Tubuhku sudah mendingan, beberapa rasa sakit sudah hilang. Semua berkat kerja keras Ibu yang terus-terusan menyemangati aku. Sudah dua Minggu sejak kejadian, aku perlahan mencoba bangkit. Kata ayah, persidangan Mas Herman akan dilangsungkan besok.
Aku sebagai korban akan turut hadir. Sebenarnya, seharusnya jadwal persidangan itu dua hari yang lalu, tetapi batal karena kondisi tubuhku belum pulih, mentalku juga belum baik.
Jujur sekarang aku takut menatap orang-orang, aku selalu menunduk bila bertemu dengan orang lain. Rasanya begitu malu, apalagi orang itu tahu apa yang terjadi padaku, aku tidak suka ditatap menyedihkan.
Sebenarnya juga, aku tidak mau mengikuti persidangan ini. Mengikuti persidangan berarti akan bertemu dengan Mas Herman, aku belum siap. Tubuhku selalu merinding membayangkan akan bersitatap dengan Mas Herman lagi.
Bayangan malam itu akan muncul kembali, tubuhku seketika berkeringat dan rasanya gelap, sesak, ketakutan.
Aku trauma. Meskipun sudah berkonsultasi dengan psikologi, melakukan beberapa terapi, psikis ku belum kuat.
Namun, saat Ayah menanyakan kembali apakah aku siap ikut persidangan, aku jawab siap. Kuingat Ibu mengatakan telah menyewa seorang pengacara yang membantu kami mendapatkan keadilan, pasti mereka menginginkan aku kuat melawan Herman.
Maka aku kuatkan diri, melawan rasa takut itu, orangtuaku sudah melakukan banyak untukku, aku tidak mau membebani mereka lebih dari ini.
"Kamu tidak perlu takut, kamu sudah memegang tujuh puluh persen kemenangan, bukti yang kita punya kuat. Kita bahkan bisa tuntut dia pakai hukuman yang paling berat," ujar pria bergaya klimis dengan kacamata petak menghiasi wajahnya.
Dia Pak Mansur, pengacaraku, hari ini datang untuk melakukan diskusi dan mewawancaraiku. Ia sudah sepuluh kali mengatakan kalimat tadi sejak kedatangannya.
Mungkin ekspresi ragu-ragu di wajahku terlalu mengusiknya, ia terus mencoba meyakinkan aku.
"Bahkan jika kita hanya punya bukti visum saja, kita sudah bisa menang! Jadi Mbak jangan takut, kita sekarang bahkan punya bukti CCTV dan saksi mata. Mbak hanya perlu datang ke sana, menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, menjawab apapun yang ditanyakan hakim."
Ibu yang sedari tadi menemaniku, ia berdiri di sampingku, memeluk pindaku, menguatkan aku di setiap detiknya.
"Kita udah pasti menang, Nak."
Aku mengangguk, sebagai jawaban untuk mereka bahwasanya aku sekarang juga siap menghadapinya.
"Bagus. Besok saya akan ke sini terlebih dahulu, kita pergi bersama ke pengadilan. Kita akan lalui ini bersama."
Itu kata-kata terakhir Pak Mansur sebelum pergi.
"Semangat, Nak. Kita pasti mendapatkan keadilan! Kamu jangan takut, ada ibu ayah, adik-adik kamu, yang selalu berada di sampingmu untuk mendukung kamu."
Aku lagi-lagi hanya menjawab dengan anggukan. Aku kuat aku bisa, aku bisikkan itu untuk diriku.
Ibu izin keluar karena ada telepon, aku kembali merebahkan diri di tempat tidurku, pinggangku terlalu pegal duduk selama berbincang dengan pengacara tadi.
Namun, aku kembali bangkit dengan cepat saat seseorang masuk ke kamarku dan menutup pintu.
Jantungku berdebar kencang, kenapa dia datang?
"Mbak mau bicara sama kamu."
Mbak Lina.
Ya, Tuhan. Aku tidak siap, apakah aku harus teriak untuk memanggil Ibu? Atau suster atau siapa saja yang bisa membantuku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomanceAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...