Hipergeusia ||Kepekaan yang Berlebihan terhadap Rasa Sakit||

74 13 4
                                    

Senyum manis yang sejak pagi terus saja bertengger di bibir ranum sang putri tidak pernah beranjak pergi. Indira hanya menggeleng pelan melihat Hera seperti remaja yang sedang kasmaran. Padahal, usianya sudah bukan remaja lagi. Akan tetapi, dibalik semua itu Indira turut senang dan bahagia melihat Hera menemukan tambatan hati. Seseorang yang bisa menjadi sandaran dan penopang dalam hidupnya. 

Memikirkan tentang sosok yang membuat Hera sejak tadi tidak berhenti mengumbar senyumnya, Indira dibuat penasaran. Dalam hatinya dia bertanya-tanya, seperti apa sosok pria yang menjadi kekasih putrinya? Jujur, Indira sendiri sudah memiliki kriteria untuk calon menantunya. Dia bahkan sudah mempunyai calon yang dianggapnya paling cocok dengan Hera. Tetapi, sekali lagi dia tidak ingin memaksakan keinginannya pada Hera. Jika Hera sendiri sudah memiliki sosok yang dicintainya, maka Indira akan menerima. Baginya kebahagian Hera adalah harga mati.

Indira yang semula berbaring kini mengambil posisi duduk, bersandar dengan pandangan tidak lepas dari sang putri yang terus saja mondar-mandir tidak jelas. Kadang-kadang Hera mengecek ponselnya. Kadang juga dia memperhatikan pakaiannya. Indira hanya mampu mengusap dada melihat tingkah sang putri.

"Hera," panggil Indira. 

"Iya, Ma." Hera melangkah ke arah ranjang mamanya, "Mama kenapa? Mau ke toilet? Ayo, Hera bantu." Indira menggeleng, tangan ringkihnya menggenggam jemari sang putri. Seulas senyum teduh terukir di bibir keriputnya. Hera menjadi bingung dengan sikap mamanya.

"Mama kenapa?" tanya Hera, dengan sigap sudah duduk di sisi ranjang sang ibu. Tanpa melunturkan senyumnya Indira menatap dalam-dalam wajah Hera yang terlihat lebih bersinar dan segar. Tidak sama seperti beberapa waktu yang lalu.

"Her, Mama senang liat kamu dari tadi senyum terus. Mama bahagia, Sayang," ungkap Indira dengan perasaan yang tulus. Sungguh, rasa sakitnya akan berguguran ketika melihat wajah bahagia sang putri. 

Dengan bibir yang menyunggingkan senyum nan manis, Hera memeluk sang ibu. Kebahagiannya hari ini akan terasa lengkap dengan memperkenalkan Mandala pada mamanya. Dari raut wajah mamanya Hera yakin bahwa Mandala sudah mendapat lampu hijau.

Hera melepas pelukan mamanya, tanpa disadari pipinya telah basah dengan air mata. Melihat lelehan bening membasahi kedua pipi sang putri, Indira menggerakan ibu jarinya untuk mengusapnya. Air mata kebahagian, Indira tahu itu.

"Anak Mama kenapa nangis? Nanti nggak cantik lagi loh," kata Indira. 

Hera tidak tahu untuk apa air matanya jatuh. Dia tidak ingin menangis, tetapi, air mata itu keluar dengan sendirinya. Namun Nanda sadar air mata ini bukan pertanda kesedihan, justru sebaliknya. Dia tengah bahagia. Memikirkan bahwa pria yang dicintai akan bertemu langsung dengan mamanya menciptakan debaran tak terbendung di jantungnya. Debaran yang sanggup membuatnya kehilangan kontrol atas dirinya. 

"Melihat kamu seperti ini membuat Mama nggak sabar untuk bertemu dengan dia. Mama ingin tahu seperti apa dia yang sudah membuat anak Mama yang cantik demam panggung," gurau Indira, bibir keriputnya menyungingkan senyum.

"Ma, Hera nggak demam panggung," bantah Hera, raut wajahnya terlihat lucu di mata Indira. Sepertinya hari ini kebahagian sedang menyambangi ibu dan anak itu.




***



Nanda menyeret paksa kakinya untuk tetap berjalan walau sebenarnya dia ingin sekali melarikan diri. Mengetahui bahwa tujuan Mandala mengajaknya semalam adalah untuk bertemu dengan kekasih pria itu bukanlah hal baik bagi hatinya. Pandangan Nanda tidak lepas dari punggung Mandala yang berjalan tepat di depannya. Di tangannya dia menenteng parcel buah dan sebuket bunga mawar berwarna putih yang sempat mereka beli di toko bunga.

