Oksitosin dan Endorfin

68 9 0
                                    

"Non, bangun! Ada telepon dari Tokyo." Suara bi Mina terdengar keras dari balik pintu kamar Nanda, begitu juga dengan ketukan di pintu.

Merasa tidak ada respon, bi Mina kembali mengulangi. Kali ini intonasi suara dan ketukannya naik. "Non, bangun, Non! Non, ini penting. Tuan sakit. Bangun Non!"

Bruk. 

Seketika bunyi barang jatuh terdengar sampai ke luar kamar. Bi Mina menghentikan aksi bar-barnya, dia berharap bunyi tadi adalah tanda nona mudanya sudah bangun. Seperti yang diharapkan bi Mina, Nanda memang sudah bangun. Tanpa cuci muka, tanpa sikat gigi, Nanda menyibak kasar selimutnya membuat laptop yang berada di sisi tubuhnya jatuh ke lantai. Namun Nanda mengabaikan hal itu. Yang dilakukannya setelah bangun adalah berlari menuju pintu.

Bi Mina sampai mundur beberapa langkah karena terkejut dengan kemunculan Nanda. Seolah habis dikejar Singa, Nanda berdiri di depan bi Mina dengan napas yang terengah-engah. 

"Non."

"Papa kenapa, Bi?" tanya Nanda. "Kenapa baru bangunin Nanda sekarang?" Bi Mina bisa melihat raut muka Nanda yang berubah jadi pucat pasi. Sepasang mata wanita itu berkaca-kaca. Bi Mina yakin dengan satu kali kedipan butiran bening pasti akan langsung jatuh. Dan benar saja, ketika bi Mina membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Nanda air mata itu langsung jatuh.

"Tuan sakit, Non. Bibi tadi dapat telepon dari Nyonya," ucap Bi Mina sedih. Tangannya langsung merangkul bahu Nanda karena melihatnya hampir jatuh mendengar kabar buruk itu. "Bibi udah bangunin Non dari tadi, tapi Non nggak bangun-bangun."

Nanda tidak bisa berpikir lagi, dibenaknya hanya terbayang wajah papanya. Astaga, pantas saja berapa hari ini tidak ada telepon masuk dari kedua orang tuanya. Bahkan mamanya yang sering menanyakan kabar lewat pesan singkat pun tidak lagi. Apakah sakit papanya sangat parah? Sampai-sampai mamanya tidak memiliki waktu untuk mengabarinya.

"Papa," gumam Nanda dengan air mata yang sudah menetes. Bibirnya bergetar kala menyebut papa. Inilah yang selalu Nanda takutkan, berada jauh dari orang tuanya dan tiba-tiba mendengar kabar buruk seperti ini. 

"Non." Bi Mina langsung menuntun Nanda kembali ke dalam kamarnya. Mendudukkan Nanda di kasur dan berteriak memanggil pak Jali.

"Pak, Bapak. Astaga, ke mana lagi, Bapak, ni?" Bi Mina menatap wajah Nanda yang kuyu, air mata tidak berhenti menetes. "Non, Bibi panggil Bapak sebentar, ya. Habis ini kita siap-siap."

Nanda tidak merespon apa pun kata bi Mina, dia sudah tahu makna siap-siap yang diucapkan bi Mina. Mereka akan pergi. Tentu saja, setiap kali mendapat kabar seperti itu Nanda pasti akan langsung terbang ke tempat tugas papanya. Dan bi Mina juga pak Jali tidak pernah absen menemaninya.

"Papa," gumam Nanda dengan kedua tangannya menutupi wajahnya. Tangisnya pecah. Rasa sesak tiba-tiba memenuhi dadanya, Nanda takut. Takut hal buruk menimpa pria yang sangat dicintainya itu.

Pertemuan terakhir ketika Nanda berkunjung ke Tokyo adalah saat ulang tahun pernikahan papa dan mamanya. Saat itu Nanda datang bersama Mandala, pria itu mengajukan diri untuk mengantar Nanda. Dan di saat-saat seperti ini Nanda mengharapkan Mandala ada di sisinya. Menemaninya untuk menghadapi ketakutannya. Dia butuh pelukan hangat Mandala untuk menenangkannya. Tetapi sesaat kemudian Nanda sadar, Mandala tidak bisa seperti itu lagi.

Nanda semakin terpuruk, air mata dan suara tangisannya terdengar begitu pedih. 

"Papa," lagi, dan lagi Nanda memanggil papanya. Seolah dengan memanggil papanya rasa sakit di dadanya bisa berkurang. Nanda terus menangis, sampai-sampai dia tidak menyadari kedatangan bi Mina dan pak Jali.


***

Seperti biasa, ketika pagi menjelang meja makan di rumah keluarga Mahesa sudah terisi dengan para penghuni rumah. Hanya saja hari ini tidak seramai hari sebelumnya. Miranti yang biasanya lebih cerewet kini duduk dengan mulut yang masih menguap kecil.

"Anak gadis Ayah masih ngantuk?" Arya yang duduk di sebelah Miranti langsung mengusap lembut puncak kepala putrinya. Miranti mengangguk pelan, mata bulatnya menatap Arya. 

"Ayah, kata Mas pacarnya kali ini nggak pake baju keliatan ketek sama nggak suka warnain rambut kayak bendera tujuhbelasan," kata Miranti tiba-tiba.

Mandala yang tengah menenguk teh langsung tersedak. Kaget dengan ucapan sang adik yang langsung ceplas-ceplos, mana masih pagi pula.

Ningrum dan Arya saling menatap mendengar pengakuan si bungsu. Ini ajaib. Tidak bisanya Miranti mau membicarakan pacar-pacar Mandala. Hal yang paling dia benci.

"Memangnya Miranti udah ketemu pacar barunya Mas Mandala?"

Kali ini Ningrum yang membuka suara, dia pun ingin tahu sejauh apa ketertarikan Miranti tentang kekasih Mandala. Mandala yang menjadi objek pembicaraan hanya diam, dia pun sama. Ingin tahu sejauh mana pendapat Miranti tentang Hera.

Mandala memang sudah menceritakan semua tentang Hera pada adiknya, bahkan dia juga sudah menunjukkan foto Hera. Dan semalam Mandala belum mendengar jawaban apa pun saat dia meminta pendapat Miranti. Mandala sempat bertanya, apakah Hera cantik? Miranti hanya diam. Dan sekarang Mandala yakin dia akan mendapatkan jawaban yang semalam tidak sempat terlontar dari bibir Miranti. Ini akan jadi pertimbangannya, karena selama ini hanya Miranti yang tidak yes dengan pacar-pacarnya. 

"Belum ketemu, tapi Miranti udah liat fotonya. Cantik. Senyumnya manis, ada lesung pipinya. Rambutnya bagus. Kayak rambut Bunda. Miranti suka," ucap Miranti. 

"Alhamdulillah," balas Mandala spontan.

Sontak saja Arya dan Ningrum tertawa mendengarnya. Mereka sampai tidak menyangka Mandala akan selega itu mendengar penilaian Miranti tentang kekasih barunya. Sejujurnya, Arya dan Ningrum juga lega, senang dan bahagia mendengar jawaban Miranti. Dia yang dulu paling menolak keras semua pacar-pacar kakaknya. Kini memberikan kartu hijau.

"Lolos skrining, ya, Mas?" goda Ningrum sambil tertawa melihat air muka Mandala yang malu-malu bahagia. Akhirnya setelah sekian banyak menyeleksi wanita-wanita cantik, Mandala menemukan pilihannya. Wanita yang akan menyandang nama Mahesa.

"Mas, Mamanya Hera masih di rumah sakit?" Senyum di wajah Mandala hilang kala mendengar pertanyaan sang ayah.

"Masih, Yah. Tapi Alhamdulillah kondisinya saat ini sudah lebih baik. Mungkin beberapa hari lagi dokter akan mengizinkan untuk pulang."

Miranti yang tidak tahu akan hal itu langsung mengeluarkan kalimat ajaibnya, lagi. Kalimat yang membuat semua mata memandangnya tanpa kedip. "Kalau gitu kita jenguk aja Mamanya Mbak Hera."

"Mbak Hera?" beo Mandala. Mulutnya menganga tanpa sadar. Miranti hari ini benar-benar out of the box. 

"Ya Miranti harus manggil Mbak, kan? Mbak Hera, kan, pacarnya Mas Mandala. Miranti salah?" Mandala yang masih setengah sadar tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Miranti. Justru sang ayah yang mengambil bagian.

"Miranti nggak salah. Nanti siang kita semua jenguk Mamanya Mbak Hera," putus Arya. 

Astaga. Mandala tidak tahu jin baik mana yang merasuki adiknya, tetapi dia bahagia. Sangat bahagia. Tanpa diduga Mandala bangkit dari kursinya, menuju Miranti dan memeluk Miranti dengan erat.

"Makasih Miranti. Makasih sudah menerima Mbak Hera sebagai pacar Mas," ucap Mandala. Sebelum membalas pelukan Mandala, Miranti menatap ayah dan bundanya bergantian. Seolah sedang menunggu sebuah perintah. Dan ketika sebuah anggukan diberikan ayah dan bundanya, Miranti tanpa ragu membalas pelukan Mandala. Seulas senyum menghiasi bibir mungilnya.

"Jangan ganti-ganti pacar lagi, Mas. Miranti udah yes untuk pacar Mas yang ini. Miranti mau Mbak Hera jadi Mbaknya Miranti." Sebagai ganti karena Mbak Nanda nggak mau jadiin sama Mas. Tambah Miranti di dalam hati. Sebenarnya dia sedih, karena harapannya tidak bisa tercapai. Harapan bahwa Nanda lah yang menjadi kekasih Mandala. 

Mandala mengeratkan pelukannya, perasaan bahagia tidak bisa lagi digambarkan dengan kata-kata. "Mas janji, ini yang terakhir dan satu-satunya."

Ketika semua keluarganya mendukung, Mandala memantapkan hati jika wanita pilihannya adalah yang terbaik. Sebab Hera lah perempuan pertama yang meski tidak pernah bertemu langsung, tetapi sudah melekat di hati keluarga Mandala.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang