First Love | BAB 2

38.6K 2.6K 152
                                    

Palembang, 2011.

Pagi yang cerah ini, Prisha duduk di sisi meja makan sambil menyantap bubur ayam yang dia beli dari abang langganannya yang suka keliling komplek.

Di sudut meja makan, Manaf duduk nyaman, sesekali melirik putri kesayangannya yang menyantap makanan dengan lahap.

Edrea duduk di seberang Prisha, sesekali terkekeh melihat pipi anaknya bergoyang karena mengunyah.

"Pelan-pelan makannya, Sha." Manaf membuka suara sambil tertawa kecil.

"Ayah, kenapa bubur Mang Kumis enak banget?"

"Mungkin, karena dibuat pakai hati." Kekeh Manaf.

Kening Prisha pun mengkerut. Sontak saja dia mengaduk-aduk bubur miliknya dan berkata, "Kok punya Sha nggak ada hatinya, Yah?"

Mendengar itu, Edrea menepuk keningnya. "Aduuuuhhhh! Maksud ayah dibuat pakai hati itu ... pakai perasaan, Sha."

"Perasaan? Perasaan apa, Bun? Marah atau bahagia?" Mata bulat Prisha menatap bundanya dengan tatapan penuh ingin tahu.

"Enggak mungkin sambil marah kalau enak, Sha."

Prisha mengangguk cepat. "Iya, ya, Bun."

"Udahlah, kamu ini ada-ada aja." Edrea melambaikan tangannya di udara, tanda sudah kepeningan menanggapi celetukan aneh sang anak. Kemudian, wanita itu menatap sang suami. "Yah, hari ini udah mulai penerimaan siswa baru, ya, di SMP kita?"

Maksudnya, SMP milik keluarga mereka di Palembang. Yayasan yang dipegang oleh Manaf.

"Iya." Manaf mengangguk.

"Serius, Yah?" Prisha bertanya antusias. "Kalau gitu nanti Sha mau suruh Kak Galih daftar. Ayah harus bikin dia lulus, ya!"

"Emangnya Galih mau sekolah di sana? Dia enggak ambil sekolah negeri?"

"Mau, Yah. Nanti Sha yang bilangin sama Kak Galih biar sekolah di sana, terus nanti kita satu sekolah lagi, deh!"

"Mana mau Galih satu sekolah lagi sama kamu," goda Manaf. "Kamu ngerepotin dia terus, sih."

Bibir Prisha mengerucut seketika. Dia meletakkan sendoknya dan melipat kedua tangannya di depan dada, berlagak seperti orang yang sedang ngambek. "Ayah gitu banget sih sama Sha. Kak Galih itu nggak masalah kalau direpotin, nggak kayak Ayah."

"Ayah juga nggak masalah kok direpotin sama anak kesayangan Ayah."

"Iiiihhhh! Ayah aja nggak mau repot-repot benerin sepeda Sha!"

"Bukannya enggak mau, lagian kamu udah berapa kali ngerusakin sepeda. Masuk got lah, nabrak sapi lah pas main ke kampung sebelah, ada aja pokoknya." Manaf menggeleng pelan membayangkan potongan kejadian itu. Dia sibuk mengunyah bubur ayamnya. "Nanti kalau dibenerin juga palingan enggak sampai seminggu udah rusak."

"Ya, udah, sih." Prisha makin cemberut. "Ada Kak Galih yang boncengin Sha, jadi nggak butuh-butuh banget lagi sama sepeda."

Lantas, baik Manaf maupun Edrea tertawa ringan. Sungguh, mereka gemas sekali dengan putri kesayangannya itu.

***

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Prisha mengambil duduk di bawah pohon palem yang ada di pinggir lapangan futsal.

Mata bulat gadis dengan seragam putih-merah itu kini sibuk menatap sesosok anak lelaki yang sudah sangat ia kenali. Galih.

Tidak susah mencari Galih diantara banyak siswa yang ada di lapangan tersebut karena lelaki itu cukup mencolok baginya.

First Love (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang