20 | Masih Ngambek

9.2K 300 10
                                    

Keesokan harinya, suasana hatiku benar-benar kacau. Aku tidak menemukan Mas Herman di rumah. Dia belum pulang. Hatiku makin sedih.

Apa iya, karena aku menolaknya semalam membuat ia marah?

Kalau begini, berbuat apa-apa pun rasanya tidak enak dan tidak bersemangat. Aku melirik ponselku, sudah tiga kali kutelepon, tetapi tak satupun yang ia angkat.

Hatiku sakit.

Padahal baru sekali ini aku menolaknya. Sejak menikah tak pernah aku mengecewakan Mas Herman. Aku punya alasannya. Lagi pula mana mungkin kami melakukannya dalam diriku seperti ini.

Aku butuh pencerahan. Pada siapa aku harus bercerita dan meminta saran?

Ibu? Atau Bunda?

Namun, aku ragu. Baru dua Minggu kami menjalani rumah tangga mandiri, masa aku langsung mengadu pada mereka jika seperti ini?

Bisa aku dicap sebagai istri atau menantu manja. Tidak. Image-ku sudah terlalu buruk di mata Bunda. Dan, aku tidak mau membuat Ibu kepikiran.

Mencoba berusaha sekali lagi, aku menelepon nomor Mas Herman. Kalo ini ada kemajuan, nada sambung terdengar. Aku berdoa agar sambungan kali ini ia angkat.

Namun, nada sambung itu berakhir dengan suara operator.

Mas Herman. Semarah itukah dirimu karena kutolak?

Aku tidak lupa pada rahasianya, yang mengatakan ia punya libido yang tinggi. Pasti sangat menyakitkan baginya untuk menahan padahal sedang pengen.

Dan, karena hal itulah aku sangat pusing sekarang.

Ting!

Suara pesan masuk membuat atensiku kembali beralih pada ponsel. Sebuah pesan singkat dari Mas Herman. Aku senang bukan main, apalagi isinya yang begitu melegakan.

Mas Herman ♡

Tidak perlu menelpon lagi, aku sedang di kantor sekarang. Aku lagi rapat. 
Nanti malam aku pulang.

Walaupun terkesan cuek. Tapi, aku tahu dia tak lagi marah padaku. Aku beralih ke dapur, memikirkan masakan apa yang enak untuk makan malam nanti. Dan, yang pasti tidak ada udang!

Aku harus bisa menebus kesalahanku pada Mas Herman.

Saat melintasi pintu, kulihat tong sampah sudah penuh. Seminggu ini memang tidak pernah aku buang, soalnya sampah kami memang cuma sedikit.

Aku pun membawa plastik hitam berisi sampan tersebut ke depan, ke tong sampah.

Sebuah motor berhenti di samping. Aku menoleh dan mendapati seorang gadis yang kepalanya masih terlindungi helm.

"Lisa?"

"Hai Annaaaa," sapa perempuan itu riang.

"Lo ngapain di sini?"

"Lah, lo ngapain juga di sini?"

"Ini rumah gue, Lis."

Lisa terbelalak. "Wah, serius?!"

Aku hanya bisa tersenyum lebar, tidak mau berlagak sombong. Tapi wajar sih Lisa seterkejut ini. Rumahku dulu sangat sederhana. Sedangkan sekarang, sangat cantik. Apalagi desainnya Mas Herman sendiri.

"Gue boleh dong bertamu."

Aku terkekeh, pertanyaan macam apa itu, ya, pasti bolehlah. Lagi pun aku baru saja mau menawari Lisa masuk.

***

"Wah Gila, Ana. Sekarang lo jadi orang kaya. Suamimu kerja apa?"

Aku yang baru saja selesai membuatkan minuman, hanya mampu menjawab dengan malu-malu. "Dia arsitek, Lis. Gue bersyukur banget bisa dapetin dia."

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang