Lakuna

185 31 10
                                    

Mau berlari sampai ke mana pun, kalau sudah cinta akan sulit untuk berpaling.

NOT MY DESTINY 


Dua jam memutari toko buku bersama Miranti, Nanda hanya bisa pasrah ditarik ke sana ke kemari oleh Miranti. Keranjang buku yang mereka bawa sudah penuh, bahkan sebagian harus dipegang Miranti. Melihat betapa antusias Miranti membeli buku Nanda hanya menggelengkan kepalanya. Adik Mandala itu benar-benar.

Nanda menyodorkan ATM miliknya untuk membayar komik Miranti. Begitu selesai dari toko buku, Nanda membawa Miranti ke restoran untuk mengisi perut mereka. Tidak tanggung-tanggung Nanda memilih sebuah restoran Jepang sebagai tempat makan keduanya. Hal itu disambut baik oleh Miranti, karena gadis kecil itu begitu menggilai makanan Jepang.

"Miranti nggak sabar mau pesan sushi, ramen, onigiri, sama takoyaki. Ah, perut Miranti bakalan merdeka nih," ujar Miranti sambil menghitung menu favoritnya.

Nanda tertawa melihat betapa antusias Miranti menyebutkan semua makanan khas Jepang yang merupakan makanan kesukaannya. "Miranti bisa ngabisin semua itu?" tanya Nanda.

Miranti mengangguk. "Bisa Mbak. Kalau nggak bisa habis dibungkus aja, nanti di rumah Miranti makan. Pokoknya Mbak Nanda nggak usah takut makanannya nggak habis, perut Miranti ini kayak kilang minyak. Muat banyak," jelas Miranti.

Nanda semakin tertawa mendengar guyonan Miranti, hah, rasanya sebagian kegundahan hatinya terhadap Manda perlahan luntur. Berada di dekat Miranti itu sangat menyenangkan bagi Nanda. Gadis kecil itu sangat ramah, ceria, dan seorang pendengar yang baik.

"Oke, kita pesan semua yang Miranti mau," ucap Nanda.

"Serius, Mbak?" tanya Miranti, dirinya hampir tidak percaya. Makanan yang disebutkan tadi memiliki harga yang cukup fantastis. Tapi Miranti tahu kalau membayar makanannya di sebuah restoran Jepang tidak akan membuat isi dompet Nanda berkurang. Mungkin pekerjaan Nanda memang tidak memiliki gaji yang besar seperti Mandala, tapi Miranti yakin Nanda pasti memiliki banyak uang di tabungannya mengingat bahwa papanya Nanda adalah seorang duta besar.

"Serius dong, Sayang."

"""

Mandala membuka buku menu yang diberikan pelayan, matanya melirik deretan makanan yang berasal dari negeri Sakura. Bibirnya tersenyum tipis saat bayangan adiknya terlintas di kepala. Si tukang makan banyak, begitu Mandala menyebut sang adik. Miranti sangat menggilai makanan Jepang. Mungkin, Mandala akan membeli beberapa bungkus dan membawa pulang untuk adik tercintanya itu.

"Sayang, kamu makan apa?" Mandala spontan menurunkan buku menunya, menatap wanita cantik di hadapannya dengan senyum tipis.

"Sushi."

"Oke. Kalau kamu sushi, aku sashimi. Minumnya?"

"Samain aja." Hera mengangguk, membacakan kembali pesanannya dan Mandala. Pelayan mencatat pesanan keduanya, lalu pamit untuk menyiapkan pesanan mereka.

Mandala tersenyum tipis kala punggung tangannya bersentuhan dengan jari-jari lentik wanita di hadapannya. Hera, wanita yang baru dua minggu menjadi kekasih sekaligus partner bisnisnya itu memang sangat cantik. Bukan hanya cantik, tapi juga cerdas dan berwawasan luas. Untuk itu, Mandala tidak berpikir dua kali saat Hera mengajaknya berpacaran. Menurut Mandala, Hera adalah calon potensial dan bibit, bobot, bebetnya tidak perlu diragukan lagi.

Mungkin Hera bukan wanita pertama yang menjadi kekasih Mandala, tetapi wanita itu entah mengapa beberapa kali berhasil mencuri atensi Mandala agar hanya tertuju padanya. Jujur, Mandala belum pernah seperti ini. Jika biasa ia hanya sekedar ingin mencari pelarian tentang perasaannya yang tak tersampaikan pada seseorang, kali ini Mandala seakan jatuh perlahan pada pesona dan kebaikan wanita di hadapannya.

"Malam nanti jadi nonton, 'kan?"

"Jadi. Kamu aja yang pilihin filmnya," kata Mandala.

Hera tertawa, lesung pipit yang sejak tadi bersembunyi terlihat. Untuk beberapa detik Mandala terpaku, tapi ....

Ternyata, aku nggak bisa jauh dari kamu.

Mandala membalas dengan senyum kecil, senyum yang terkesan terpaksa. Jauh disudut hatinya dia merasa menjadi pria brengsek. Untuk satu alasan yang tepat, Mandala merasa sebutan itu tepat untuknya. Karena sampai detik ini hatinya masih tertutup pada seseorang.

"Sayang, kapan aku main ke rumah kamu?" tanya Hera. Sudah menjalin kasih selama dua minggu Hera selalu saja merengek untuk berkunjung ke rumah Mandala. Dia tidak sabar untuk bertemu calon mertuanya. Tidak ada keraguan sedikitpun di benak Hera bahwa dia yakin kedua orang tua Mandala pasti akan menerimanya menjadi bagian dari keluarga mereka. Katakan saja dia terlalu percaya diri, menurutnya dia telah memenuhi semua kriteria untuk menjadi seorang istri yang baik. Dia pintar, cantik, cerdas, kaya dan juga mahir dalam memasak. Yang terakhir itu adalah bakat alami yang semua wanita bahkan pria pun bisa melakukannya. 

"Nggak bisa dalam waktu dekat. Kamu tahu, kan, kalau aku lagi sibuk buat ngurus proyek di Bali," balas Mandala. "Aku nggak mau proyek besar itu nggak berjalan dengan baik hanya karena urusan percintaan para petingginya."

Hera merasa tertohok dengan jawaban Mandala. Memang benar, dia dan Mandala merupakan dua orang yang ikut andil dalam proyek pembangunan jalan di Bali. Setelah bekerja sama dengan Mandala, menjadi kekasih pria itu, Hera tahu Mandala tidak pernah setengah-setengah dalam berbisnis. Pria itu selalu totalitas. Segalanya dia korbankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Untuk itu, banyak wanita yang tidak bisa bertahan dengannya karena Mandala lebih banyak menghabiskan waktu bersama dokumen-dokumen kantornya daripada duduk bermesraan dengan kekasihnya.

Hera menarik napas panjang, sepertinya dia harus banyak bersabar. Proyek di Bali bukan hanya melibatkan perusahaannya dan Mandala, tapi juga ada beberapa perusahaan lainnya yang ikut andil di dalam.

"Ya udah. Kalau proyek di Bali udah selesai boleh, kan, aku ketemu Papa sama Mama kamu?"

"Kita bahas itu setelah selesai makan," sahut Mandala, matanya tertuju pada pelayan yang sudah membawakan makanannya dan Hera.

Tidak ada yang bisa dilakukan Hera selain diam, satu lagi informasi yang Hera dapatkan dari orang suruhannya tentang kebiasaan Mandala saat makan. Pria itu tidak suka membahas masalah percintaan di meja makan.

"Jangan cemberut gitu. Kalau waktunya sudah pas aku pasti bawa kamu ke rumah," jelas Mandala.

Wajah Hera yang semula mendung kini kembali ceria, bibirnya membentuk senyum manis hingga lesung pipit indah itu muncul. Dengan perasaan berbunga-bunga Hera menyantap makanannya. Diam-diam Mandala mengamati dan memperhatikan tingkah kekasihnya, wanita di hadapannya ini entah kenapa terasa berbeda dari semua wanita yang pernah menjadi pacar Mandala. Tapi satu hal yang pasti, Hera masih belum bisa menggeser posisi satu orang dihati Mandala. Satu-satunya orang yang sampai saat ini menempati hati Mandala. 

Merasa bahwa hatinya telah berkhianat, masih sempat-sempatnya dia memikirkan yang lain sementara di depannya ada sang kekasih. Brengsek sekali, kan? Mandala yang seperti ini terlihat jauh lebih buruk dari tukang selingkuh. Seakan sadar akan sikapnya yang brengsek, Mandala menghentikan makannya kemudian menggeser makanannya ke samping. Tangan besar Mandala meraih tangan Hera, membuat Hera terkejut.

"Aku mau kamu lebih bersabar lagi sama aku, Her, aku serius sama kamu," ucap Mandala serius, kedua bola matanya bahkan tidak berkedip sedikitpun saat memusatkan atensinya pada wajah Hera. Mandala merasa bersalah. Meski terkejut, namun Hera mendapati dirinya hampir lupa cara bernapas mendengar pengakuan Mandala padanya. Dengan senyum manis yang terukir di bibirnya Hera mengangguk pelan. Demi apa pun dia tidak tahu harus berkata apa, lidahnya kelu meski hanya untuk sekedar berdehem pun dia tidak bisa. Mandala tahu cara menaklukannya.

NOT MY DESTINY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang