagi pula, aku tidak mau mengecewakan orang tuaku bila pernikahan ini runtuh belum juga setahun. Pasti mereka sangat sedih sekali.

Mas Herman, pria itu masih kucintai hingga detik ini, meski aku sudah dengan jelas mengetahui ternyata ia hanya menganggap diriku pemuas nafsunya semata.

Kalian boleh menyebutku bodoh atau tolol. Tetap bertahan walaupun tahu ia brengsek, tapi kini berkat fakta tersebut aku jadi punya tujuan.

Aku ingin menyadarkan Mas Herman, bahwa pernikahan itu bukan hanya legalitas untuk berhubungan badan semata, tetapi lebih dari itu. Menikah berarti, sudah mengikat jiwa kedua insan.

Walaupun diperbolehkan, perceraian tetaplah pilihan yang tidak baik, sebisa mungkin diambil bisa sudah benar-benar putus asa.

"Hari ini kau memuaskan, ah... Istriku ini sudah banyak belajar ternyata."

Ia menjauhkan dirinya dariku yang telah berantakan ulahnya. Rambutku acak-acakan, wajahku penuh keringat.

Karena datang bulan, aku terpaksa memuaskan dia dengan mulutku. Benar katanya, aku memang sudah banyak belajar, tidak lagi muntah saat harus melakukan hal tersebut.

Pertama kali melakukannya, aku jijik luar biasa, namun kini aku terbiasa. Lebih baik menahan jijik daripada menahan sedih karena Mas Herman marah-marah. Bisa-bisa suamiku gak pulang lagi.

Aku memang tidak percaya pada perkataan Bunda ataupun Mbak Lina. Tapi antisipasi Mas Herman jajan di luar itu perlu juga.

Mas Herman memakai kembali celana bokser nya lalu tidur. Aku menarik nafas panjang, lagi-lagi ia memperlakukan hanya sebatas pemuas birahi.

Jangan sedih Ana, ayo semangat, suatu hari nanti kamu pasti bisa buat suamimu sadar, dan ia akan mencintaimu sebagai istrinya, perempuan yang ia cintai.

Aku bangkit berdiri, berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku tidak kuat bila melanjutkan tidur dengan keadaan lengket dan bau amis.

"Besok pagi bangun lebih awal, aku mau sarapan sebelum berangkat," kata Mas Herman sewaktu aku sudah selesai bersih-bersih.

"Baik, Mas."

"Sudah siap cuci muka?"

Aku mengangguk, "Sini cepat."

Perkataan itu membuat aku mengernyit heran, apalagi ia menepuk-nepuk kasur di depannya seolah nyuruh untuk aku tidur di sana.

Tubuh ini pun patuh lalu berbaring di sisinya.

Ia memelukku, aku terkesiap menatap penuh tanya, ada apa?

"Kamu kok terkejut? Salah suami kamu ini meluk istrinya?"

"Ah, enggak, Mas."

Kini setiap kali Herman bersikap baik, aku jadi merasa aneh. Takut beberapa saat kemudian di hempas kuat, takut ia akan menyakiti lagi.

Malam ini dengan sisa pikiran positif yang masih kupunya, aku tidur dengan pelukan hangat yang memenangkan hati.

***

Hal  tidak enak itu terbukti nyata, aku lemas bukan main menemukan kondom di saku celana Mas Herman pagi ini. Selama ini, setiap kami melakukan hubungan badan, ia tidak pernah memakai alat kontrasepsi tersebut.

Sekuat apapun aku menahannya, aku lagi-lagi lemah lalu menangis. Benar-benar setiap harinya mentalku diuji.

Bersamaan dengan itu ponselku berdering, Ibuku menelepon. Ternyata Ayah kecelakaan dan kini di rawat di rumah sakit. Aku buru-buru pergi ke sana, benar-benar tidak sempat dibuat istirahat.

Sesampainya di rumah sakit, Ibu langsung memelukku dan menangis kencang, hal tersebut membuat aku menahan nafas dan bertanya-tanya, bagaimana keadaan Ayah sebenarnya?

"Bu, Ayah baik-baik saja, kan?"

"Enggak, Nak. Ibu enggak mau bohong, keadaan Ayahmu tidak baik-baik saja ..." jawabnya masih dengan berurai air mata.

"Ayah harus segera dioperasi penanaman venn karena kakinya patah, Ibu nggak mau jika nanti kaki ayahmu harus diamputasi."

"Ya, udah, Bu. Segera operasi"

"Tapi Ibu ngga punya biaya, Nak."

Peristiwa ini membuat aku harus melapangkan dada lebih lebar lagi. Dari sana aku harus kembali menelan pahitnya kenyataan. Aku harus melupakan kemarahan diriku karena menemukan kondom di saku celana Mas Herman, karena aku butuh bantuannya untuk membiayai pengobatan Ayah.

Untungnya pria itu cepat mengirimkan uang, begitu kukatakan ayah kecelakaan. Aku bersyukur untuk kebaikan yang masih ada di hati Mas Herman.

Ana, sekarang jangan permasalahkan mengenai kondom itu dulu. Sampai ayahmu sembuh kamu harus pura-pura tidak tahu. Kesehatan ayah lebih penting.

Kalimat itu aku ucapkan seharian ini, bagai mantra untuk menenangkan diri.

"Bagaimana Ayah kamu?" tanya Herman, saat kami makan malam bersama.

"Berkat Mas yang cepat membantu ngirim uang, Ayah cepat ditangani. Tinggal penyembuhan aja."

"Oh, baguslah. Kamu enggak mau jagain ayahmu?"

Aku mendongak, menatap bingung akan pernyataan itu, "udah ada Ibu, Mas."

"Soalnya setelah ini, Mas mau pergi lagi. Ada urusan kantor. Daripada kamu kesepian di rumah sendiri."

Aku tertegun, bukan karena rasa peduli atau perhatian Mas Herman. Namun, karena kini aku tahu ke mana ia akan pergi. Pasti ke tempat 'jajan'-nya.

Hatiku bergemuruh, ingin marah. Tapi lagi-lagi harus sabar sebab prioritas ku adalah Ayah. Sabar, setelah ini, aku akan minta penjelasannya.

****

Halo!

Aku update lagi, semoga part ini bisa sedikit mengobati kalian yang udah nunggu kelanjutannya.

Maaf dan terima kasih telah menunggu lama untuk cerita ini.

Salam rindu

Cangtip1

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang