Ukuran kesabaran seseorang yang mencintai dalam diam bisa diukur dari cara dia menyembunyikan air mata di balik senyumnya
NOT MY DESTINY
Selimut putih dengan motif bunga sakura masih membungkus tubuh Nanda, sepertinya efek gravitasi kasur sangat besar sampai-sampai Nanda berat untuk meninggalkan alam mimpinya. Akan tetapi, tidur nyenyak Nanda tidak bisa bertahan lama ketika alarm di ponselnya berbunyi. Dari balik selimut Nanda menggerutu, seharusnya dia tidak menyalakan alarm tadi malam.Dengan mata yang masih sepenuhnya tertutup, Nanda mencari-cari benda canggih itu. bibirnya berdecak kesal karena tidak kunjung menemukan apa yang dia cari. Seketika Nanda membuka matanya, melepas selimutnya dan mengambil ponselnya di atas nakas.
"Hari Minggu tapi aku harus bangun sepagi ini. Ya ampun," kesal Nanda. Dengan wajah bantalnya, Nanda mematikan alarm dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Setiap hari Minggu Nanda selalu bangun jam 06.00 pagi dan itu hanya untuk bisa bersepeda di alun-alun. Selesai mencuci muka Nanda membereska kamarnya, mengganti bajunya dan segera turun ke dapur.
Di dapur Nanda sudah disambut oleh Bi Mina, ART yang selalu menemaninya. Kedua orang tuanya berada di luar negeri karena pekerjaan mereka yang mengharuskan Nanda tinggal terpisah dengan Papa dan Mamanya. Beruntung di rumah dia ditemani Bi Mina dan Pak Jali suami Bi Mina yang sekaligus tukang kebun di rumahnya.
"Sarapannya, Non," kata Bi Mina. Wanita paruh baya itu sudah bangun sejak subuh untuk menyiapkan sarapan pagi Nanda. Semangkuk bubur kacang hijau dan segelas susu cokelat adalah sarapan kesukaan Nanda. Dia tidak suka sarapan dengan roti atau pun nasi goreng. Nanda lebih suka sesuatu yang lembut dan manis, seperti kacang hijau dan tentu saja dengan segelas susu cokelat.
"Makasih, Bi." Nanda menarik kursi di meja makan, membaca doa dan langsung menyantap makanannya.
"Bibi sama Pak Jali udah sarapan? Kalau belum, sarapan dulu Bi, kerjaannya nanti dulu," ujar Nanda. Biasanya dia akan sarapan bersama kedua suami istri itu, dan itu sudah dilakukan Nanda sejak kedua orang tuanya tidak berada di rumah.
"Bapak tadi sudah minum kopi dan sekarang lagi bersihin kolam ikan. Non, bubur kacang hijaunya mau tambah lagi?" Bi Mina membawa satu mangkuk besar bubur kacang hijau dan meletakannya di atas meja makan.
"Nggak usah Bi, udah kenyang," kata Nanda. Susu cokelatnya pun sudah tandas bersama dengan bubur kacang hijaunya. Nanda berdiri dari kursinya, membawa piring dan gelas kotornya ke wastafel dan langsung dicuci. Bi Mina yang melihat hal itu hanya tersenyum kecil, sejak kecil Nanda sudah diajarkan untuk mencuci piring dan gelas kotornya sendiri. Bahkan kamar pun selalu dia yang bersihkan sendiri. Bi Mina hanya bertugas mengambil baju kotor yang sudah dimasukan ke dalam keranjang kotor di kamar Nanda. Melihat Nanda yang begitu dewasa, Bi Mina selalu berharap semoga kelak pria yang menjadi suaminya adalah orang yang benar-benar bisa menjaga dan mencintai Nanda sepenuh hati.
"Bi, Nanda pergi sepedaan dulu, ya." pamit Nanda. Wanita 26 tahun itu mencium punggung tangan Bi Mina dan segera beranjak pergi.
"Ya Allah, cantik-cantik gitu tapi jomlo."
***
"Pagi." Nanda hampir menjatuhkan sepedanya, tubuhnya menegang mendengar suara Mandala sepagi ini. Perlahan, Nanda berbalik dan terkejut melihat Manda sudah siap dengan sepeda."Masih ngantuk, ya?"
Nanda gelagapan, cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya. "Nggak. Udah nggak ngantuk."
Mandala tertawa melihat respon teman masa masa kecilnya itu. Sudah lama dia dan Nanda tidak berbicara, keduanya sibuk dengan urusan pekerjaan mereka.
"Ayo, sepedaan bareng. Mau ke Alun-Alun Utara, kan?"
Nanda mengangguk. "Kamu juga?"
"Hm. Udah lama banget, ya, kita nggak sepedaan kayak gini. Terakhir naik sepeda itu waktu habis wisuda, kan?" tutur Mandala. Sepedanya dia kayuh dengan pelan agar bisa menyamai Nanda.
"Iya, udah lama banget," balas Nanda. Bibirnya diam-diam tersenyum kecil ketika melihat Mandala melambatkan sepedanya, kebiasaan yang selalu pria itu lakukan setiap mereka bersepeda bersama. Angin pagi menyambut hangat kedua anak adam itu, mengalihkan pandangan mereka dari penatnya bekerja selama enam hari.
"Nan," panggil Mandala.
"Hm."
"Mau bakso tusuk, nggak?"
"Boleh?" Mandala menghentikan sepedanya, menatap wajah Nanda yang tampak ragu-ragu. Senyum di bibir Mandala terukir, senyum manis yang selalu membuat jantung Nanda tidak aman.
Pagi-pagi udah senam jantung.
"Boleh. Mau berapa?"
"Kayak biasa," jawab Nanda.
"Oke. Kamu tunggu aku di bawah pohon, ya." Mandala mengayuh sepedanya ke seberang, Nanda tidak beranjak dari tempatnya seperti yang Mandala katakan. Dia justru memandang punggung Mandala yang tengah mengayuh sepeda menuju penjual bakso tusuk.
"Bodohnya aku. Hanya dengan bakso tusuk perasaan ini semakin besar, Mandala. Padahal, kamu sudah menjadi milik orang lain tapi aku masih tetap mencintaimu. Mungkin itu bodoh, tapi aku nggak menyesali kebodohanku ini. Karena aku tahu apa yang aku lakukan ini adalah keinginanku, bukan paksaan. Jadi, sekalipun aku terluka, sakit, dan menderita aku nggak bisa berhenti."
Nanda memang selalu sadar bahwa apa yang dia lakukan ini menyakiti dirinya, tapi di sisi lain dia juga tidak bisa berhenti. Karena mencintai Mandala sudah menjadi bagian dari hidup Nanda. Seperti hanami, perasaan itu selalu indah namun di saat bersamaan juga menyakitkan. Karena hanami adalah keindahan yang hanya bisa dinikmati sesaat, bukan selamanya.
Hanya dengan mencintai Mandala, Nanda merasa hidupnya berwarna. Pada pria itu dia merasa menjadi wanita yang sebenarnya. Hanya di depan Mandala, Nanda tidak perlu menutupi dirinya, dia bebas menjadi apa yang dia inginkan. Wajahnya menengadah, berusaha menahan butiran bening yang hampir tumpah dari pelupuk matanya.
Kadang, Nanda tidak mengerti mengapa dia bisa secinta itu pada Mandala? Padahal, di luar sana ada banyak pria yang jauh lebih dari Mandala, namun hati Nanda seolah terjebak dalam labirin ketika jatuh cinta pada Mandala sampai-sampai dia tidak ada kesempatan untuk melirik yang lain. Tersadar akan perasaannya yang begitu dalam pada Mandala sudah sejauh dan sedalam itu, Nanda terkekeh. Dia menertawakan dirinya yang begitu menyedihkan. Mengiba untuk satu hal yang dia sendiri tidak berdaya untuk memilikinya.
Mencintai Mandala ibarat menggenggam mawar, Nanda akan terluka. Namun, jika dengan terluka bisa membuatnya tetap berada di dekat Mandala maka Nanda sanggup menahan perih dari setiap luka yang diterimanya. Bukankah mencintai harus siap terluka? Kalau tidak siap, sebaiknya mundur sejak awal. Setidaknya prinsip itulah yang selalu Nanda tanamkan di hati dan pikirannya tentang definisi cinta yang dia yakini.
Wanita kalau soal mencintai, jangan diragukan. Mereka paling hebat untuk berkamuflase, menutupi sedih dengan senyum. Mengumbar tawa untuk menyamarkan tangis. Hebat bukan? Maka jangan heran jika Nanda mampu mencintai Mandala sekuat dan sedalam itu, semua karena dasarnya Nanda adalah wanita yang tangguh dan kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
ChickLitDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...