30| Aku harus bagaimana?

9.1K 274 17
                                    

Tubuhku rasanya sangat lelah, seperti habis diajak lari maraton mengelilingi kota, capek banget!

Bukan karena membereskan rumah. Tapi karena mentalku yang diuji beberapa hari ini, ditambah Bunda Putri barusan mengabari akan berkunjung besok.

Seharusnya aku menggunakan waktuku untuk istirahat, bukannya berjalan-jalan dari satu tempat ke tempat lain untuk belanja bahan masak.

Bunda bilang keluarga Mbak Lina juga akan berkunjung, betisku sudah kram, tanganku pegal bukan main menenteng plastik belanjaan yang berat-berat, maklum aku beli untuk porsi besar. Mana Bunda pakai request makanan lagi. Dan, jangan lupa jika sudah siang gini belanjaan di pasar sudah banyak kosong. Beberapa bahan harus aku cari di tempat terpisah. Sungguh menyusahkan, ingin menangis rasanya mengingat aku melakukan ini sendirian.

Mas Herman?

Huh .... Sampai detik ini masih belum menunjukkan bahwa dia menyesal telah marah-marah. Setelah berangkat ke kantor, lagi-lagi sebelumnya ia kumat marah-marah, aku masih menyempatkan diri mengirim chat berisi pesan agar ia jangan lupa makan. Pun, pesan setengah jam lalu mengabarkan Bunda akan datang. Tapi, tidak ada balasan darinya.

Semakin diingat, semakin nyeri rasanya hatiku. Itu tidak baik, sekarang fokusku adalah menyiapkan makanan untuk Bunda nanti sore.

Aku akan menyimpannya sampai nanti setelah bunda pulang.

Motor yang aku kendarai tiba-tiba mogok di tengah perjalanan ke rumah. Aku celingak-celinguk memandangi mesin motor yang tidak kuketahui rusak di bagian apa, bagaimana cara memperbaikinya.

Aku duduk di trotoar sambil memandangi hasil pemburuan bahan masakan. Kantong plastik besar itu berisikan kentang, daging, bumbu-bumbu, sayur, dan bahan lainnya terjemur dan sayur-sayurannya mulai layu. Siang ini cahaya matahari bertengger tepat di atas kepala. Rasanya panas betul.
Aku menaruh telapak tangan di atas kepala, berharap dengan begitu mampu menghalangi panas yang menyengat kepalaku.

"Astaga, kok bisa kebetulan low battery gini?" Aku memandang nanar layar ponselku yang menghitam tidak bisa dihidupkan lagi.

Ya, Tuhan. Ujian seperti apa yang tengah Kau berikan pada hamba?

Aku merasakan air mataku akan terjatuh lagi. Meski tidak menginginkannya, namun menangis adalah kegiatan rutinku akhir-akhir ini.

Sekarang bagaimana caraku untuk pulang? Bagaimana ini, Ya, Allah?

Aku melihat para pengendara motor yang melintas, berharap ada saah dari mereka yang aku kenal, dan bisa aku mintai bantuan. Nihil, sejam kemudian tetap tidak ada bantuan.

Mana satu kilometer aku mengiring Motor belum juga menemukan bengkel. Air mataku bahkan sudah menguap, kering oleh terik matahari.

Di bawah pohon mangga rindang tepi jalan aku beristirahat, memijat pelipis karena tiba-tiba pusing menyerang. Mungkin karena terlalu lama terpapar sinar matahari langsung.

"Mbak motornya rusak, ya?"

Aku menoleh lemah ke samping, menemukan seorang pengemudi yang menepi. "Iya, nih, Mas. Sedih banget, mana dari tadi belum nemu bengkel," keluhku pada pria asing itu.

Ia memandangi motorku sebentar sebelum akhirnya memilih menurunkan cagak motornya lalu melepaskan helm. Wangi sampo mint yang ia pakai menguar, memberikan sedikit kesegaran di siang hari yang panas ini.

"Saya coba bantu, ya, Mbak...." ujarnya mulai menjamah motorku.

Aku mengangguk memberikan ia izin. Alhamdulillah, akhirnya penolong Engkau hadirkan juga, Ya, Allah.

Pria itu keren, menyimpan peralatan bengkel di bag motornya. Tangannya terampil memutar obeng, melepas beberapa sekrup. Aku terpukau tak sampai sepuluh menit ia selesai mengejarkan motorku.

My Husband My Fault [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang