6 | Sifat asli mertua

27.7K 618 10
                                    

Karena Mbak Lina dan Mas Fauzan tinggal luar kota, dan Mas Fauzan cuma cuti empat hari, akhirnya sore tadi mereka pulang. Bunda dan aku sibuk di dapur memasak makanan, Kata Bunda Putri, kami harus mempersiapkan bekal untuk mereka.

Soalnya perjalanan mereka bakal panjang, terus setelah sampai di rumah sudah cukup larut malam, beli makanan gak mungkin, masak sudah terlalu capek, makanya Bunda sibuk sekali hari ini. Aku pun keteteran, antara saking banyaknya pekerjaan dan bingung mau melakukan apa.

Mbak Lina enggak ikut membantu karena sibuk mengurus barang-barang dan kedua anaknya yang masih bocah sedang rewel. Bapak mertua, Mas Fauzan dan Mas Herman di ruang keluarga, sedang berbincang-bincang tentang banyak hal.

"Haduh! Ini sayurnya kok asin banget!" komentar Bunda syok ketika mencicipi sayur lodeh buatan ku.
"Astagaaa, Ana. Kamu di rumah nggak pernah masak, ya? Bukannya membantu malah buat repot!"

Aku tertegun mendengar ucapan Bunda, wanita paruh baya yang bertampang lemah lembut itu ternyata punya mulut yang pedas. Hatikj terasa tersayat mendengar perkataan tersebut.

"Maaf, Bunda."

"Maaf kamu gak akan buat keadaan lebih baik, sekarang cepat bantu apa kek, biar pekerjaan ini bisa selesai."

Aku mengangguk dan beralih ke daging ayam yang masih utuh. Kata Bunda; ayam ini akan dimasak gulai. Aku merasa enggak mungkinlah dimasak tanpa dipotong, jadi aku segera mengambil pisau dan talenan.

Memotong ayam utuh tersebut menjadi beberapa bagian. Di rumah, aku sering lihat ibu motong ayam, jadi kali ini kupastikan Aku tidak akan melakukan kesalahan lagi. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk memotong, setelah aku beralih untuk mempersiapkan bumbu.

Gulai, ah, aku ingat apa saja bahan yang dipakai. Bawang merah bawang putih, cabe merah keriting, merica, garam .... Hmm, Bunda gak akan marah lagi aku pastikan itu.

Yah, setidaknya begitulah pemikiran aku saat itu. Namun, selesai menumis bumbu waktu mau memasukkan ayamnya, bunda kembali berteriak syok.

"Kenapa gede-gede banget ini?" Katanya.

Aku mengerjapkan mata berulang-ulang, salah lagi. Ya ampun. Pada ibu sering memotong seperti itu, katanya biar sekali ambil puas. Gitu.
Tapi ternyata salahku menyamakannya dengan di rumah mertua.

"Sek, kalau sebesar ini, ya, nggak bakal cukup! Emang kamu mau enggak kedapatan? Bener-bener, dah, perempuan satu ini." Ia memotong lagi daging tadi menjadi lebih kecil dan sekarang terbagi banyak.

Aku mengelus dada menyabarkan diri. Ana kamu harus kuat, masa baru dua hari jadi mantu orang udah nyerah?

"Bengong aja kamu, lihat bumbunya udah gosong, bukannya dipelani apinya. Memang buat susah aja kamu, ya!" Ia mendorongku yang hendak memelankan api, aku panik sendiri melihat pinggiran bumbu yang kutumis menghitam.

Salah lagi.

"Sana kamu bantu Mbakmu beberes, nggak ada gunanya kamu di sini."

Jleb

Wanita ini kembali melukai hatiku. Entah kenapa ia tidak pernah berpikir dulu kalau bicara. Ibu yang melahirkan aku aja gak pernah bilang begitu, bahkan bila itu kesalahan yang terbesar.

Menahan dada yang sesak, dan mencoba untuk tidak menangis aku berjalan cepat keluar dari dapur.

Mbak Lina ada di kamar tamu, terletak di samping ruang keluarga. Sebentar lagi sampai tapi pergerakan aku ditahan oleh seseorang yang tiba-tiba mengamit lengan kiriku.

"Ana ...."

Aku menoleh mendapati Mas Herman tengah menatapku bingung. "Ya, Mas?" tanyaku.

"Kamu baik-baik aja, dek?"

Aku mengangguk, meskipun sebenarnya bagian tubuhku yang lain masih sakit, di antaranya karena ulah Mas Herman sendiri. Mengingat malam itu, pipiku bersemu merah.
Saat itulah tiba-tiba Mas Herman menyentuh wajahku yang sedang panas.

"Beneran baik-baik aja?"

"Iya, Mas. Ana baik-baik aja, kok."

"Syukurlah kalau begitu. Mas hanya khawatir, soalnya tadi mas perhatikan wajah cantik istri Mas ini, kelihatan muram."

Aduh .... hatiku mesem-mesem sendiri digombalin Suami. Pria ini bisa aja, kalau Bundanya punya mulut pedas, anaknya punya bibir manis. Walah-walah, ndak apa-apa lah punya mertua kejam kayak Bunda Putri, toh, kami beberapa Minggu lagi bakalan pindah.

Aku akan tahan-tahan diri selama itu.

"Yowes, Mas. Ana mau ke kamar Mbak Lina, mau bantu-bantu."

"Ya, udah, sana," katanya lalu mengacak-acak rambutku gemas. Tak kutangkis walaupun menyebabkan rambutku jadi ruwet, soalnya ini terasa menyenangkan.

****

Weleh, manisnya pasutri ini.

Wkwkwk.

Jangan lupa tekan love sama komentar!

Spoiler: bab berikutnya ada adegan luar biasa, lhooo. UPS hehehe

Salam sayang dari author Cangtip1

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang