Matahari sore tengah bersinar dengan keemasan, hari Senin tinggal beberapa jam lagi akan berakhir. Sore yang indah ini tidak mengurangi jumlah kendaraan yang berlalu lalang. Mobil Mandala masih terjebak di antara mobil lainnya yang memenuhi ruas jalan utama.
Mandala mendesah lelah, matanya menatap malas pada lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Keadaan seperti ini akan semakin membuat rasa lelah yang dirasakan Mandala kian menumpuk. Pria yang masih menggunakan pakaian kantoran itu lantas menarik dasinya, lalu membuang asal ke kursi belakang.
Mandala mengacak rambutnya kasar, seharian ini pikirannya sudah capek dan sekarang dia butuh kasur. Ketika Mandala sedang misuh-misuh, seorang pengamen mengetuk kaca mobilnya. Mandala segera menoleh, wajahnya yang sudah masam menjadi lebih masam saat melihat seorang pengamen tersenyum ramah sambil memainkan gitarnya. Awalnya Mandala kesal, tetapi lama kelamaan lagu yang dinyanyikan pengamen itu membuat kekesalan Mandala luntur seketika.
Maafkan bila cintaku
Tak mungkin ku persembahkan seutuhnya
Maaf bila kau terluka
Karena ku jatuh di dua hatiLagu sialan! umpat Mandala dalam hati.
Lagu itu seolah mewakili apa yang tengah dia rasakan saat ini. Rasa kesal, sedih, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri perlahan naik ke permukaan. Dia merasa tertampar.
Mandala menurunkan kaca mobil sepenuhnya, menaikkan tangannya dan meminta si pengamen itu berhenti menyanyi. Telinga Mandala tidak kuat, hatinya tidak siap menerima pukulan halus lewat lirik lagu itu.
"Stop, Mas! Ini uangnya," kata Mandala. Diraihnya tangan si pengamen dan memberikan selembar uang lima puluh ribuan, lalu segera menutup jendela mobilnya. Mengabaikan ucapan terima kasih dari si pengamen.
Sembari menyandarkan tubuhnya ke kursi kemudi, Mandala mengusap wajahnya dengan kasar. Lagu dari pengamen tadi bukannya menghibur malah menjatuhkan mood Mandala.
"What the fuck! Apes banget hari ini. Ni, lagi, lampu merah sialan kapan kuningnya?"
Mandala tidak berhenti menggerutu, mood-nya benar-benar tidak baik hari ini. Semua gara-gara kedatangan om Dewa di kantornya tadi siang. Ucapan pria paruh baya itu sangat mengganggu Mandala.
Om Dewa seolah sedang mencerca Mandala, mengulik semua kekurangannya dan membongkar ke-berengsekan Mandala yang sudah-sudah. Mandala mungkin diam jika om Dewa tidak membawa-bawa Hera dalam hal ini. Sayangnya, pria itu justru datang karena Hera. Dia bilang dia akan melindungi Hera, dia tidak rela jika Hera yang baik itu bersama Mandala.
Mandala tertawa pelan mengingat semua percakapannya dengan om Dewa. Jauh di lubuk hatinya Mandala sebenarnya setuju dengan apa yang dikatakan om Dewa. Hanya saja dia tidak ingin mengakui hal itu. Walau Mandala tidak bisa sepenuhnya mencintai Hera, dia tidak memiliki niat untuk melepaskan wanita itu.
Mandala menyayanginya. Catat. Menyayanginya!
"Berengsek!" Lagi, umpatan itu meluncur bebas dari bibir Mandala. Sepertinya isi kepala Mandala benar-benar amburadul. Kata-kata kasar mulai berbaris rapi untuk meluncur satu per satu.
"Nggak ada salahnya aku mampir ke sana. Hanya kali ini saja, aku butuh udara segar," ujar Mandala begitu sadar lampu merah telah berganti hijau. Dengan cepat tangannya bergerak memutar kemudi, mengambil jalur berlawanan dari arah rumahnya.
Mobil Mandala memasuki jalan yang sudah lama tidak dilaluinya. Di depan sana, beberapa meter dari tempatnya saat ini, Mandala bisa melihat gedung itu dengan jelas. Lahan parkir yang luas langsung menyambut kedatangan Mandala. Sebelum turun dari mobil, Mandala menarik napasnya dan menyakinkan bahwa apa yang dilakukannya ini tidak salah.
Ini hanya untuk bersenang-senang. Dia butuh ketenangan agar kepalanya tidak berat. Masalah kantor memang banyak, tetapi masalah hatinya jauh lebih berat. Dan satu-satunya cara yang terpikirkan oleh Mandala adalah bersantai di sini. Di tempat yang sudah tidak dikunjunginya setelah dia memilih bersama Hera.
Begitu memantapkan hatinya, Mandala lantas turun dari mobil. Baru saja datang Mandala sudah disambut oleh seorang wanita cantik yang sudah tidak asing baginya. Dengan pakaian seksi yang sangat menonjolkan bagian tubuhnya, wanita itu langsung menerjang Mandala dan memeluknya. Tak lupa mencium pipi Mandala
"Selamat datang kembali, Mandala," ucap si wanita itu sambil memamerkan senyum sensual. "Aku udah lama nggak liat kamu ke sini."
"Naya, please, jangan kayak gini. Orang-orang pada liatin kita," tukas Mandala sembari berusaha melepas pelukan wanita bernama Naya itu. Tidak lupa mengusap bekas ciuman di pipinya.
Seharusnya, Mandala sudah terbiasa dengan kedekatannya dan Naya, wanita yang menjadi primadona di Club Night Fun. Namun, entah mengapa Mandala merasa risih, bahkan cenderung jijik dengan kedekatannya dan Naya.
"Kenapa, sih? Toh, aku juga biasanya grepe-grepe kamu, kan. Kenapa sekarang malah nggak mau?" Naya dengan sangat tidak rela mengikuti apa yang dikatakan Mandala. Menurutnya, Mandala yang saat ini bersamanya bukanlah Mandala yang dulu.
Saat Mandala hendak menjawab pertanyaan Naya, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Dan sebuah pesan dari Hera masuk.
Hera
Udah mau magrib, kamu udah sampe rumah belum? Jangan kelamaan di luar, aku tahu kamu seharian ini capek. Harus langsung istirahat, ya.
"Waw! Sekarang seleramu anak rumahan, ya? Pantas saja nggak dibolehin main," sindir Naya yang kebetulan mengintip ponsel Mandala.
"Hati-hati kalau ngomong, Nay. Kamu boleh ngomong apa aja, tapi jangan sekali-kali ngomongin pacar aku. Aku nggak suka!" bentak Mandala seraya meninggalkan Naya. Seketika seleranya untuk bersantai hilang, semua itu karena omongan Naya.
"Shit! Kenapa kata-kata Naya bikin aku bad mood? Padahal itu benar, Hera memang anak rumahan," kata Mandala saat dirinya sudah berada di dalam mobil.
Mandala benar-benar tidak mengerti untuk apa dia merasa jengkel dan marah dengan ucapan Naya. Padahal, apa yang diucapkan Naya adalah benar.
"Sialan!" Ini sudah kesekian kalinya Mandala mengumpat. Karena tidak lagi memiliki semangat untuk bersantai di tempat hitam itu, Mandala memilih untuk pulang.
Mandala yang tengah mengemudikan mobil tiba-tiba teringat pesan Hera, dia tadi belum sempat membalasnya. Dengan hati-hati Mandala mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan untuk sang kekasih.
Mandala
Aku belum sampe rumah, Sayang. Jalanan sore ini macet banget. Maaf, ya, aku baru bales pesan kamu.
Tak berselang lama setelah pesannya terkirim, Mandala langsung mendapat balasannya.
Hera
Kamu kalau lagi nyetir nggak usah bales pesan aku, Mandala. Aku nggak mau kamu nggak fokus nyetir, Sayang.
Mandala tertegun membaca pesan Hera. Lalu, pria itu menepikan mobilnya di bahu jalan. Untuk beberapa saat, Mandala hanya menatap layar ponselnya."Her, kamu sebaik ini sama aku. Sepeduli ini sama aku, tapi aku justru belum bisa membalas semua perasaan kamu."
Jujur, Mandala uring-uringan memikirkan kenapa sampai detik ini dia masih belum mampu mencintai Hera segenap jiwa raganya. Padahal, Hera selalu totalitas untuk dirinya.
Perasaannya pada sang sahabat tidak bisa ditiadakan begitu saja. Bahkan, untuk melunturkan secara perlahan pun, terasa sangat berat. Dan hal itu semakin menjadikan Mandala pria berengsek karena berpacaran dengan Hera, tetapi mencintai orang lain.
"Her, maafin aku. Aku udah jahat sama kamu," gumam Mandala sambil meletakkan kepalanya di atas setir mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT MY DESTINY [TAMAT]
ChickLitDi persimpangan. Kita berdua menapaki jalan yang sama menuju rumah. Aku pikir, rumah kita sama. Namun aku keliru, aku salah. Rumah kita berbeda. Sepanjang jalan udara terasa menyiksa, kabut kesedihan menemani setiap langkah yang kita lalui. Ini ce...