Mawar putih itu masih segar dan harum ketika mereka sampai di toko bunga. Begitu banyak bunga di toko tetapi pilihan Mandala justru jatuh pada bunga mawar putih. Dalam diamnya Nanda memohon agar kelenjar lakrimal yang berada di kelopak mata bagian atas tidak memproduksi air mata, setidaknya untuk saat ini. Dia tidak ingin butiran bening itu jatuh di saat yang tidak tepat. Meski menurut penelitian air mata bukan hanya sebuah bentuk saluran emosi manusia. Lebih dari itu, air mata pun bertugas menjaga kesehatan mata serta memberi nutrisi pada mata.

 Akan tetapi, saat ini air mata yang diproduksi oleh kelenjar lakrimal adalah air mata mengungkapkan emosi. Sebuah rasa yang terpendam dan tertimbun tanpa bisa diucapkan oleh lisan. Miris sekali. Meski hati dan batinnya sudah menjerit kesakitan, Nanda tetap mengumbar senyum saat Mandala meminta pendapatnya tentang bunga pilihannya. Semakin kacau lagi saat suara si penjaga toko bunga menjelaskan makna dibalik bunga mawar putih.

Bunga mawar putih melambangkan kesucian dan kepolosan. Bunga mawar pun menjadi peminat saat diadakannya acara-acara pernikahan yang dimana orang-orang mengaitkannya dengan cinta yang murni dan kesetiaan yang sejati. Selain itu bunga mawar putih juga menandakan awal dari cinta yang abadi.

Kilasan tentang makna bunga mawar putih tidak bisa lepas dari ingatan Nanda. Dadanya seperti dililit dengan tambang sampai-sampai dia merasa sesak berlebih. Inilah akibat dari cinta diam-diam yang selama ini Nanda pendam. Cinta yang tidak pernah bisa menemukan muaranya.

"Aku senang kamu mau menerima ajakanku untuk bertemu Hera, Nan. Aku yakin kamu pasti senang ketemu sama dia," ujar Mandala sambil menolehkan kepalanya ke belakang. Senyum tulus yang terukir di bibirnya sangat mengusik batin Nanda. 

Sambil menelan kasar ludahnya Nanda berusaha membalas gurauan Mandala yang terasa seperti bom atom di telingannya.

"Kenapa kamu bisa seyakin itu, Mandala? Bagaimana kalau Hera nggak menyukaiku? Bagaimana kalau dia nggak senang bertemu denganku?" tanya Nanda gusar. Langkahnya kini terhenti, begitu juga dengan Mandala. Keduanya terdiam dengan posisi saling berhadap-hadapan. Mandala mencoba mengerti ketakutan sahabatnya.

"Aku jamin semua nething kamu bakalan berubah pas ketemu Hera. Dia orangnya baik. Ayo." Nanda hanya bisa pasrah ketika Mandala menarik tangannya, membawanya semakin dekat pada lubang tak kasat mata. 

Saat ini Nanda hanya bisa berdoa, memohon agar Tuhan menguatkannya dari segala sisi. Dia tidak siap harus bertemu dengan wanita yang merebut Mandala darinya. Rasa gusar dan gamang yang berpadu di dalam dada pelan-pelan semakin besar disetiap langkahnya. 

Nanda mengatur napasnya, menarik dan membuang berulang kali. Ketika kaki Mandala berhenti melangkah di depan pintu bernomor 209, air muka Nanda mendadak pucat. Detakan si napas kehidupan mulai tak beraturan. Mandala melepas genggamannya, mengetuk pintu dengan ketukan pelan. Keduanya menunggu dengan harap-harap cemas, mungkin hanya Nanda seorang. Karena dari lirikan matanya tidak ada raut serupa di wajah Mandala. 

Bunyi pintu yang bergesek dengan lantai entah mengapa membuat Nanda hampir tidak bernapas. Tidak berselang lama wajah seorang wanita muncul. Rambut panjang sebahu yang bergelombang menjuntai indah sesuai dengan si pemiliknya. Bibir merah alami yang perlahan-lahan tertarik ke atas dengan membentuk senyum nan manis, merekah dengan sempurna saat matanya tertuju pada Mandala.

Tanpa aba-aba, tanpa peringatan wanita cantik yang Nanda yakini sebagai kekasih Mandala itu langsung menerjang Mandala dengan pelukan. Menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang kekasih yang berbalut kemeja putih. 

Lalu Nanda? Dia hanya mematung di tempat. Meringis, merintih, meraung kesakitan dalam diam. 

"Kangen," gumam Hera. Wajahnya yang bersembunyi dibalik dada Mandala sedikit menyamarkan suaranya. Tetapi Nanda masih bisa menangkap. Nanda masih diam, menunggu Mandala bereaksi. Harapnya Mandala tidak membalas. Namun nyatanya ... tidak.

"Aku juga kangen."





NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang