21|Percobaan Pertama

11.2K 295 6
                                    

Adik-adik belum cukup umur harap skip bab ini, yaaa! 🔥🚫🔞

...

Aku menanti dengan gugup kedatangan suamiku, Mas Herman. Nasihat dan ucapan Lisa terngiang-ngiang di kepalaku. Aneh sekali. Bagaimana seorang gadis yang belum menikah mengetahui cara-cara sepasang suami istri berhubungan?

Lebih aneh lagi, perkataannya sungguh ada benarnya dan patut dicoba. Tapi apakah aku berani melakukannya?

Kuremas baju tidurku untuk menyalurkan rasa cemas.

Suara deru mobil dan sinar lampu mobil terlihat dari balik jendela membuat aku refleks bangkit berdiri. Berjalan dengan pelan mendekati pintu. Untuk pertama kalinya membuka pintu untuk Mas Herman adalah kegiatan yang sangat berat kulakukan.

Saat pintu kubuka, Mas Herman sudah berdiri di depanku, dengan sebuket bunga mawar merah yang sangat indah. Terkejut bukan main, apalagi disertai senyum lebarnya.

"Maafkan aku, Anna. Sikapku semalam sungguh kulakukan dengan khilaf. Aku ..."

"Mas Herman...." Aku langsung menghambur memeluknya erat, tiba-tiba saja aku menangis. Begitu terharu akan tindakannya, dan juga kata maafnya.

Rasanya begitu lega sekali. Kupikir Mas Herman masih marah, beragam telah aku persiapkan untuk minta maaf, tapi yang kudapatkan sekarang jauh dari ekspektasi.

Aku benar-benar menyayangi pria ini.

Perlahan aku mengurai pelukan dan memandang wajah Herman dengan tatapan mata yang masih kabur karena menangis tadi.

"Seharusnya Anna yang minta maaf, Mas. Anna sudah menolak, Mas. Padahal seorang istri tidak punya hak untuk menolak ajakan suaminya. Anna sudah berdosa." Kukatakan itu dengan sejujurnya, kulepaskan seluruh rasa sesal di dada agar tidak mengganjal lebih lama lagi.

Dia tampak tidak berniat untuk menghilangkan senyum dai wajahnya. "Tidak, Anna. Mas yang salah, seharusnya mengerti kondisi dirimu."

Dia membelai wajahku dan mengecup singkat keningku. "Sekarang ayo kita masuk, atau kamu mau memamerkan kemesraan kita pada orang-orang?"

Astaga, aku baru sadar masih berdiri di depan pintu. Orang-orang masih banyak berlalu lalang di jalan depan rumah. Bersemu wajahku menahan malu.

Belum aku sempat menanggapi, Mas Herman sudah lebih dulu menarik tanganku lembut dan membawanya ke dapur.

"Aku penasaran hari ini istriku masak apa, ya?" katanya dengan nada jenaka dan amat menggemaskan di telingaku.

Aku membuka tudung saji dengan semangat semangkuk sup ayam spesial, andalan Ibu di rumah. Aku menyiapkan mangkuk saji lalu menuangkan kuah sup beserta isinya untuk Mas Herman.

"Cobain, deh. Kamu pasti suka, Ibu dulu sering buatin kami ini. Dan rasanya enak sekali, kuharap Mas juga suka."

Ia mengangguk lantas segera mencicipi masakanku dengan bersemangat. Wajahnya tampak berseri-seri saat kuah itu ia cecap dengan lidahnya.

"Enak sekali."

Aku bertepuk tangan senang, lantas kami makan dengan lahap kala itu.

***

Sejatinya tidak ada masalah lagi antara aku dan Mas Herman. Tapi ucapan Lisa masih menghantuiku sampai sekarang. Rasanya tidak bisa kuenyahkan sampai detik ini.

Menemani Mas Herman yang lagi-lagi sibuk dengan tugas kantornya, membuat dadaku berdebar-debar. Apalagi beberapa kali tangan Mas Herman mengelus jemariku. Tindakan kecil itu sangat sensual bagiku. Ditambah kadang ia juga mengecup pipiku.

Ada getaran aneh yang begitu menggelitik, begitu ingin dituntaskan, begitu menuntut. Tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Setiap sentuhan Mas Herman, seperti sengatan listrik yang ingin terus menerus kurasakan. Tapi begitu aneh jika aku memintanya, sedangkan saat ini aku sedang dalam kondisi datang bulan.

"Apa yang sedang kamu pikirkan Anna?"

Pertanyaan itu membuatku harus memandang Herman.

Duh, melihat wajahnya sudah mampu meningkatkan gairahku. Suamiku ini emang sangat menggoda iman dan batin.

Mas, adek lemah kalau dekat-dekat Mas nih. Goyah sudah tekat untuk menghapus ide Lisa. Aku malah mencium bibir Mas Herman, membuat ia terkejut tapi tidak bereaksi apa-apa.

Karena itulah aku jadi malu sendiri. Kedapatan jadi istri agresif. Malu setengah mati, apalagi ia kini menatap ku dengan tatapan bingung.

Saking malunya, aku menutup wajah.

"Maaf .... Mas," ucapku pelan, takut-takut.

Debar di dadaku semakin menjadi, membuatku jadi keringat dingin sendiri. Aku ingin lari dari kamar, dan pergi saja dari rumah, tak sanggup menampakkan diri pada Mas Herman.

"Kenapa harus malu?"

Mas Herman membuka tangan yang aku gunakan untuk menutup wajahku. Panas masih menjalari wajah merahku. Tapi yang kudapatkan justru tatap mata intens Herman.

"Kalau kamu mau ciuman tinggal bilang, aku tidak keberatan."

"Maaf mengganggu Mas Herman bekerja, maaf juga kalau tiba-tiba, maaf kalau agresif."

"Hahaha ... Annaaa. Kamu sangat polos sekali, kapan pun aku akan melayani istriku ini juga ingin melakukannya," ucap Mas Herman mencoba membuat aku tidak malu lagi. Tetapi justru rasa bersalah itu kembali hadir. Saat aku malah menolak Mas Herman semalam, padahal ia selalu menerima kapanpun diriku.

"Yaudah yuk cium lagi suamimu ini," katanya tidak ada rasa malu sedikitpun. Aku yang jadi malu. Dia sangat frontal sekali mengatakannya. 
Aku kan jadi gugup.

Tidak sabar menunggu aku memulai, dia ambil langkah duluan untuk mendekatkan wajah kami lalu menciumku.

Awalnya hanya kecupan manis yang lembut, lalu berubah menjadi ingin lebih dalam dan lebih. Emang kapan kami tidak kebablasan kalau sudah ciuman.

Tangannya Mas Herman bergerak membuka kancing bajuku 

***

Sabar, tungguin kelanjutannya di next chapter! Jangan lupa untuk meninggalkan jejak!

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang