Absurd || Tidak masuk akal ||

87 8 0
                                    

Butuh berapa lama lagi, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun, satu windu, atau bahkan satu abad untuk membuatmu sadar bahwa mencintai seseorang yang tidak pernah melihatmu adalah kebodohan yang hakiki.

NOT MY DESTINY








"Mandala, terima kasih sudah mengantarkan Nanda ke sini. Om dan Tante selalu merepotkan kamu," ujar Rafka. Pria paruh baya itu menatap Mandala tulus.

Mandala menggelengkan kepala, dia merasa tidak repot dengan apa yang terjadi saat ini. Mandala justru melakukan ini dengan senang hati. Dia rela melakukan apa pun untuk membuat Nanda bahagia. Mandala mendekati kursi roda Rafka, menatap pria paruh baya yang kini terlihat rapuh.

"Om Rafka nggak perlu bilang makasih ke Mandala. Mandala sama sekali nggak merasa direpotkan, kok, Om. Nanda itu sudah Mandala anggap seperti adik sendiri," ujar Mandala.

Mandala begitu lancar merangkai kalimat manis yang sayangnya bukanlah sebuah kejujuran. Sampai kapanpun Mandala tidak akan pernah bisa menganggap Nanda sebagai adiknya. Perasaan kekanak-kanakan itu sudah lama musnah dan digantikan dengan perasaan cinta seorang pria pada wanita.

Sejuk sekali hati Rafka mendengar ucapan Mandala barusan. Pengakuan sederhana dari Mandala selalu berhasil membuat dirinya menjadi orang kepercayaan Rafka dan Anisa untuk menjaga Nanda.

Jauh di dalam hati Rafka, ia menginginkan Mandala bisa menjadi lebih dari seorang sahabat untuk Nanda. Jika bisa jujur, Rafka ingin Mandala menjadi pendamping hidup putrinya. Sayang beribu sayang, Mandala sudah memiliki tambatan hati meski selalu berganti-ganti.

"Ayah sama Bunda kamu gimana kabarnya? Miranti juga? Udah kelas berapa sekarang dia? Om udah lama nggak liat dia," ujar Rafka. Matanya kembali berbinar saat berbicara tentang keluarga Mandala. Ah, dia juga rindu dengan sahabatnya, Arya. Rindu bagaimana mereka menghabiskan waktu dengan bermain catur bersama diakhir pekan.

Sudut bibir Mandala tertarik, dalam benaknya dia tahu bahwa Rafka sedang merindukan saat-saat bersama dengan ayahnya. Mandala berdiri, lalu duduk di kursinya. 

"Ayah baik, Om. Bunda juga. Apalagi Miranti, sekarang dia udah masuk SMP," jelas Mandala dengan pandangan yang menerawang jauh ke depan. Tiba-tiba saja terbesit kerinduan akan keluarganya. Padahal, belum lama Mandala meninggalkan rumah.

Rafka ikut tersenyum mendengar kabar bahwa keluarga sahabatnya baik-baik saja. Dia sudah lama tidak saling menanyakan kabar dengan Arya. Terakhir mereka saling menghubungi adalah Rafka mengirimkan hadiah ulang tahun untuk Arya. Itu pun sudah beberapa bulan yang lalu. 

"Bagaimana kerjaan kamu? Lancar?" Rafka kembali melempar pertanyaan, kali ini seputar pekerjaan Mandala.

Mandala mengangguk. "Lancar Om." Pekerjaannya memang lancar, semua berjalan sesuai dengan apa yang sudah disusunnya sejauh ini.

"Karir kamu semakin bagus, ya, Mandala. Om liat-liat di beberapa headline news kamu masuk menjadi salah satu pengusaha muda yang sukses di Indonesia. Om ikut senang mendengarnya." Pujian itu bukan pertama kalinya Mandala dengar, tapi rasanya berbeda saat mendengar langsung dari mulut Rafka. Ada rasa bangga yang teramat besar di dalam hati Mandala.

"Alhamdulillah, Om."

"Karir udah bagus. Terus, masalah cinta gimana? Masih nomaden?"

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang