Palembang, 2012.
"Semangat, ya, sekolahnya."
Mendengar kalimat tersebut, Prisha mengangguk cepat. Ia menjawab antusias, "Siap, Ayah!"
Setelah mencium punggung tangan ayahnya, Prisha izin untuk turun dari mobil fortuner hitam yang gagah milik Manaf.
Jika biasanya gadis itu hanya diantar sampai depan gerbang sekolah, maka kali ini berbeda. Dia turun tepat ketika mobil terparkir rapi di parkiran khusus jajaran petinggi yayasan.
Ya ... karena saat ini Prisha sudah menjadi siswi SMP dan ia tentu saja bersekolah di yayasan milik keluarga mereka.
Hari ini merupakan hari pertama Prisha mengenyam pendidikan tingkat SMP.
Dia mengenakan seragam putih dengan lambang osis yang kini berwarna kuning, serta rok biru selutut dilapisi rok buatan dari tali rafia sebagai syarat mengikuti MOS. Rambutnya juga dikuncir menjadi tujuh bagian, sebagai tanda kalau ia adalah murid baru di kelas tujuh.
Langkah gadis itu pasti menuju ke salah satu kelas yang berada di sudut lantai satu gedung SMP—ya, SMP dan SMA yayasan itu memang satu lingkungan.
Prisha tahu letak kelasnya karena kemarin murid baru memang sudah sempat disuruh berkumpul di sekolah untuk diberitahu syarat dan tata tertib mengikuti MOS.
Ketika langkahnya semakin dekat dengan pintu kelas, Prisha mengeratkan genggamannya pada tali tas berwarna maroon yang dia gendong.
Sepi.
Itulah yang menjadi kesan pertamanya ketika memasuki kelas. Baru ada beberapa orang saja yang sudah datang.
Prisha mengambil duduk di belakang meja sudut kanan kelas. Dari tempatnya, ia bisa melihat pemandangan di luar jendela—pemandangan orang berlalu-lalang di lapangan sekolah.
Sembari menunggu kelasnya penuh dan bel masuk berbunyi, gadis tersebut menyibukkan diri dengan mengamati sekitar. Meski ia sering datang ke sana karena sekolah itu milik keluarganya, namun baru kali ini dia melihat inchi demi inchi isi sekolah.
Sekolah dengan lapangan besar di tengahnya yang diapit oleh gedung di setiap sisi.
Gedung SMP tempatnya berada, berhadapan langsung dengan gedung SMA. Di belakang kedua gedung tersebut terdapat kantin.
Di sebelah kiri gedung SMP, dekat gerbang tempat ayahnya memarkirkan mobil merupakan gedung kantor. Di sana, ada kantor ayahnya sebagai ketua yayasan, juga kantor berbagai petinggi dan guru.
Sedangkan yang berhadapan dengan gedung kantor adalah gedung perpustakaan. Perpustakaan bertingkat dua dengan fasilitas yang sangat lengkap.
Terlalu sibuk mengamati, Prisha tidak sadar kalau seluruh bangku di kelasnya sudah penuh. Bahkan, bangku di sebelahnya pun diisi oleh seorang lelaki. Entah kapan dia mendaratkan bokong di sana.
Prisha ingin bertanya padanya, tapi panitia dari OSIS yang akan bertanggung jawab dengan kelasnya keburu masuk.
Satu persatu mereka masuk, menyisakan seorang panitia yang kini berdiri di depan pintu kelas untuk mengabsen karena nama murid baru tertempel di depan pintu sejak kemarin untuk memudahkan pencarian kelasnya.
Orang di depan pintu mulai memanggil nama demi nama, namun tidak ada nama Prisha dipanggil, membuat gadis itu mengerutkan kening.
Selesai mengabsen, si panitia yang berada di depan pintu itu kemudian ikut masuk. Dia bertanya, "Ada yang belum dipanggil?"
Prisha langsung mengangkat sebelah tangannya. "Sha belum dipanggil, Kak."
Si tukang absen tadi—yang ternyata Galih, pantas suaranya tidak asing di telinga Prisha—kini menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kamu hadir nggak?" tanya Galih kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
First Love (Tamat)
Literatura FemininaCinta pertama memang akan selalu membekas. Entah kenangan baik atau buruknya. -Galih Lesmana 📌 Cerita Pilihan Editor Wattpad HQ Bulan Oktober 2024 #1 in Acak 12-02-2023 #1 in Bocil 15-02-2023 #1 in Cintapertama 03-02-2022 #1 in Complete 20-08-2022 ...