Konfrontasi || Pertentangan, permusuhan ||

93 5 0
                                    

It's me, a stupid woman who chooses to love in silence. The longing is as deep as the Mariana Trench, and the disappointment is as wide as the ocean.

NOT MY DESTINY  









"Non, dimakan, ya, buburnya? Dua sendok aja." Bi Mina berusaha membujuk Nanda untuk melahap bubur yang sudah dibuatnya.

Nanda menggeleng. Menarik selimut sebatas leher dan memejamkan matanya. Demam yang menyerangnya membuat Nanda tidak berselera makan. Setelah meminta izin pulang lebih dulu karena merasa tidak enak badan, Nanda sama sekali belum beranjak dari tempat tidurnya. Bahkan mengabaikan perutnya yang meronta-ronta untuk diisi.

"Non, makan dong. Tadi pagi juga Non nggak sarapan. Sekarang makan dulu, ya? Sedikit aja. Biar bisa minum obat," bujuk Bi Mina. Wanita paruh baya itu tidak pernah lelah melakukan segala cara untuk membuat Nanda mengisi lambungnya.

Mencoba mengerti kekhawatiran bi Mina, Nanda menurunkan selimutnya. Menatap bi Mina yang sudah hampir menangis. Jemari kurus Nanda terulur untuk menyentuh pipi keriput asisten rumah tangganya. Perasaan bersalah menyusup ke hatinya, sakitnya ternyata juga menyakiti orang lain. "Bi, indra perasa Nanda nggak bisa ngerasain rasa makanan. Apa pun yang masuk ke mulut Nanda, rasanya hambar. Dan Nanda nggak suka makanan yang hambar."

Tidak kuasa menahan air matanya, bi Mina menangis. Dia tahu orang demam memang banyak keluhan. Namun melihat Nanda yang tampak tersiksa, mau tidak mau bi Mina ikut menangis. "Nggak apa-apa, Non. Sekali pun makanan yang masuk itu rasanya hambar, tetap harus dimakan. Kalau Non nggak makan, sakitnya nggak bakalan mau pergi."

Percuma, Bi. Aku makan, aku minum obat, sakitku nggak bakalan bisa pergi. Dia akan selalu ada.

Nanda menggelengkan kepalanya pelan. Pusing yang melandanya membuat Nanda tidak bisa bergerak bebas. "Bi, jangan kasih tahu Papa sama Mama kalau Nanda sakit. Nanda nggak mau mereka kepikiran terus ikut sakit juga. Apalagi Papa baru sembuh dari sakitnya."

Bi Mina hanya mampu mengiyakan apa yang Nanda minta. Bibirnya masih saja mengeluarkan tangisan kecil, tidak menyangka Nanda akan terbaring lemah seperti sekarang. Padahal, pagi tadi saat berangkat ke sekolah Nanda masih dalam keadaan baik-baik saja.

"Non, Bibi sama Pak Jali harus apa biar sakit Non Nanda sembuh?"

Pertanyaan tidak terduga itu menyerang Nanda bagai busur panah. Menusuk tepat di jantung. Tangis Nanda pecah seketika. Nanda tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin dia mengatakan, "Bi, bawa Mandala ke sini. Aku rindu ingin bertemu dengannya", Nanda masih waras. Pria itu pasti lebih mementingkan Hera dibandingkan dirinya.

"Non Nanda nggak mau makan. Nggak mau di bawa ke rumah sakit juga. Di panggilin dokter ke rumah juga Non nggak mau. Bibi sama Pak Jali bingung harus gimana, Non?" Pak Jali yang sedari tadi menguping pembicaraan istrinya dan Nanda hanya bisa menghela napas lelah. Dia pun tidak tahu harus bagaimana.

"Bi, tolong tinggalin Nanda sendiri. Nanda capek. Nanda mau tidur," pinta Nanda. Saat ini tubuhnya benar-benar butuh istirahat. Beberapa minggu belakang Nanda terlalu banyak menguras tenaga dan pikirannya. Dia terlalu larut dalam kesedihan. Dia memikirkan pernikahan Mandala yang tinggal menghitung hari. Dan pria itu tidak pernah lagi menghubungi Nanda. Bahkan menanyakan kabar saja tidak.

Dengan berat hati bi Mina keluar dari kamar Nanda. Membawa nampan berisi bubur dan obat yang tidak ingin disentuh Nanda sama sekali. "Tapi nanti Bibi bakalan balik lagi ke kamar Non. Bibi keluar dulu," ucap Bi Mina.

"Ayo, Pak. Kita biarin Non Nanda istirahat dulu." Bi Mina bersama Pak Jali pun meninggalkan kamar Nanda.

Selepas kepergian bi Mina dan pak Jali, Nanda menangis sekeras-kerasnya. Menumpahkan segala kesedihan yang menyumbat dadanya.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang