Sedari awal kita adalah mimpi, antara ada dan tiada. Berdiri di tapal batas, berpegang pada tekad. Namun terhempas oleh semesta.
NOT MY DESTINY
Dalam keheningan, Mandala memandang wajah lelap Nanda. Beberapa menit setelah menangis tanpa menceritakan akar kesedihannya, Nanda terlelap. Bekas air mata masih tersisa di pipinya. Namun Mandala sama sekali tidak berani untuk mengusapnya. Dia memilih untuk membiarkannya mengering sendiri.
Setelah memastikan Nanda sudah benar-benar terlelap, Mandala memutuskan untuk keluar dari kamar Nanda. Menghabiskan waktu berlama-lama di kamar bernuansa biru laut itu hanya akan mengaburkan logika Mandala. Dan Mandala sadar dia tidak akan mampu menahan jiwa iblis di dalam dirinya jika mengikuti kata hatinya untuk menemani Nanda lebih lama lagi.
Pria dan wanita yang berduaan di dalam ruangan sepi dapat mengundang fitnah. Lagi pula Mandala harus ingat bahwa ada seseorang yang sedang menunggunya. Seseorang yang Mandala tidak boleh kecewakan.
Dengan segala kesadarannya Mandala memilih untuk segera meninggalkan kamar Nanda. Namun sebelum itu dia mendekati tempat tidur Nanda, tangannya bergerak luwes membenahi selimut Nanda. Dalam jarak sedekat ini wajah Nanda terlihat sangat kacau, ada kerutan kecil di dahinya. Lagi-lagi Mandala menahan diri untuk menggerakan tangannya agar tidak menyentuh kerutan di dahi Nanda. Itu bahaya.
"Apa pun yang saat ini mengganggumu, mengusik tidurmu, aku harap semua segera berlalu saat kamu bangun. Nice dream, Dora," bisik Mandala terakhir kali sebelum kakinya meninggalkan kamar Nanda.
Selepas pintu kamar Nanda tertutup, sepasang netra bening yang terpejam kini terbuka perlahan. Lagi-lagi butiran bening memenuhi kelopak matanya, kesedihan itu datang lagi. Nanda memiringkan tubuhnya, menghadap ke arah pintu.
"Bagaimana aku bisa mimpi indah, Mandala? Kalau apa yang inginku mimpikan nggak bisa lagi kudekap." Lalu Nanda memejamkan matanya, dan lelehan air mata itu kembali membasahi pipinya. Nanda yakin besok pagi dia akan bangun dengan kedua mata yang bengkak. Sudah terlalu banyak air matanya yang terkuras. Namun tidak akan cukup untuk mengurangi sedikit pun rasa sakit di hatinya. Yang ada justru semakin bertambah. Dan sialnya ruang-ruang di hatinya tidak pernah penuh.
Andai jatuh cinta bisa memilih, sudah pasti Nanda tidak akan berada di posisi kritis seperti ini. Gerakan ke kanan maupun ke kiri, selalu saja disertai luka. Kelopak matanya yang terpejam kembali terbuka. Meski dia berusaha untuk menjelajah pulau kapuk, rasa kantuknya tidak kunjung datang.
Semua karena Mandala, pria yang sialannya menjadi pusat dunia Nanda.
Nanda sadar, bahwa kekusutan yang mendera dirinya adalah buah dari apa yang disemainya. Memilih diam akan perasaan cintanya terhadap Mandala mengakibatkannya harus terluka sendirian. Logikanya buntu ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa sebentar lagi jatahnya bersama Mandala akan habis. Semua akan berpindah pada Hera. Wanita yang entah sejak kapan berhasil merebut semua perhatian Mandala dari Nanda.
Pandangan Nanda masih tertuju pada daun pintu yang tertutup. Jauh di dalam hatinya dia berharap Mandala datang kembali ke kamarnya. Menemani dan memeluknya sampai pagi menjelang. Akan tetapi, itu mustahil terjadi. Bahkan dalam mimpi pun belum tentu tercapai. Nanda meringis memikirkannya.
"Aku yang selalu berada di sisinya, menemaninya dari nol sampai dia bersinar. Tapi kenapa wanita lain yang memanen hasilnya?" Nanda selalu mempertanyakan hal itu.
Menurutnya itu sama sekali tidak adil, tidak masuk akal. Kalau presentase ketidakadilan yang kerap kali melekat padanya adalah ketidakjujuran akan perasaannya pada Mandala, Nanda tidak bisa mengelak. Dia sendirilah yang memilih menyembunyikan perasaannya. Itu semua demi kebaikan hubungan persahabatannya dengan Mandala. Namun dari dulu Nanda selalu meminta pada Tuhan, dia berharap penantiannya dalam keheningan akan berbuah manis. Tetapi dia harus dikecewakan oleh kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
Genç Kız EdebiyatıDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...