Selepas pulang dari rumah Bunda, keesokan paginya saat sarapan. Segera kuberitahu pada Mas Herman, seperti respon diriku terhadap Mbak Lina. Herman pun demikian.
"Kita, kan, enggak nunda atau mencegah. Cuma kalau belum dikasih ya mau gimana lagi?"
Lalu teringat satu hal, aku segera menyeletuk kembali, "Kata Mbak Lina, kita bisa ikut program hamil."
Dia mengehentikan suapan terakhirnya, lalu memandangku sedikit terusik. "Ini keinginan kamu apa Mbak Lina?"
Aku menggeleng, "Sebenarnya Anna juga gak mau terburu-buru, hanya saja ...."
"Yang menjalani rumah tangga kita bukan Mbak Lina atau orang lain."
Dia segera menyelesaikan makanannya. Memang tak banyak waktu yang kami punya untuk berbincang bila pagi, kalau berlama-lama bisa terlambat suamiku ini kerja.Akhirnya aku tidak meneruskan pembicaraan kami, di depan pintu. Seperti hari-hari sebelumnya, ia mengecup keningku sebelum berangkat.
Pria ini sangat manis. Meski beda usia yang terpaut cukup jauh, tapi ia tidak pernah merendahkan aku. Mas Herman selalu membuat kami sejajar, dan aku tidak pernah melupakan harus menghormatinya selayaknya kepala keluarga.
Mas Herman juga bukan orang kolot, kendati aku tahu umurnya sudah cukup tua. Ia berpikiran terbuka. Bukan hanya kali ini ia membelaku, pun ketika Bunda dulu marah pasal kemampuan memasakku yang biasa saja, Mas Herman tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Pekerjaan rumah juga kadang kala ia bantu, seperti membersihkan kamar, menyapu rumah, kadang bila sangat rajin ia mau mencuci piring. Ya Allah, betapa beruntungnya aku memilikinya.
Hari ini pun ia tetap berada di pihakku, padahal seperti kata Mbak Lina, bila aku lama dapat momongan yang bakalan kena dampak paling besar ya Mas Herman.
"Kamu jangan terlalu memikirkan perkataan Mbak Lina, Dek. Tapi kalau ini kamu yang mau, Mas setuju-setuju saja kalau mau ikut program hamil."
Duh, gimana enggak makin sayang sama pria ini. Sikap dan tindakannya selalu buat jatuh hati.
Aku tersenyum sambil mengangguk, "Anna pengen cepat hamil, Mas."
Enggak apa-apa berbohong kecil, toh ini demi kebaikan suamiku.
Lagi pula, hal apa lagi yang dinanti-nanti seorang istri, kalau bukan untuk memberikan seorang anak untuk suaminya.
Atas restu Allah, aku tidak apa-apa.
°°°
Aku membawa dengan hati-hati dua gelas jus jeruk di atas nampan. Satu banyak es batunya khusus untuk perempuan yang tiba-tiba datang beberapa menit yang lalu, Lisa."Makasih loh, Anna, gue sebenernya rada sungkan. Tapi siang-siang panas begini, enaknya minum yang seger-seger," kata Lisa melihatku datang.
Udah sebulan sejak pertemuan terakhir kami, dan baru hari ini kami bertemu lagi. Di pasar pun aku tidak melihat Lisa, padahal sering kucari-cari batang hidungnya.
"Diminum, Lis. Kayaknya udah haus banget kamu."
Ia nyengir mendengar penuturanku, lalu tidak menunggu waktu lama segera menyeruput minumannya.
"Aaahh, seger banget. Makasih banyak bebs," katanya lalu meletakkan kembali gelas yang sudah kosong ke meja.
"Oh, Na. Gimana masalah yang hari itu?"
Aku tersenyum malu-malu, lalu mengangkat kedua tangan dan mengacungkan jempol. "Sukses."
"Kan, sudah gue bilang. Syukur deh."
"Makasih banyak, Lis. Mas Herman setelah itu makin romantis sama aku."
Lisa tersenyum bangga dan mengibaskan rambut panjang pirangnya dengan bangga. "Kalau mau gaya lain, gue punya banyak nih."
Perempuan satu ini selalu frontal, aku yang malu sendiri mendengarnya, "Kamu Lis, udah ah. Kayak biasa aja Mas Herman suka, kok."
"Aduh sayang. Emang iya untuk saat ini suami lo masih suka-suka aja, tapi siapa yang tahu kedepannya."
Ia menggeser duduknya mendekat ke arahku. "Laki-laki itu sukanya sex, emang bakalan puas dengan celup-celup aja. Tapi, kalau partnernya bisa kasi kepuasan yang berbeda, sensasi yang enggak biasa, pasti makin bikin dia senang."
"Astagfirullah, Lis. Kamu nih belum nikah, tapi kok bicarakan hal kayak gini ringan banget." Aku penasaran, ini Lisa dapat ilmunya dari nonton film biru atau pernah melakukannya?
"Jangan salah, kadang justru yang belum nikah lebih banyak ilmunya." Ia lagi-lagi membanggakan diri.
"Kamu udah pernah melakukannya, Lis," kataku pada akhirnya berada di ujung rasa penasaran.
Dapat kulihat wajahnya berubah, walau hanya sebentar, tapi aku bisa menangkap perkataan ku cukup membuatnya terusik.
"Ha, apa? Enggak kok." Ia menggeleng, mengambil gelasnya yang kini hanya berisi air putih dari es yang mencair. "Cuma sering nonton aja, lo tahu sendiri gue sering bergaul sama anak cowok jadi sering dicekoki hal begituan."
"Tapi tetap aja aneh banget didengar. Semua yang kamu ucapkan kayak kamu udah banyak pengalaman aja. Jangan kayak gitu sama orang lain, bisa-bisa dikira kamu cewek enggak benar."
Jelas saja itu benar, dulu teman sekalasku ada yang bergaul dengan banyak laki-laki akhirnya dicap cewek enggak benar yang udah sering 'main' sama banyak pria.
Walaupun aku enggak tahu gosip itu benar apa enggak tapi pas dengar orang-orang menggosipkan hal tersebut, rasanya jahat sekali.
"Kamu tahu kan, Lis. Pandangan orang-orang sama perempuan yang kayak 'gitu'? Belum lagi perlakuan cowok yang akan mengarah melecehkan kalau dengar penuturan kamu barusan."
Lisa mengibaskan tangannya di depan wajah, "Iya-iya, bawel. Gue paham. Cuma sama elo dan beberapa teman dekat gue yang tahu kalau aku suka nyerocos bebas kayak tadi."
"Hmm, baguslah. Jangan dibiasakan."
"Siap Bu istri." Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Beruntung lo ya, sekali nikah langsung bisa ngubah nasib. Dapat pria kaya."
"Alhamdulillah, ini semua berkat Allah yang mempertemukan kami."
Saat hening mengisi beberapa menit, aku teringat akan program hamil. Memang belum berkonsultasi pada dokter tapi aku tadi sempat cari-cari infonya di Internet.
"Lisa, berhubung kamu paham banyak tentang sex. Kamu tahu nggak hubungan badan gimana yang buat cepat hamil?"
"Wah. Teman aku ini pengen cepat-cepat punya anak ya."
Dia memikirkan sejenak, "Ya gue punya beberapa pose yang bisa kalian lakukan, posisi yang buat suami lo dapat menembakkan punyanya lebih dalam."
***
Jangan lupa vote dan komentar yaa✨✨
KAMU SEDANG MEMBACA
My Husband My Fault [TAMAT]
RomanceAnna memilih menikah muda untuk meringankan beban orang tua, ia baru saja lulus SMA saat memilih menikah dengan Herman, pria jauh lebih tua dibandingkan dirinya. Ia pikir menikah itu sederhana, itu sebabnya sangat kaget saat tahu penuh dengan masal...